" Menikah dengan siapa?! om pamungkas?!!" suara Ratih meninggi, di tatapnya semua anggota keluarganya dengan rasa tak percaya.
" Pamungkas adalah pilihan terbaik untukmu nduk.." suara papanya penuh keyakinan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sinta
Ratih mulai luwes menari,
gerakannya tidak lagi kaku seperti ketika pertama kali belajar.
Iwang berdiri disampingnya, ikut menari mengiringi Ratih.
Tangan Ratih meraih selendang yang terikat di pinggangnya, dan mengayunkan nya beberapa kali,
Sementara Iwang yang di punggungnya membawa busur ala Rama, perlahan mendekat ke Ratih yang sedang berperan sebagai Sinta itu.
Keduanya saling menatap dan tersenyum hangat, persis seperti vidio yang Ratih pelajari selama ini.
Iwang menyentuh pergelangan Ratih beberapa kali, masih dengan pandangan hangatnya di sertai kepala yang bergerak ke kanan dan ke kiri pelan.
Tarian itu berjalan cukup lama, gerakannya pelan namun bagi Ratih yang tidak pernah menggunakan Kain jarik sebelumnya, langkah kakinya masih begitu kurang bebas.
Di awal awal latihan, ia berkali kali kurang seimbang dan hampir terjatuh, namun Iwang yang pengertian menangkapnya dengan sigap.
" Capek?" tanya Iwang meletakkan sebotol air mineral di samping Ratih yang sibuk melepas selendang di pinggangnya dan kain jariknya.
" Sudah kan latihannya? entah kenapa aku sedikit sesak.." Ratih terlihat banyak berkeringat.
" Kau kurang sehat?" tanya Iwang,
" aku hanya kurang tidur saja beberapa hari ini.." keluh Ratih,
" kenapa? ada yang menganggu pikiranmu?" tanya Iwang duduk disamping Ratih.
" iya.." Ratih mengangguk,
" laki laki?" tanya Iwang tersenyum,
Ratih menatap Iwang heran,
" kenapa aku harus memikirkan laki laki?" tanya Ratih,
" Karena kau perempuan yang cukup menarik.. pasti banyak laki laki yang mencari perhatianmu.." Iwang membuka botol minumannya dan meminumnya.
" salah satunya aku kan.." lanjut Iwang tertawa, ia adalah tipe laki laki yang suka berterus terang.
" Bukankah kita sudah berkomitmen untuk berteman saja..?" ujar Ratih,
" benar.. tapi aku mengharapkan sebuah perkembangan.. tentunya tanpa paksaan.." Iwang terdengar santai dan bercanda, namun ada keseriusan dalam setiap candaannya.
" Usiamu sama denganku kan?" tanya Ratih,
" lebih tua beberapa bulan darimu.. aku sudah mau menginjak dua puluh tujuh, kenapa? kau tak suka yang sepantaran?" lagi lagi Iwang tersenyum hangat,
" pikiranku terlalu kacau untuk memikirkan sebuah komitmen Wang.."
" kacau kenapa? sudah ada sosok Rama lain yang menyita perhatianmu dewi Sintaku?" goda Iwang membuat Ratih tertawa.
" Apa kau mau kapan kapan makan malam dirumahku?" tanya Iwang,
" wah..?! apa kau tinggal sendiri?"
" tidak.. aku tinggal dengan adik perempuanku,"
" berdua saja?"
" iya, ibu meninggal setahun yang lalu, ayahku menyusul sebulan kemudian.."
" maafkan aku.." Ratih merasa tidak enak karena sudah mengungkit hal yang mungkin menyedihkan untuk Iwang.
" Kenapa kau minta maaf? itu hal yang harus di hadapi setiap anak.. di tinggalkan orang tua.." ujar Iwang,
" Kau kuat sekali.." Ratih tidak bisa membayangkan jika dirinya di tinggalkan papa dan mamanya pada saat yang hampir bersamaan.
" Aku laki laki, juga anak pertama.. aku harus kuat.. ada adik yang harus kujaga dan kurawat dengan baik..",
" kau benar.. andai saja mas Hendra sepertimu.."
" siapa Hendra?"
