NovelToon NovelToon
Pewaris Terhebat

Pewaris Terhebat

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Balas Dendam / Menantu Pria/matrilokal / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: BRAXX

Datang sebagai menantu tanpa kekayaan dan kedudukan, Xander hanya dianggap sampah di keluarga istrinya. Hinaan dan perlakuan tidak menyenangkan senantiasa ia dapatkan sepanjang waktu. Selama tiga tahun lamanya ia bertahan di tengah status menantu tidak berguna yang diberikan padanya. Semua itu dilakukan karena Xander sangat mencintai istrinya, Evelyn. Namun, saat Evelyn meminta mengakhiri hubungan pernikahan mereka, ia tidak lagi memiliki alasan untuk tetap tinggal di keluarga Voss. Sebagai seorang pria yang tidak kaya dan juga tidak berkuasa dia terpaksa menuruti perkataan istrinya itu.

Xander dipandang rendah oleh semua orang... Siapa sangka, dia sebenarnya adalah miliarder terselubung...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 Perceraian

“Aku minta maaf jika kedatanganku membuat hari bahagia kalian terganggu,” ujar pria itu dengan senyum ramah, namun penuh percaya diri. Ia melangkah mendekat ke arah meja utama, dengan sikap santai yang kontras dengan auranya yang begitu dominan.

Tatapan semua orang di ruangan itu langsung terpusat padanya.

Namanya Mason Dagger bukanlah nama asing—putra dari keluarga nomor satu di kota ini, keluarga Dagger. Keluarga Voss, meskipun cukup terpandang, jelas berada di bawah bayang-bayang kekuasaan dan pengaruh keluarga Dagger.

Declan, pemimpin keluarga Voss, terkejut mendapati sosok Mason hadir tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ia bergegas berdiri dari kursinya, mengulurkan tangan.

“Tuan Mason Dagger, aku merasa sangat terhormat bisa bertemu dengan anda di acara keluarga kami malam ini,” ucap Declan penuh rasa hormat, suaranya bergetar sedikit oleh rasa gugup.

Sebagai pemimpin keluarga, ia tahu betul pentingnya menjaga hubungan baik dengan keluarga seperti keluarga Dagger.

Keluarga Voss lainnya serempak bangkit dari kursi, menatap Mason dengan campuran rasa hormat dan kekaguman. Beberapa wanita di ruangan itu buru-buru memperbaiki penampilan mereka—membenarkan rambut, melirik pakaian mereka untuk memastikan tidak ada yang kusut.

Sementara itu, Selene memanfaatkan momen tersebut. Ia melangkah maju dengan senyum yang dibuat semanis mungkin. “Kau terlihat sangat tampan malam ini, Tuan,” pujinya dalam hati.

Declan kembali angkat bicara, mencoba menggiring percakapan ke arah yang lebih formal. “Apa yang membawa Anda ke acara kami, Tuan? Sebelumnya saya tidak mendengar kabar bahwa keluarga Dagger menerima undangan dari pihak kami.”

Mason tertawa kecil, santai tetapi tetap terdengar anggun. “Oh, aku tidak menerima undangan resmi Namun, aku diundang secara pribadi oleh dua wanita hebat dari keluarga Voss.” jawabnya ringan.

Ruangan itu mendadak hening. Tatapan penuh rasa penasaran mengarah ke Mason, lalu beralih ke Avery dan Evelyn, mencoba menebak siapa yang ia maksud.

“Aku datang atas undangan Nona Avery dan Nona Evelyn,” ucap Mason dengan suara rendah. Pandangannya kemudian beralih pada Evelyn, dan untuk beberapa saat ia memandangi wanita bergaun merah itu dengan sorot mata kagum.

“Kau tampak lebih sempurna dibanding biasanya, Nona Evelyn,” tambahnya, suaranya terdengar hangat.

