Memori Kelabu
Tanpa sadar, ada getar sekaligus senyum yang melengkung di bibir Amira. Apa yang dilihatnya memang tidak salah. Sosok yang berdiri di panggung itu memang Vian, yang tampil fokus namun tetap terlihat cool dengan bass yang tersampir.
Ya, Vian Frediansyah. Pemuda jangkung yang entah sejak kapan memiliki potongan rambut ala Harajuku yang diwarna sedikit kecoklatan. Pemuda itu makin menarik. Kalau masalah tampan, Vian memang memiliki porsi yang lumayan, meski dulu Amira tak pernah menyadarinya. Bagaimana bisa Amira menyadarinya? Vian dulu tak lebih dari seorang pemuda lugu. Tiap hari hanya mengenakan kemeja bergaris atau kotak-kotak lengan panjang.
“Mereka semua tampan.” Venus menyodok lengan Amira. Yang hanya direspon dengan bola mata yang memutar oleh Amira. Sepertinya ini bukan saatnya membahas mahasiswa-mahasiswa peserta band beraliran J-Rock itu. Amira dan Venus datang ke sini demi meliput acara untuk media berita online iNewsia, tempat mereka bekerja. Tapi, bisa jadi rencana awalnya memang meleset sejak Amira menangkap sosok Vian.
Mendadak ada rasa sesak di dada Amira. Rasa yang membuat gadis itu reflek mencengkeram bagian depan bajunya. Wajah Vian yang tampak lebih segar memang membuat Amira merasa lebih lega, tapi itu tidak membuat kesedihan itu pergi begitu saja. Masa lalu terus saja menjadi beban pikirannya.
Nyaris genap satu tahun Amira tidak melihat sosok itu lagi. Banyak perubahan pada diri pemuda itu. Barangkali, Vian yang dulu terlalu pemalu untuk bisa naik ke panggung besar seperti ini. Kuper dan membuat Amira tak jarang melontarkan maki. Si pengecut lah, si letoy lah… Amira hanya mengurut kening jika ingat perlakuannya pada Vian di masa lalu.
“Hey, kenapa kita malah sibuk nonton perform mereka? Bukannya ambil gambar buat artikel kita…”
Amira baru tersadar dari lamun setelah sekali lagi Venus menyodok lengannya. Kamera DSLR milik kantor masih menggantung di leher Amira. Dengan sigap, ia meraih kameranya, menyorot satu titik yaitu pemuda dengan kaos putih longgar dengan lambang L di bagian depan, Vian. Hanya Vian. Tanpa member yang lain.
Tugas meliput acara festival Bunkasai di kampus UNISMA itu tidak akan ia sia-siakan. Hari ini, dan esok akan jadi hari tersibuk.
Sejenak Amira mengamati hasil jepretannya. Sudut bibirnya melengkung ke bawah, kurang puas setelah melihat hasil jepretan di layar kameranya. Gadis itu kembali menyorotkan kameranya ke arah Vian, mencari fokus dan menekan shutter, bukan hanya sekali, namun berkali-kali.
“Ambil gambarnya yang banyak, ya. Bisa buat kenang-kenangan pribadi.” Venus nyengir. Hari ini ia memang sengaja tidak membawa kamera. Karena selain kurang suka dengan memotret, Venus juga lebih suka melakukan wawancara.
Amira menurut dan mengambil banyak sekali potret. Dan ketika makan siang di kantin, Venus baru sadar jika ada yang salah fokus.
Venus terdiam beberapa saat, menatap Amira yang menenggak jus melonnya tanpa dosa, sementara gadis itu sama sekali tidak menyadari jika ada tatapan aneh yang terus menyorotnya.
“Kamu, naksir yang pakai kaos putih ini?”
Amira terbatuk, tersedak minumannya sendiri saat mendengar respon Venus. Rekan kerjanya itu masih mengutak-atik kameranya, melihat hasil jepretan Amira. Mendadak Amira merasa tenggorokannya tercekat. Barangkali ini memang sebuah kesalahan besar, kenapa tidak sejak tadi Amira menyadari kesalahannya? Fatal dan sangat memalukan.
“Yang pakai kaos putih emang lumayan. Tapi yang luar biasa tampan itu si vokalis, Mir.”
Amira menepuk kening. Ia pikir Venus akan marah-marah karena ia salah mengambil gambar, bukannya memotret seluruh anggota, malah puluhan gambar yang Amira ambil hanya memuat sosok Vian dengan berbagai ekspresi.