" dia kakakku.. tapi sikapnya kadang menjengkelkan,
mendadak dewasa, mendadak anak anak.. pokoknya menyebalkan.." gerutu Ratih membuat Iwang tertawa sembari menepuk lengan Ratih.
" Sudah gelap...kuantar pulang ya?" ujar Iwang lalu bangkit.
Pamungkas baru saja memejamkan matanya, tapi HPnya tak henti berdering.
" Om..?" suara Hendra,
" hemm.. apa Hen?" tanya Pamungkas bangkit dari tempat tidur,
" Aduh, maaf aku lupa kalau beda waktu disana dua jam, ya sudah om tidur lagi saja..?" Hendra menangkap suara serak Pamungkas.
" Tidak, katakan ada apa?"
" Begini om, Ratih..",
mendengar nama Ratih mata Pamungkas terbuka lebih lebar.
" Ada apa dengan adikmu?" tanya Pamungkas masih dengan suara serak.
" Anu om, dia sering diantar pulang laki laki sekarang.."
Pamungkas terdiam,
" Laki laki itu juga di cafe Ratih hampir setiap hari.." imbuh Hendra,
" lalu?" tanya Pamungkas bangkit dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar.
" Kok lalu om? aku khawatir?!"
Pamungkas menghela nafas pelan,
" motornya rusak?" tanya Pamungkas berjalan ke dapur mengambil segelas air putih.
" Motornya baik baik saja, dia sering tidak membawa motor sekarang,"
" lalu berangkatnya?"
" pekerjanya yang bernama Ria itu sering menjemputnya saat pagi?"
" mungkin dia sedang bosan saja.."
" lalu laki laki itu?"
" kenapa memangnya, adikmu bukan seorang gadis yang bodoh, dia sudah berpengalaman dengan laki laki, mana mungkin dia salah memilih teman.." Pungkas meneguk air putihnya.
" Baru kali ini, seumur umur ku lihat dia bergaul dengan laki laki gondrong om?, awalnya aku santai.. tapi makin kesini kok makin lengket??"
Pamungkas terdiam lagi, entah apa yang ia pikirkan, yang jelas raut wajahnya terlihat kurang baik mendengar kata 'lengket' itu.
" Mungkin adikmu sudah merasa nyaman.. tidak ada yang bisa kita lakukan.." suara Pamungkas datar.
" Setelah membuang Arga?"
" jangan jadikan penampilan, pangkat, dan apa yang di miliki seseorang sebagai tolak ukur kebahagiaan..
memang benar segalanya membutuhkan uang, tapi nyatanya..
mantan suami adikmu yang orang tuanya kaya itu tidak bisa menjamin kebahagiaannya bukan.." Pamungkas berusaha berpikir sebaik mungkin, di kesampingkan perasaan pribadinya.
" Apa pekerjaan laki laki itu kalau boleh tau?"
" dia guru di salah satu sekolah seni, bukan sekolah formal, tentunya bukan seorang pegawai negrikan om?"
" kau sendiri? apa kau seorang pegawai negri?"
" tapi aku kan..?"
" cukup, sudah kubilang berhenti menilai orang lain, kalau kau terus seperti itu, aku akan menyerah untuk berbisnis denganmu?!" tegas Pamungkas.
Tak terdengar suara Hendra cukup lama,
" Seharusnya kau dekati adikmu, dengan begitu kau akan lebih mudah memberinya masukan masukan dan gambaran..
semakin kau menentangnya, semakin dia tidak nyaman.." ujar Pamungkas lebih tenang.
" Kau fokuslah dengan usaha kita, biar Ratih memilih jalannya sendiri, karena orang tuamu memang mengharapkan dia untuk segera menikah kembali," Pamungkas segera mematikan sambungan telfonnya.
Laki laki itu terlihat terganggu dengan kabar yang dia dapatkan, perasaan tak nyaman berputar putar di dadanya.
Diambilnya lagi segelas air putih lalu meminumnya dengan cepat, seperti ingin menghilangkan ganjalan di hatinya.
emang kamu pikir si ratih itu ga punya hati apa.....
luka karna dikhianati sama org terdekat itu susah sembuhnya, kamu malah ngerecokin si ratih mulu
slading online juga nih
istri rasa ponakan itu perlu pemahaman yang besar 😆😆