Evelyn, yang tadinya merasa tidak nyaman dengan tatapan semua orang, kini merasakan pipinya memerah mendengar pujian itu. Ia mencoba tersenyum tipis sebagai tanggapan, meskipun hatinya bergejolak antara rasa bangga dan perasaan aneh yang sulit dijelaskan.

Selene, yang berdiri tidak jauh dari mereka, langsung memasang wajah cemberut. Tatapannya tajam, penuh kebencian pada Evelyn.

"Lagi-lagi Evelyn yang mendapatkan perhatian. Apakah aku harus kalah darinya lagi?" pikirnya dengan kesal.

Declan, yang tadi menyambut Mason dengan ramah, kini melirik Avery dan Evelyn bergantian dengan tatapan tajam. “Undangan Avery dan Evelyn?”

“Kenapa aku sama sekali tidak diberitahu tentang ini?”

Avery, dengan senyum penuh kemenangan, melangkah mendekat ke arah Declan. Ia menyalami Mason terlebih dahulu dengan sopan, lalu berbalik menatap kakaknya.

“Declan, inilah yang kumaksud dengan kejutan malam ini,” ujarnya santai.

Setelah itu, Avery menoleh ke Evelyn dan menyikut pelan lengan putrinya. “Evelyn, giliranmu,” katanya pelan.

Evelyn melangkah maju, membungkuk singkat dengan setengah mengangkat gaunnya agar terlihat anggun.

“Selamat malam, Tuan Mason! Suatu kehormatan bisa bertemu denganmu malam ini.” sapanya dengan nada formal.

Mason tersenyum tipis, lalu dengan gerakan pelan namun penuh arti, ia menyelipkan beberapa helai rambut Evelyn yang terurai ke belakang telinganya. Gerakan itu begitu lembut, namun cukup untuk membuat semua orang di ruangan terdiam karena terkejut.

Declan, Avery, Selene, bahkan pelayan-pelayan yang berdiri di sudut ruangan memandangi adegan itu dengan mata melebar. Tak ada satu pun dari mereka yang mengira Mason akan bersikap seakrab itu dengan Evelyn.

Namun, yang paling terkejut adalah Xander. Berdiri di dekat pintu, ia mematung dengan rahang mengeras.

“Terima kasih, Tuan,” Evelyn akhirnya berkata, mencoba menjaga senyumnya agar tetap netral meskipun wajahnya sedikit memerah. Di saat yang sama, ia tidak bisa mengabaikan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul, terutama ketika matanya bertemu dengan tatapan Xander yang dingin.

Mason, yang tampaknya tidak menyadari suasana canggung itu, hanya tertawa kecil. “Ah, jangan terlalu formal, Evelyn. Aku lebih senang jika kita saling berbicara dengan santai.”

Kata-kata itu semakin membuat suasana di ruangan menjadi tegang, terutama bagi Selene, yang kini merasa seperti seorang penonton dalam panggung yang bukan miliknya. "Bagaimana mungkin Evelyn selalu mendapatkan segalanya?" Selene menggenggam tangannya erat, berusaha menahan emosinya.

Xander masih berdiri di ambang pintu, matanya terbakar oleh rasa cemburu dan kemarahan yang mendalam. Ia menatap Mason yang dengan santai menyentuh rambut Evelyn, menyingkirkan helaian rambut yang tergerai.

"Bagaimana bisa pria itu, yang bahkan bukan siapa-siapa, bertindak seenaknya begitu?" pikir Xander.

Sebagai suami Evelyn, Xander merasa seharusnya dia yang mendapatkan perhatian itu, yang mendapatkan kehangatan sentuhan lembut dari istrinya. Namun, pria asing itu—yang baru saja datang dan belum tentu memiliki kedekatan—dengan kurang ajar menyentuh Evelyn di depan matanya.

