Keberanian Dila, seorang gadis tunarungu yang menolong pria tua penuh luka, membawanya pada nasib cinta bagai Cinderella untuk seorang anak pungut sepertinya.
Tuduhan, makian, cacian pedas Ezra Qavi, CEO perusahaan jasa Architects terpandang, sang duda tampan nan angkuh yang terpaksa menikahinya. Tak serta merta menumbuhkan kebencian di hati Dilara Huwaida.
"Kapan suara itu melembut untukku?" batinnya luka meski telinga tak mendengar.
Mampukah Dila bertahan menjadi menantu mahkota? Akankah hadir sosok pria pelindung disekitarnya? Dan Apakah Dila mempunyai cerita masa lalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Qiev, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24. PINDAH
Setelah melakukan serangkaian test, Ruhama di anjurkan agar mendapatkan perawatan medis.
Kondisi lambungnya sudah parah, Ruhama didiagnosa menderita penyakit kronis. Sakit yang kerap muncul saat asam lambung atau empedu mengalir ke saluran makanan dan mengiritasi dinding dalamnya, Gastroesophageal reflux disease atau akrab disebut sebagai Gerd.
Dila mengingat kembali hasil pemeriksaan Ibu yang Ezra berikan. Riwayat medis satu tahun lalu, artinya Ibu tidak pernah lagi memeriksakan kesehatannya di tahun ini.
Pantas saja, Dila kerap melihat ibu kesakitan. Mengeluh panas di dada dan tenggorokannya, terkadang nyeri hingga ke punggung dan tidak dapat berbaring dengan nyaman. Bahkan tak jarang melihat tangan beliau bergetar hebat.
"Dila, pulanglah dulu. Layani suamimu dengan baik, kalian belum makan bukan? Ibu bisa sendiri di sini dan juga ada suster yang menemani," pinta Ruhama lemah pada Dila yang duduk disamping ranjangnya.
Dilara menggelengkan kepala pelan, tak tega meninggalkan Ibu.
"Dila, makan dulu, ayo," ajak Ezra menepuk bahunya.
"Pergilah," lanjut Ibu.
Akhirnya Dila menuruti perkataan ibunya. Bangkit mengikuti Ezra menuju cafetaria di lantai dasar.
"Lex, tolong di sini sebentar atau kau ikut kami? " tanya Ezra.
"Aku di sini saja," balas Rolex seraya duduk di sofa panjang ruangan itu. Tersekat dengan ranjang sang mertua bos nya.
Baru kali ini Dilara berjalan bersisian dengan seorang pria dengan wajah rupawan. Seketika dirinya minder merasa tidak pantas, sehingga ia memperlambat langkah dan mengekori Ezra.
Dari posisi inilah, Dila bisa menegakkan kepala, melihat betapa tegap punggung suami yang tinggi menjulang tengah berjalan di depannya. Ezra tidak sadar, karena ia masih asik memainkan gawai, tidak memperhatikan bila Dilara kini ada di belakangnya.
Saat akan memasuki cafetaria.
"Dila?" Ezra baru menyadari Dila tak disampingnya.
Dilara hanya mengibaskan tangan agar Ezra melihat.
"Kirain kemana, jangan jauh-jauh nanti ilang, susah lagi nyarinya. Rumah sakit ini luas sedangkan kamu ga bisa bicara!" sengitnya pada Dila.
"Dia memakiku kah? Eh, jadikan umpatan, makian Abang sebagai cemilan harian ya Dila, jika tidak enak maka lepeh saja jangan ditelan. Semangat." Dila menyemangati diri sendiri.
"Ngerti gak aku bilang apa?" Ezra menatap tajam.
"Iya, aku mengerti Tuan," Dila menulis di catatan seperti biasa.
"Sana, pilih makanan. Sekalian untukku," Ezra meminta Dila mengambilkan menu untuknya.
Dilara pun pergi ke beberapa stand yang tersedia disana. Makanan Sunda, fast food, dan banyak lagi.
Dila bingung tidak mengetahui selera suaminya, maka dia hanya memesan menu nasi timbel kumplit dua porsi lalu membayar tagihan.
Saat Dila kembali ke meja, dia rikuh ingin duduk disebelah mana. Ezra yang tak peka membiarkan istrinya berdiri beberapa lama hingga gadis itu menarik bangku di meja sebelahnya.
Bukannya melarang, Ezra membiarkan Dila melakukan hal itu hingga pesanan datang. Sang istri lalu menyiapkan terlebih dulu segala kebutuhan Ezra agar makan dengan nyaman, setelah bayi besarnya diam dan tenang, barulah Dila menyentuh menu miliknya.
Keduanya tidak pernah mengira, saat Dilara melayani Ezra, ada sepasang netra memperhatikan dari jarak jauh. Mata yang memandang Ezra dengan penuh kebencian juga menatap Dilara dengan sorot mata yang tak dapat diungkapkan.
