Om Pamungkas
Suasana rumah besar bercat putih itu benar benar suram malam ini,
semua orang tampak sedih dan marah.
Setelah tiga tahun, baru sekarang Pamungkas mengajukan cuti,
ia ingin membeli sebuah rumah di tempat kelahirannya ini,
namun rupanya kepulangannya saat ini kurang tepat,
situasi keluarga sedang tidak baik baik saja.
Pamungkas duduk di ruang tamu, menghisap rokoknya dengan tenang meski dari ruang tengah terdengar isakan tangis yang cukup menganggu telinganya.
Pamungkas menghela nafas berkali kali demi membuang rasa canggungnya.
" Padahal kau cuti untuk mencari ketenangan, tapi malah menemukan kondisi yang seperti ini.." suara kepala keluarga dirumah ini terdengar lelah dengan segala beban pikirannya,
ia duduk disamping Pamungkas.
" Tidak apa mas.. kita adalah keluarga, lagi pula...tidak ada yang mengharapkan hal semacam ini terjadi.." jawab Pamungkas melempar senyum mengerti.
" Ratih sudah terlalu lama menangis.. Aku sampai kasihan melihatnya.." keluh si laki laki yang berusia hampir setengah abad itu.
" Biarkan saja mas.. mungkin selama ini dia memendam tangisnya..
setelah menangis mungkin saja perasaannya akan jauh lebih baik.." sahut pamungkas sembari mematikan rokoknya.
" Aku tidak enak saja padamu.. setelah lama tidak pulang kau malah ku suguhi dengan hal semacam ini.."
" mas Adi jangan terlalu banyak berpikir, aku ini bukan tamu, tapi keluarga..
sebaiknya mas adi katakan saja apa yang bisa ku bantu.." ujar Pamungkas serius,
" Kita bicarakan besok saja.. sekarang kau makanlah dulu, lalu pergi ke kamar untuk tidur..
kau pasti lelah.."
" Saya belum lapar dan belum mengantuk mas,
ini juga masih belum terlalu malam..
mungkin sebentar lagi saya akan pamit keluar, dan kembali sekitar jam sembilan malam.."
Adi mengangguk,
" Baiklah.. jika kau lapar ambil carilah makanan sendiri di dapur ya, atau kau boleh cari mak Karso, dia biasanya tidur jam sembilan malam.." ujar Adi.
" Inggih mas.. sudah, mas kembalilah ke dalam, tenangkan Ratih..".
Sesungguhnya Pamungkas lapar, tapi mana bisa ia mengunyah makanan sementara ia mendengar isak tangis yang penuh pilu dari keponakan nya.
Pamungkas bahkan sempat melihat bagaimana wajah keponakannya yang sekarang sudah dewasa dan cantik itu lusuh karena air mata yang tumpah di seluruh wajahnya.
Sesekali ia bergumam di sela tangisnya,
" Aku tidak sudi lagi hidup dengan laki laki itu ma.. aku tidak sudi...",
suaranya menyayat hati, siapapun yang mendengarnya pasti ikut terluka.
Pamungkas berjalan kaki sudah sekitar seribu meter dari komplek rumah kakaknya itu,
ia mengamati para pedagang makanan di ruko ruko seberang jalan,
ini adalah kota yang di penuhi dengan menu bakso.
Pamungkas berjalan lagi lebih jauh, ia mencari tempat yang ia kenal.
" Lahh...! Pamungkas tho?!" sapa si tukang nasgor dengan raut yang ceria.
" Sopo maneh (siapa lagi)... memangnya aku punya kembaran?" pamungkas tersenyum seperlunya dan duduk di kursi plastik yang sudah di jajar dengan rapi.
" Cuti tho?"
" iyoo.."
" wah.. suwe ora ketemu awakmu aku ( wah.. aku lama tidak bertemu denganmu).." ujar si tukang nasgor yang merupakan teman SMA pamungkas.
" Aku suwe ora mole rene ( aku lama tidak pulang kesini).. wes, jangan bicara terus, buatkan aku nasgor mawut satu.. perutku sudah berteriak ini.." ujar Pamungkas memang lapar.
" Jalan kaki?"
" iyoo.. aku dari rumah kakakku di perumahan sana.."
" Owalah, tetap saja yo kamu iku.. sederhana.." ujar temannya sembari meracik nasi goreng.
" Sederhana opo tho Sul, aku sengaja jalan jalan untuk menikmati udara kota malang yang sudah tiga tahun tidak kurasakan..
kurang seru kalau naik kendaraan.." sahut Pamungkas.
Matahari pagi menembus jendela yang tirainya sengaja tidak ditutup tadi malam oleh Pamungkas.
Matanya mengerjap ngerjap karena silau.
Dengan tenang ia bangkit dari tempat tidurnya, tempat tidur yang tak lagi sama, rumah ini sudah banyak dirubah setelah kematian bapak dan ibu.