Xander menggertakkan gigi, mengepalkan tangan hingga otot-otot di tangannya terasa mengencang. Rahangnya pun mengeras, menahan diri dari meledakkan amarahnya. Meskipun ia sudah terbiasa menghadapi hinaan dan cacian dari keluarga besar Voss, ada satu hal yang tidak bisa diterimanya—melihat orang lain memperlakukan istrinya dengan cara yang tidak pantas. Itu adalah titik di mana kesabarannya teruji.

Matanya tidak lepas dari Evelyn, yang masih terdiam, seolah tidak bisa berbuat apa-apa dengan sentuhan Mason.

"Dia hanya menghormati kedudukan pria itu, itulah mengapa dia membiarkannya," pikir Xander, meskipun ia tahu itu bukan salah Evelyn.

Ia mulai melangkah maju, bertekad untuk menarik Evelyn dari situasi yang tidak nyaman ini. Namun, langkahnya terhenti ketika tiga pria besar yang mengiringi Mason memblokade jalannya dengan tubuh mereka yang kekar. Salah satu dari mereka, yang paling besar, mendorong Xander dengan kasar.

Tapi, dorongan itu tidak membuat Xander mundur sedikit pun. Tubuhnya tetap tegak, tidak bergerak. Dari ukuran tubuh, ia dan ketiga penjaga itu tampak seimbang—mungkin bahkan lebih besar.

Xander memilih untuk tetap diam di tempat. Ia tahu, jika terjadi sesuatu, ia akan langsung maju tanpa rasa takut. "Aku sudah berjanji pada kakek Ethan untuk melindungi Evelyn."

Keheningan di ruangan makan pecah begitu Declan membuka mulut. "Silakan duduk, Tuan."

Mason, dengan senyuman, duduk di samping Evelyn. Sekilas, dia melirik wanita itu dengan pandangan yang penuh ketertarikan.

Tangan Xander mengepal lagi, dan langkahnya maju ketika melihat Mason duduk di kursi yang sebelumnya ia tempati. Ada rasa risih yang mendera, seolah-olah seluruh situasi itu mendesak dirinya untuk bertindak. Tapi begitu ia melangkah lebih dekat, tiga penjaga yang mengiringi Mason kembali menghalangi jalannya, mendorongnya dengan kasar. Tubuh Xander terhenti di tempat, matanya menyala penuh amarah, namun ia memilih untuk tetap diam, menunggu waktu yang tepat.

Sementara itu, suasana berlangsung dengan hangat, meskipun ada ketegangan yang semakin terasa di udara. Declan berniat untuk memulai percakapan mengenai kerjasama antara perusahaan keluarga Voss dan beberapa perusahaan keluarga Dagger. Sebuah pembicaraan yang dapat membuka pintu bagi lebih banyak peluang keuntungan, tetapi ia merasa risih dengan kehadiran Xander yang sepertinya tidak tahu tempat.

Declan mengepalkan tangan di atas meja, wajahnya mengeras. "Sampah itu," ucapnya pelan dengan geram.

Mason yang mendengar ucapan itu menoleh ke arah Declan, matanya menilai.

"Ada apa, Tuan Declan?" tanyanya sambil melihat kearah pintu masuk

"Bukankah itu menantu tidak berguna keluarga Voss? Apa yang sedang dilakukannya di tempat ini? Apa dia salah satu yang diundang dalam acara ini?"

"Tidak, Tuan! Pria itu sama sekali bukan bagian dari keluarga Voss meski dia menikah dengan salah seorang dari kami. Dia pasti menyelinap ke acara ini hanya untuk sekadar mengisi perutnya yang kosong."

Avery, yang duduk di sebelah Mason, ikut berbicara dengan nada tinggi. "Kita abaikan saja sampah tidak berguna itu," katanya, melirik Xander dengan tatapan penuh kebencian sebelum akhirnya menoleh ke arah Mason, tersenyum lembut.

"Aku memiliki kabar bahagia untuk disampaikan pada kalian semua malam ini. Aku menganggap hal ini sebagai hadiah atas keberhasilan dan kerja keras keluarga kita."