"Siapa gadis ayu disamping pria angkuh itu," pikir seorang yang memperhatikan di kejauhan.
"Roy, aku ingin mengetahui latar belakang gadis itu. Awasi dia seperti biasanya," ucapnya pada asisten pribadi yang mendorong kursi rodanya menuju mobil.
Sementara Ezra asik dengan dunia makannya. Dila tidak bernafsu dengan menu yang ia pesan, pikirannya fokus pada Ibu. Dia hanya diam menunggu sang suami selesai.
Ezra melihat Dila tak menyentuh makanannya sama sekali namun ia tak ingin ambil pusing, terserah saja pikirnya.
"Ayo balik," Ezra bangkit meninggalkan cafetaria mendahului Dila. Tidak ada percakapan di antara mereka berdua hingga tiba kembali di kamar Ruhama.
Rolex menyampaikan bahwa dokter ingin bertemu dengan keduanya, saat mereka telah masuk ke kamar perawatan.
Ezra lalu memutuskan menemui dokter seorang diri. Di saat yang sama, Leon menelponnya mengatakan sesuatu hal penting telah terjadi di Jakarta.
Satu jam kemudian.
"Dila, kemari," Ezra menepuk bahu Dila yang sedang lirih mengaji di ujung ranjang Ruhama mengajaknya keluar kamar.
"Duduk," Ezra meminta Dila duduk dibangku panjang.
"Mana catatanmu? aku pinjam," pinta Ezra memperagakan dengan jarinya, bentuk buku dan gaya menulis, karena ia tak ingin Dila salah paham.
Dilara menyodorkan buku catatan serta pulpen miliknya pada Ezra..
"Ibu harus dirawat setidaknya dua minggu disini, agar kondisinya kembali membaik. Tapi aku ada urusan di Jakarta, mungkin tidak akan kembali dalam waktu dekat. Kau ikut denganku sekalian pindah, ibu akan ditemani Velma." Kali ini Ezra menulis untuk menjelaskan maksudnya.
"Tulisan Abang rapi," Dila tersenyum, mengagumi dalam hati.
"Apa senyum-senyum? aku tak akan menyentuhmu, asal kau tahu!" ucapnya sinis, seraya menulis.
"Jangan Ge-er, Tuan," Dila membalas tulisan Ezra tepat dibawahnya.
"Aku harus pindah ya? gak boleh nemenin Ibu hingga selesai pengobatan? aku gak keberatan pergi pulang. Bagaimana pekerjaanku? kursus bahasa ku?" lanjut Dila meneruskan kalimatnya.
"Apa kata Papa nanti, pokoknya ikut denganku. Lagipula seberapa penting sih kegiatan yang kau punya? kau bisa bekerja denganku jika ingin, membantu Bi Inah misalnya, aku akan menggajimu," balas Ezra dibawah tulisan Dila.
"Bi Inah?"
"Asisten rumah tangga, pengasuh ku sejak kecil. Sudah saatnya beliau pensiun bukan, yah itu pun jika kau ingin dirimu dianggap berguna. Supaya tidak dituduh pansos," sindir Ezra.
"Tuan, Anda tak usah menggaji ku jika hanya untuk urusan bebenah rumah. Karena merawat kediaman agar tetap nyaman dan bersih adalah termasuk dalam menjaga harta suami, dan itu adalah bakti sebagai istri," Dila menjawab yang ia tahu.
"Baguslah jika begitu, malam ini kita pulang ke Mansion. Besok pagi kembali kemari dan siangnya kita ke Jakarta. Pamit dengan benar pada Ibu, jangan lupa." Ezra menyerahkan kembali catatan pada Dila setelah ia selesai menulis.
Dilara hanya diam membaca kembali setiap kalimat yang mereka torehkan.
"Inilah awal perjalanan rumah tanggaku, bismillah aku kuat, aku bisa, demi Ibu," gumam Dila seraya menarik nafas panjang. Menghembuskan perlahan ke udara yang mulai terasa dingin. Bukan karena suhu kelembabannya namun karena hati kian terasa hampa.
Lamunannya seketika buyar saat Rolex mendatangi bangku yang masih ia duduki.
"Nyonya, semua keperluan Anda di Jakarta sudah Leon siapkan, aku hanya meminta tanda tangan Anda disini, untuk pengesahan beberapa dokumen yang akan diperlukan nanti. Silakan," Rolex menyodorkan buku catatan berisi kalimat panjang, serta beberapa lembar kertas penuh dengan tulisan yang enggan Dila baca.
.
.
..._____________________________...
...Maaf lama yaa, karena diminta untuk revisi. Jadi mommy sekalian ubah konsep gaya dan cara komunikasi Dila, dan berusaha sebisa mungkin tetap sinkron dengan episode yang sudah berjalan....
...Thanks support kalian 🥰🙏🏾....
⭐⭐⭐⭐⭐