Tentu saja mas Adi mempunyai hak penuh atas rumah ini, sedangkan pamungkas tak meminta apapun meski ia sudah di beri sebidang tanah oleh bapaknya untuk membangun sebuh rumah.
Tapi mana berani pamungkas, sebagai anak tiri dia haruslah tau diri,
di sekolahkan dan di bimbing sampai mendapatkan pekerjaan yang baik saja dirinya sudah sangat bersyukur.
Baginya kebahagian ibunya adalah yang paling utama,
ia tak mau kehadirannya membebani ayah tirinya yang benar benar tulus menyayanginya dan ibunya itu.
Pamungkas berdiri disamping jendela, tanpa sengaja ia menemukan pemandangan yang membuat paginya kembali berat.
Keponakannya yang sudah menangis semalaman itu sedang duduk di taman belakang,
kebetulan Pamungkas tidur di kamar yang terletak di lantai dua, jendela kamar itu bisa melihat bebas pemandangan di samping dan belakang rumah.
Perempuan itu terlihat melamun, pandangannya kosong ke arah rumput yang tak jauh dari kakinya.
Pamungkas menghela nafas, lalu berbalik membuang muka dari perempuan yang menggunakan baby doll berwarna kuning muda itu.
Pamungkas turun untuk makan di ruang makan, rasanya tak enak jika terus menolak ajakan kakaknya untuk makan.
Namun setelah makan ia akan segera pergi,
karena tujuannya cuti adalah mencari rumah.
Rumah yang bisa ia singgahi ketika ia pulang ke malang, sehingga ia tak perlu lagi merepotkan kakaknya.
" Selamat pagi om..
maaf Ratih belum sempat menyapa om semalam.." suara Ratih tiba tiba saja berdiri disamping Pamungkas saat laki laki itu akan memasuki ruang makan.
Dengan cepat Ratih mengulurkan tangannya menggapai tangan Pamungkas dan mencium punggung tangan Pamungkas, itu adalah hal yang wajib di lakukan oleh orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua di dalam keluarga ini.
" Tidak apa apa.." jawab Pamungkas segera berlalu dengan cepat, ia berjalan mendahului Ratih.
" Wahh.. bidadari papa.. ayo sini makan yang banyak?!" Adi menyambut Ratih dengan senyuman lebar.
" Mbak masak sayur asem sama tempe kacang, menu favoritmu Pam..?!" suara kakak iparnya membawa piring kosong dan memberikannya ada Pamungkas.
Belum juga habis makanan mereka, suasana kembali rusak di karenakan mak Karso masuk ke ruang makan dengan tergopoh gopoh.
" Ngapunten (maaf) pak??" mak Karso terlihat bingung,
" Ono opo (ada apa) mak??" tanya Adi dengan dahi berkerut, ia meletakkan sendok nya di atas piring.
" Di depan ada suami mbak Ratih, mas Arga.. sudah saya bilang kalau mbak Ratih tidak ada disini tapi dia memaksa masuk pak??" jelas mak Karso takut kena marah si tuan rumah.
Suasana tiba tiba senyap sesaat, semua mata memandang Ratih,
" Aku tidak mau bertemu dengannya.." ucap Ratih sembari bangkit dari kursinya, ia tak bisa lagi menghabiskan makannnnya.
Dengan langkah cepat perempuan itu berlari ke kamarnya dan mengunci diri.
Pamungkas yang melihat itu hanya bisa diam, ia tak ingin ikut campur terlalu dalam karena ia belum benar benar mengerti situasi yang sesungguhnya, tapi tetap saja...ia gemas melihat keadaan ini.
" Suruh dia menunggu di ruang tamu mak.." ujar Adi dengan raut wajah yang sudah tidak setenang beberapa menit yang lalu.
" Nggih pak..." jawab mak Karso sedikit menundukkan kepala dan berlalu pergi.
" Mas.." panggil Pamungkas tiba tiba saat Adi sudah bangkit dari tempat duduk.
" Jika ada bukti, dan jika memang itu benar benar terjadi..
laporkan saja.. biar dia di didik oleh atasannya.." ujar Pamungkas menaruh sendoknya.
" Atau mas ingin aku yang turun tangan?" imbuh pamungkas memandang kakaknya yang beda usianya cukup jauh dengannya itu cukup serius.
" Sebagai seorang bapak, ini adalah tanggung jawabku..
meski kau sesungguhnya mempunyai kuasa untuk membantu.." jawab Adi lalu berjalan keluar dari ruang makan itu.
" Baiklah.." gumam Pamungkas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Awalan yg penuh teka teki,Apa yg sebenarnya terjadi??🤔🤔🤔
2024-02-22
1
dyul
Permulaan....
2023-10-19
2
Adriana Simanjuntak
halooo mba Ayu.... akhirnya ku menemukan karya mu lagi 😁 mood booster bgt deh. selamat berkarya ya mba... sehat selalu.
2022-11-13
3