Semua anggota keluarga Voss yang ada di meja langsung saling bertukar pandang, senyum penuh tanda tanya muncul di wajah mereka. Mereka tampaknya menunggu penjelasan lebih lanjut dari Avery. Namun, di sisi lain, Selene yang hanya menundukkan kepala, menghindari tatapan orang-orang di sekelilingnya. Jelas, dia masih kesal, terutama karena perasaan cemburu yang semakin membesar dalam dirinya saat melihat perhatian Mason tertuju pada saudarinya, Evelyn.

"Kabar bahagia?" tanya Declan, suaranya penuh rasa ingin tahu, namun juga tidak sabar. Semua orang pun ikut menunggu dengan antusias.

Avery berdiri dengan senyuman lebar di wajahnya, penuh kebahagiaan yang terpancar. Ia meraih tangan Evelyn di satu sisi dan tangan Mason di sisi lainnya, lalu menarik keduanya ke atas meja.

"Aku pikir Tuan Mason lebih berhak memberi tahu kalian kabar bahagia ini," ucap Avery.

Semua perhatian kini terarah pada Mason. Pria itu tersenyum lebar, matanya melirik Xander melalui sudut matanya.

Ada sesuatu dalam tatapan itu—kelegaan, kepuasan, bahkan penghinaan halus—saat melihat Xander yang masih terhalang oleh ketiga pengawal Mason.

Namun, Mason tahu bahwa momen ini bisa menjadi lebih menarik.

"Permainan ini harus dimainkan dengan sempurna." Batinnya

“Biarkan pria itu mendekat! Aku ingin dia juga mendengar kabar bahagia ini." ujar Mason dengan tenang, menginstruksikan ketiga pengawalnya untuk memberi jalan kepada Xander.

"Tuan Mason, apa maksud Anda?" Avery tampak terkejut dengan keputusan itu, suaranya mencerminkan kebingungannya. Ia hendak melanjutkan protes, tetapi berhenti seketika saat Mason memberinya sebuah kedipan. Isyarat itu cukup untuk membuat Avery diam.

Di sudut ruangan, Xander yang sejak tadi berdiri terdiam, langsung melangkah maju dengan langkah terburu-buru. Ia melewati ketiga pengawal Mason tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pandangannya terpaku pada Evelyn dan Mason.

Namun, ketika ia melihat tangan Avery yang masih menggenggam tangan Evelyn dan Mason bersamaan, dadanya mendadak terasa sesak.

Mason berdiri, pandangannya menyapu seluruh ruangan. Setelah memastikan perhatian semua orang tertuju padanya, ia akhirnya berbicara.

“Aku dan Nona Evelyn sudah sepakat untuk memberi tahu kabar bahagia ini pada kalian semua malam ini,” katanya dengan nada yang tenang.

"Aku dan Nona Evelyn berencana untuk menikah dalam waktu dekat."

Ruangan itu mendadak sunyi. Semua anggota keluarga Voss terlihat terkejut, saling melempar pandangan satu sama lain.

Selene, yang sebelumnya berharap bisa mendekatkan diri dengan Mason, merasa seperti ditampar dengan keras oleh kenyataan. Matanya melebar, ekspresi wajahnya berubah drastis, dari penuh antisipasi menjadi penuh kemarahan dan kekecewaan.

Selama ini ia tidak pernah tahu mereka memiliki hubungan seperti ini.

"Menikah dengan Evelyn? Apa maksudmu?"

Suara keras itu menarik perhatian semua orang, membuat mereka memutar kepala ke arah Xander yang kini melangkah maju. Tatapan tajamnya terarah langsung pada Mason. Namun, sebelum ia bisa mendekat lebih jauh, ketiga pengawal Mason kembali menghadang langkahnya.

