Gus Shabir merasa sangat bahagia saat ayah Anin datang dengan ajakan ta'aruf sebab dia dan Anin sudah sama-sama saling menyukai dalam diam. Sebagai tradisi keluarga di mana keluarga mempelai tidak boleh bertemu, Gus Shabir harus menerima saat mempelai wanita yang dimaksud bukanlah Anin, melainkan Hana yang merupakan adik dari ayah Anin.
Anin sendiri tidak bisa berbuat banyak saat ia melihat pria yang dia cintai kini mengucap akad dengan wanita lain. Dia merasa terluka, tetapi berusaha menutupi semuanya dalam diam.
Merasa bahwa Gus Shabir dan Anin berbeda, Hana akhirnya mengetahui bahwa Gus Shabir dan Anin saling mencintai.
Lantas siapakah yang akan mengalah nanti, sedangkan keduanya adalah wanita dengan akhlak dan sikap yang baik?
"Aku ikhlaskan Gus Shabir menjadi suamimu. Akan kuminta kepada Allah agar menutup perasaanku padanya."~ Anin
"Seberapa kuat aku berdoa kepada langit untuk melunakkan hati suamiku ... jika bukan doaku yang menjadi pemenangnya, aku bisa apa, Anin?"~Hana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Empat
Hari itu, matahari terbit dengan semangatnya yang menghangatkan kampus kedokteran umum. Anin, seorang mahasiswa semester tiga, bangun dari tidurnya dengan segar. Ia mengusap-usap mata, memperhatikan jadwal harian yang telah ia persiapkan dengan rapi di meja belajarnya.
Anin segera mandi dan mengenakan seragam putih kebanggaannya. Ia pun meluncur ke kampus dengan energinya yang berlimpah. Di kelas, sekelompok teman sudah menunggunya untuk memulai hari pembelajaran.
"Selamat pagi, Anin! Kau terlihat semangat sekali hari ini," ucap Sari, teman sekampus Anin yang ceria.
Anin tersenyum dan menjawab, "Selamat pagi juga, Sari! Ya, aku benar-benar ingin memulai hari ini dengan semangat. Bagaimana denganmu?"
Mereka berdua kemudian bergegas masuk ke dalam kelas dan duduk di tempat mereka masing-masing. Dosen yang terhormat, Pak Rahmat, memasuki ruangan dan segera memulai kuliah pagi itu. Selama sesi perkuliahan, Anin, Sari, dan teman-teman lainnya begitu antusias dalam mengikuti penjelasan dosen.
Sejak kuliah dan tinggal jauh dari kedua orang tuanya, Anin mulai membuka diri dan mau bergaul. Saat di pondok pesantren dia hanya dekat dengan Hana.
Setelah perkuliahan selesai, Anin dan Sari memutuskan untuk melanjutkan kunjungan mereka ke pusat riset sekaligus laboratorium kampus. Mereka ingin mencari tahu lebih banyak tentang penelitian terbaru yang sedang dilakukan oleh para dokter ternama di universitas tersebut.
Di pusat riset, mereka bertemu dengan dr. Budi, seorang dokter ahli di bidang onkologi. Anin tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya saat berbincang dengan dokter Budi.
"Selamat siang, dr. Budi! Saya Anin dan teman saya, Sari. Kami sangat tertarik dengan ilmu onkologi. Apa yang sedang Anda lakukan di laboratorium ini?" tanya Anin antusias.
Dr. Budi tersenyum ramah dan berkata, "Hai Anin dan Sari! Saya sedang melakukan penelitian tentang terapi imunologi untuk kanker usus besar. Kami berharap dapat menemukan cara yang lebih efektif dalam mengobati pasien dengan kanker tersebut."
Anin tidak bisa menyembunyikan kekagumannya, "Itu sangat luar biasa, dr. Budi! Sangat menyenangkan bertemu dengan dokter sehebat Anda. Saya berharap suatu hari nanti bisa berkontribusi dalam penelitian semacam ini."
Dr. Budi tersenyum dan memberikan semangat, "Jangan pernah ragu untuk berusaha, Anin. Jika kamu memiliki ketekunan dan semangat yang tinggi, siapapun bisa mencapai apa yang mereka inginkan."
