Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
Bimo sedari tadi terus mondar mandir. Kepulangannya sama sekali tak mendapat sambutan baik dari anak dan istrinya. Tapi lelaki itu seolah menutup mata dan hati atas kesalahan yang sudah dia buat selama ini.
Bimo memberanikan diri masuk ke dalam kamar Luna, terlihat Laras tengah berbaring di samping Luna dengan tatapan lurus ke depan melihat acara di televisi. Bimo mendengus kesal, bisa bisanya dia diabaikan begitu saja sama anak dan istrinya.
"Ras, pindah kamar belakang. Suami pulang bukannya di layani tapi malah dianggurin, gak sopan kamu!" Sungut Bimo yang menatap tajam pada Laras yang tak bergeming sama sekali, Laras merasa muak meladeni ocehan Bimo yang terus menerus memojokkan dirinya.
"Ras, budek kamu ya, pindah kamar belakang sekarang!" Sekali lagi Bimo meminta Laras untuk pindah ke kamar belakang yang selama ini menjadi kamarnya Laras.
"Gak usah nyuruh nyuruh, aku mau tidur sama Luna di sini." Sahut Laras pada akhirnya, wajahnya nampak datar dan dingin.
"Apa kamu gak peka sama apa yang aku inginkan, ingat Laras, kamu itu masih istriku, jangan bantah terus kamu!" Bentak Bimo yang kesal karena Laras sama sekali tidak menggubris ucapannya.
"Aku gak merasa jadi istrimu, buktinya aku juga menghidupi diriku sendiri selama ini. Makan aku cari sendiri, membesarkan anakku juga sendiri. Kalau aku punya suami pasti aku tidak akan banting tulang memikirkan semua kebutuhan sendirian. Sayangnya, suamiku sudah gila sama pelacurnya, jadi tutup mulutmu itu, Bimo!" Laras sudah tidak sedikitpun mau bersikap baik pada Bimo yang sudah bertahun tahun selalu bersikap seenaknya. Apalagi setelah Laras tau kalau Bimo sudah punya anak dengan selingkuhannya. Laras sama sekali susah tak menyimpan rasa pada laki laki yang sedikitpun tidak merasa bersalah atas kelakuannya.
"Dasar kurang ajar kamu, Laras. Miskin saja belagu, jangan harap aku akan menceraikan kamu, aku sudah habis banyak waktu menikah dengan mu. Akan aku buat hidupmu sengsara dan tidak akan aku biarkan laki laki manapun mendekati kamu!" Brak, Bimo membanting pintu kamarnya Luna dengan kasar, Laras hanya diam sambil mengusap pelan lengan Luna yang terlihat diam saja dengan pertengkarannya dengan Bimo.
"Maafkan ibu, Luna. Maaf kalau Luna harus mendengar dan melihat yang seharusnya tidak Luna tau." Lirih Laras dengan setetes air bening menetes di wajahnya yang sayu.
"Luna paham dan mengerti, Luna sayang ibu, Luna akan tetap bersama ibu sampai kapanpun. Lepaskan dia Bu, jangan biarkan ibu terus di sakiti, Luna tidak apa apa jika harus hidup berdua saja dengan ibu, percayalah." Sahut Luna dengan mata berkaca-kaca, ada luka yang kembali tersiram air garam atas sikap ayahnya yang tak pernah berubah, kasar dan semaunya.
"Terimakasih sayang, doakan ibu dapat rejeki lebih untuk bisa mengurus surat di pengadilan, maafkan ibu, nak." Akhirnya Laras terisak dan memeluk erat tubuh kurus Luna yang juga bergetar, dua wanita yang sama sama tersakiti jiwa dan pikirannya oleh keegoisan laki laki yang hanya mementingkan kesenangannya sendiri, dialah Bimo.
Terdengar pintu dibuka dan tak lama terdengar suara mesin motor yang meninggalkan halaman rumah sederhana peninggalan ibunya Laras. Laras menarik nafas dalam-dalam lalu bangkit dari ranjang untuk melihat apakah dugaannya benar.
"Pergilah, dan jangan pernah kembali jika hanya luka yang kamu berikan." Lirih Laras menatap kosong halaman rumah yang nampak sepi. Motor matik warna putih milik Bimo sudah tidak ada di sana. Laki laki itu sudah pergi, seperti biasanya dia akan datang dan pergi sesuka hatinya dan itu sudah menjadi hal biasa untuk Laras. Dengan langkah pasti, Laras kembali menutup pintu rumah dan menguncinya rapat, lalu kembali masuk ke dalam dan melihat Luna sudah berdiri di depan kamarnya dengan senyuman tipis.
"Ayah sudah pergi, Bu?" Tanya gadis kecil itu yang sudah paham kebiasaan ayahnya.
"Iya." Sahut Laras sambil tersenyum menutupi perih di dalam hatinya.
"Gak papa, itu jauh lebih baik. Lagian aku juga gak nyaman ada ayah di sini, gak suka." Sambung Luna mengutarakan isi hatinya yang terlanjur terluka.
"Sudahlah, gak usah di bahas. Itu sudah jadi pilihan ayahmu. Ibu mau ngetik cerita dulu, Luna tidurnya jangan malam malam ya." Balas Laras yang tidak ingin memperpanjang obrolan tentang Bimo, hanya akan menambah sakit hati.
"Iya, Bu." Sahut Luna yang kembali masuk ke dalam kamar. Sedangkan Laras memilih masuk ke kamarnya sendiri. Saat matanya tak sengaja melihat ke arah lemari kecil yang khusus menyimpan semua jilbabnya, Laras melihat ada beberapa lembar uang yang diletakkan disana.
"Sekian bulan, akhirnya kamu ingat memberikan nafkah ini untuk anakmu." Lirih Laras dengan dada yang terasa sesak. Lembaran lembaran uang pecahan lima puluh ribuan sebanyak sepuluh lembar di genggam erat Laras. Tubuhnya bergetar dengan airmata yang tak bisa ia bendung. Uang lima ratus ribu bagi Bimo sudah sangat banyak, padahal untuk kebutuhan satu bulan itu masih sangat kurang. Laras sudah lelah jika harus berdebat, hingga dia memilih diam dan tak lagi mengharapkan apa apa dari Bimo. Laras yakin, Tuhan itu adil.
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..