"Evelyn adalah istriku, dan aku adalah suaminya!Bagaimana mungkin kau akan menikahi wanita yang masih memiliki ikatan pernikahan dengan seorang pria?" lanjut Xander.

Namun, Mason tampak tak terganggu. Dengan santai, ia mengangkat bahunya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.

“Aku dan Nona Evelyn sering bertemu dalam berbagai kesempatan akhir-akhir ini, dan aku benar-benar dibuat jatuh cinta padanya,” ucap Mason, suaranya terdengar santai.

Ia melirik Evelyn, senyum lembut muncul di wajahnya sebelum ia mengangkat tangan dan mengelus pipi wanita itu perlahan. “Dia begitu sempurna untukku. Kami berencana untuk menikah setelah Evelyn bercerai dengan... sampah itu.”

“Aku pikir orang sesempurna Nona Evelyn pantas mendapatkan pria yang juga sempurna sepertinya. Benar begitu, Nona Evelyn?” Sambung nya lagi.

Semua mata kini tertuju pada Evelyn, yang tampak terdiam di tempatnya. Mata wanita itu tertunduk, tak berani menatap siapapun. Avery, yang duduk di sampingnya, melirik tajam ke arah putrinya. Dengan cepat, ia menendang kaki Evelyn di bawah meja, memaksa wanita itu untuk segera memberikan jawaban.

Evelyn perlahan mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan tatapan Xander yang penuh kemarahan.

Namun, ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Kata-kata Xander tadi terus terngiang di benaknya. Pernikahan itu memang tidak pernah ia inginkan, tetapi selama dua tahun terakhir, ia tidak bisa menyangkal bahwa kehadiran Xander telah menjadi bagian dari hidupnya.

Di satu sisi, Evelyn merasa kesempatan ini adalah jalan keluar dari pernikahan yang tidak pernah ia cintai. Tetapi di sisi lain, ada sesuatu yang samar, sesuatu yang enggan ia sebut sebagai rasa kehilangan.

Namun, ia tahu tidak ada pilihan lain. Di bawah tatapan tajam ibunya dan Mason yang menunggu jawaban, Evelyn menarik napas panjang, lalu berbicara dengan nada lembut namun dingin.

"Ya, aku juga berpikir demikian. Selama ini aku begitu tersiksa dengan pernikahan yang aku jalani. Banyak kesempatan yang ada di depanku pergi begitu saja," katanya sambil mengalihkan pandangannya dari Xander.

"Aku juga sama sekali tidak merasakan kebahagiaan apa pun selama menikah. Tapi saat bersama Tuan Mason, aku merasa jika hidupku sempurna. Untuk itulah aku bersedia menikah dengannya."

Kata-kata itu terasa seperti petir yang menyambar Xander. Napasnya memburu, dan wajahnya memerah. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat.

"Aku tidak setuju!" teriaknya, suaranya menggema di ruangan itu. "Aku yakin ini pasti sebuah kesalahan!"

Namun, sebelum Xander bisa melanjutkan, Avery berdiri dari kursinya lalu ia menunjuk langsung ke arah Xander.

"Kesalahan yang kau maksud adalah kau sendiri, menantu tidak berguna!" Bentaknya.

"Kau sudah menghancurkan hidup putriku selama dua tahun. Selama itu pula kau sama sekali tidak memberikan apa pun pada putriku, kecuali penderitaan. Tuan Mason adalah pria yang paling tepat untuk mendampingi Evelyn. Kau sama sekali tidak pantas dibandingkan dengannya dalam hal apa pun. Bahkan, bayanganmu sekalipun."

Xander hanya berdiri terpaku di tempatnya, tubuhnya tegang. Setiap kata yang keluar dari mulut Avery seperti duri yang menusuknya dalam-dalam.

Declan dengan senyum sinis, ikut menambahkan. "Lagipula, setuju atau tidak itu bukan urusanmu."

"Evelyn sudah membuat keputusannya, dan kita semua tahu ini adalah yang terbaik untuknya."