Anin dan Sari terinspirasi oleh kata-kata dr. Budi. Meninggalkan pusat riset, mereka melanjutkan perjalanan menuju panti asuhan anak-anak yang terletak tak jauh dari kampus. Anin dan Sari merupakan sukarelawan di sana dan selalu menghabiskan waktu luang mereka bersama anak-anak panti asuhan.
"Salam hangat, anak-anak!" seru Anin saat tiba di panti asuhan. Anak-anak langsung berlarian mengelilingi mereka, penuh kegembiraan.
Anin dan Sari pun bergabung dengan anak-anak untuk bermain dan membantu dengan tugas-tugas mereka. Mereka membantu anak-anak belajar dan memberikan semangat kepada mereka untuk meraih masa depan yang lebih baik.
"Apa cita-citamu, Abi?" tanya Anin kepada salah satu anak panti asuhan.
Abi, anak berusia tujuh tahun, menjawab dengan penuh semangat, "Aku ingin menjadi dokter seperti kamu, Kak Anin! Aku ingin menyembuhkan orang-orang yang sakit."
Anin tersenyum dan mengelus kepala Abi, "Itu cita-cita yang indah, Abi. Ingatlah, jangan pernah berhenti bermimpi dan berusaha untuk mewujudkannya."
Hari berlalu dengan cepat dan matahari mulai terbenam, menandakan akhir dari petualangan Anin di kampus kedokteran umum itu. Ia merasa puas dengan hari yang ia habiskan, menggabungkan kegiatan akademik dengan kegiatan sosial yang bermakna.
Kembali ke asrama, Anin memikirkan semua yang ia pelajari dan lakukan hari itu. Ia merasa terinspirasi dan bersemangat untuk terus mengejar cita-citanya. Kebermaknaan hidup bukan hanya tentang meraih kesuksesan pribadi, tetapi juga bagaimana kita dapat membantu orang lain dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.
Dalam keheningan malam, Anin tersenyum dan mengucapkan, "Hari ini adalah hari yang luar biasa. Besok, aku akan meneruskan petualangan untuk menjadi seorang dokter yang bisa membawa manfaat bagi banyak orang."
Anin memang banyak menghabiskan waktu di kampus dan panti asuhan. Itu caranya melupakan semua masalah. Terbukti, dia tidak pernah lagi teringat dengan Gus Shabir. Apa lagi baginya pria itu tak pantas lagi untuknya, dia telah menjadi bagian keluarganya. Suami dari tantenya sendiri.
Seperti halnya Hana, gadis itu sering mencuri tahu tentang aunty-nya. Dia membuka sosial media sang tante. Terlihat banyak foto Hana dan Gus Shabir berdua. Anin tersenyum bahagia.
"Semoga dengan kepergianku, dapat membuat kamu bahagia aunty. Melihatmu tersenyum merupakan kebahagiaan bagiku. Aku tahu tak mudah untukmu menjalani hidup sebagai yatim piatu. Aku telah melihat anak-anak di panti asuhan yang selalu bersedih mengingat kedua orang tuanya. Semoga kamu bahagia bersama suamimu, Aunty."
"Menjauh bukan karena ingin memutuskan tali persaudaraan.Terkadang menjauh dari seseorang bukan karena ingin memutuskan tali silaturrahmi, tapi hanya ingin memutuskan perselisihan, perdebatan dan kesalahpahaman yang tidak nyaman di hati. Jika seseorang telah menyakiti dengan sikap dan kata, jangankan untuk menyapa, memandang wajahnya pun malas. Itu bukan benci, tapi hanya ingin menjaga hati dan perasaan dari orang yang biasa merendahkan kita. Biarkanlah, tidak perlu merasa tersinggung apa lagi merasa sedih. Jika kita dinilai baik, ya syukur. Di nilai tidak baik pun tak mengapa, semua hadir dalam hidup kita memiliki perannya masing-masing. Ada yang memberikan kebahagiaan dan ada yang memberikan kepedihan."
...----------------...
jadikan itu menjadi dewasa,bijak dan sabar serta luas memaafkan,jgn lebai,egois dan kekanak kanakn
jdi ingat alm papamu saat menikahkanku, alm nangis terus😭😭