“Ah, itu nggak seperti yang kamu pikirin…” Amira menggaruk kepalanya. Mulai salah tingkah. Sesekali ia mengamati mata Venus, berusaha membaca apa yang dipikirkan gadis itu.
“Kalau emang kamu naksir, ya nggak apa-apa…” Venus menyerahkan kembali kameranya pada Amira. Bibir Amira kelu, ia ingin menyangkal, tapi tidak bisa. Andaipun bisa, Venus pasti sama sekali tidak percaya.
“Setahun kerja bareng kamu, aku nggak pernah lihat kamu tertarik sama cowok. Ini yang pertama kali, lho…” Venus berseru sok tahu. Saat pesanan mie ayam mereka datang, Amira merasa terselamatkan dari tatapan penuh arti dari Venus. Dan Amira sama sekali tak mengerti apa maksud getar dalam tubuhnya saat diledek oleh Venus. Ia tak ubahnya abege yang merasakan getaran cinta. Sungguh menggelikan.
“Jatuh cinta emang bikin perubahan yang drastis, ya…” Venus yang menemukan semu merah di pipi Amira mulai melancarkan aksi nakalnya. Seru memang menggoda teman yang tengah dimabuk asmara.
“Udah, jangan dibahas.” Amira abai dengan segala godaan Venus. Alangkah lebih baik jika ia langsung menikmati makan siangnya. Dengan gesit Amira meraih sendok dan garpu yang diletakkan di atas mangkuk dan langsung menyeruput mie ayamnya dengan terburu-buru. Entah apa yang membuatnya begitu terburu-buru hingga kejadian tersedak itu terjadi berulang kali. Amira terbatuk, dan Venus tak henti-hentinya tertawa melihat sikap Amira yang tak biasa itu.
“Udah deh, kamu nggak perlu salah tingkah gitu…” Venus menyodorkan jus pada Amira. Jus yang tersisa setengah itu langsung disambar si penerima, lantas ditenggak dengan brutal, tapi dasar sial, sekali lagi Amira tersedak, bukan karena mie ayamnya melainkan jus melon.
Ada getar di bibir Venus sebelum akhirnya gadis itu meledakkan tawanya. Tapi tawa itu terjeda saat penglihatan Venus menangkap seseorang yang baru memasuki kantin. Sosok jangkung dengan model rambut Harajuku. Bagi Venus, pemuda itu tidak terlalu tampan, mungkin karena sosok di sebelahnya jauh lebih menarik. Si vokalis yang sempat ia singgung dengan Amira tadi.
Si vokalis yang memiliki gaya rambut tak jauh beda dengan bassis yang jadi perhatian Amira. Hanya saja, rambut si vokalis dicat dengan warna merah mencolok.
Venus menyentuh punggung tangan Amira, sampai Amira mengalihkan pandangan ke arahnya, Venus langsung menggerakkan matanya sebagai kode agar Amira segera menoleh ke belakang. Amira menoleh dan saat itu juga merasa tenggorokannya tercekat. Vian dan kawan-kawan datang. Apa yang harus ia lakukan?
***
Kantin begitu padat. Vian tak suka keramaian, tapi rasa lapar membuatnya tak punya pilihan lain. Ia melangkah mencari meja kosong, tapi tidak ada sama sekali. Ia menatap Rey, vokalis dari grup band yang mendadak mengajaknya bergabung untuk mengisi kekosongan sementara karena Theo, bassis sebenarnya tengah sakit padahal mereka harus manggung untuk lomba di festival Bunkasai kampus mereka.
“Bagaimana kalau kita makan di luar saja?”
Rey menggeleng, menolak usulan Vian, karena sekian detik setelah melontarkan usulnya, mendadak ada beberapa gerombolan gadis-gadis yang mempersilahkan mereka duduk. Anak band memang keren, batin Vian.
“Makasih, ya…” Vian tersenyum pada gadis-gadis yang merelakan tempat duduk untuk di tempatinya dengan teman-temannya. Di luar dugaan, para gadis itu terkikik histeris. Fantastis, padahal Vian bukan anggota band yang sebenarnya.
Hingga pesanan mereka datang, terlalu banyak gadis yang mendadak mendekat ke arah Vian dan kawan-kawan. Sekedar meminta selfie bersama atau menyampaikan pendapat bahwa penampilan mereka tadi sangat bagus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Anita Jenius
Salam kenal kak
2024-04-13
1