Declan melirik Mason sekilas, membayangkan keuntungan besar yang akan datang jika pernikahan ini benar-benar terjadi. Kerja sama dengan Phoenix Vanguard melalui keluarga Dagger akan menjadi kunci emas bagi keluarga Voss.

"Enyahlah sekarang juga! Kehadiranmu di sini hanya akan merusak suasana malam yang seharusnya bahagia ini." Usir Declan sembari menunjuk pintu keluar.

Satu per satu dari mereka melontarkan kata-kata yang menyakitkan, seolah ingin merendahkan pria itu hingga tidak berdaya.

"Evelyn, katakan padaku bahwa semua ini adalah kebohongan,"ucapnya, melangkah maju dengan ekspresi memohon.

Namun, langkah Xander terhenti saat ketiga pengawal Mason dan beberapa penjaga mulai bergerak mendekat, menghalanginya dengan tubuh besar mereka. Avery, yang sudah kehilangan kesabaran, berteriak histeris.

"Diam dan pergilah sekarang juga! Kemasi barang-barangmu dan enyah dari kehidupan putriku malam ini juga!"

Xander mengabaikan teriakan Avery. Tatapannya tetap terarah kepada Evelyn, yang masih duduk memunggunginya. "Evelyn," katanya lagi, kali ini lebih lembut, tetapi dengan keteguhan yang jelas.

Avery, yang semakin naik pitam melihat Xander tidak menggubrisnya, melangkah cepat keluar dari kursinya. Dengan tangan terangkat tinggi, ia melayangkan tamparan keras ke pipi Xander tanpa ragu.

Plakk!

Suara tamparan itu menggema di ruangan, membuat semua orang terdiam sesaat.

"Selain kemiskinan dan kebodohan, apa kau juga memiliki pendengaran yang buruk?" bentak Avery dengan napas tersengal karena emosi.

Xander tidak melawan. Ia hanya mengusap pipinya yang mulai memanas akibat tamparan itu, lalu menatap Evelyn yang masih tidak berbalik.

"Aku akan pergi jika memang Evelyn yang memintaku pergi, Bu,"

Avery mengentak kakinya dengan kesal. "Kau benar-benar sudah gila!"

Akhirnya, Evelyn berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah Xander.

Jujur saja, selama menjalani pernikahan dengan Xander, ia belum pernah melihat pria itu semarah ini. Selama dua tahun pernikahan mereka, Xander selalu sabar menghadapi dirinya dan keluarganya, bahkan ketika mereka memperlakukannya seperti orang luar yang tidak diinginkan.

Namun, Evelyn tahu bahwa keputusannya sudah bulat. Ia telah memikirkannya berulang kali. Meski ada keraguan kecil yang menyelinap di hatinya, ia menepisnya dengan cepat. Dengan napas panjang, Evelyn akhirnya berbicara.

"Xander, aku ingin mengakhiri pernikahan denganmu mulai malam ini juga."

1
Was pray
keluarga voss keluarga yg terlalu menuhankan harta, sehingga rela menjadi anjing asal dpt harta
Was pray
cinta buta xander pd evelyn akan merendahkan martabat keluarga besarnya,bagaimana mau dpt cinta sejati dan tulus jika penampilan xander saja masih menunjukan dia anak orang kaya, dan sikap balas dendam dg cara menunjukan prestasi lebih elegan dan terhormat dimata org yg pernah merendahkannya,cari wanita yg lebih segalanya dari evelyn itu lebih bermartabat daripada balikan sama evelyn yg telah mencampakkanya
Was pray
xander terlalu ceroboh dlm bertindak, mau menyembunyikan identitas tapi ceroboh dlm bertindak
Was pray
xander terlalu PD, dua arti PD percaya diri dan pekok Dewe( bodoh sekali)
Anton Lutfiprayoga
up
Anton Lutfiprayoga
up...👌👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!