NovelToon NovelToon
Elegi Grilyanto

Elegi Grilyanto

Status: sedang berlangsung
Genre:Janda / Keluarga / Suami ideal / Istri ideal
Popularitas:579
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Hari Minggu yang cerah menyambut keluarga kecil itu dengan lembut.

Grilyanto bangun lebih pagi dari biasanya. Ia berdiri di depan jendela rumah kontrakan mereka di Bumiarjo, mengamati cahaya matahari yang perlahan menyelinap masuk ke sela-sela pohon dan atap rumah.

Udara pagi itu membawa ketenangan, seperti pertanda hari yang baik.

Dari dapur terdengar suara Sri sedang menyiapkan sarapan.

Aroma nasi goreng sederhana dengan irisan telur dadar memenuhi rumah.

Di pangkuannya, Pramesh yang baru bangun sesekali menguap kecil, matanya masih berat, namun tertarik melihat warna-warni dapur ibunya.

"Sayang, bagimana kalau hari ini kita rekreasi ke THR?"

Sri menghentikan gerakannya, menoleh sambil tersenyum lebar.

“Taman Hiburan Rakyat? Wah, sudah lama aku nggak ke sana, Pa. Dulu waktu kecil sering diajak ibu.”

Grilyanto mengangguk sambil mencium ubun-ubun putrinya.

“Iya, aku pikir Pramesh juga pasti senang lihat warna-warni dan suasana ramai. Lagipula, kita butuh udara segar.”

Setelah sarapan, mereka bersiap-siap. Sri mengenakan kebaya sederhana berwarna pastel dan kain panjang, sedangkan Grilyanto mengenakan kemeja lengan pendek dan celana kain.

Pramesh dibungkus dalam gendongan kain batik yang rapi, kepalanya terlindung topi kecil berwarna merah muda.

Mereka naik becak menuju THR di pusat kota Surabaya.

Sepanjang jalan, Sri menikmati pemandangan kota yang perlahan mulai sibuk, tapi tetap menyisakan ketenangan khas Minggu pagi.

Grilyanto menggenggam tangan istrinya erat, senyuman tak pernah lepas dari wajahnya.

Sesampainya di THR, suasana sudah ramai oleh keluarga-keluarga lain yang juga ingin menikmati libur akhir pekan.

Anak-anak berlarian, penjual balon berjalan mondar-mandir, dan suara musik dari panggung hiburan rakyat mengalun riang.

“Lihat, Ma! Ada penjual arum manis!” seru Grilyanto dengan antusias.

“Beli satu, Pa. Untuk nostalgia masa kecil.”

Grilyanto mengangguk, membeli arum manis berwarna merah muda yang langsung ia ulurkan ke Sri. Dengan Pramesh di gendongannya, Sri tampak seperti ibu muda yang bahagia wajahnya berseri-seri di tengah keramaian.

Mereka berjalan pelan-pelan menyusuri taman, melihat pertunjukan wayang orang di salah satu panggung kecil. Pramesh tampak terpesona meski belum mengerti sepenuhnya.

Sri sesekali mengayun-ayun tubuh Pramesh sambil berbisik, “Lihat, Nak. Itu seni budaya kita.”

Setelah puas berkeliling, mereka duduk di tikar sewaan di bawah pohon besar.

Sri membuka bekal kecil yang dibawanya dari rumah tahu isi, pisang rebus, dan air teh manis hangat dalam termos.

Grilyanto menggelar tikar dan mereka menikmati makan siang sederhana sambil menatap keramaian yang riuh namun hangat.

“Aku ingin hidup seperti ini selamanya. Sederhana, tapi penuh rasa syukur.”

Sri memandangnya dengan mata berkaca-kaca, menggenggam tangannya.

“Aku juga, mas. Selama kita bersama, semua akan terasa cukup.”

Hari mulai sore ketika mereka memutuskan pulang. Pramesh sudah tertidur di gendongan, wajah mungilnya tampak damai.

Di atas becak dalam perjalanan pulang, Grilyanto memandang kedua perempuan tercintanya.

Hatinya penuh oleh cinta, syukur, dan harapan. Dan dalam batinnya ia berdoa agar hari-hari mereka ke depan selalu penuh dengan tawa, cinta, dan kehangatan seperti hari ini.

Malam itu di rumah kecil mereka di Bumiarjo, suasana terasa begitu tenang.

Lampu kamar hanya menyala redup, temaramnya menyinari sudut-sudut ruangan dengan lembut.

Di luar, suara jangkrik bersahut-sahutan, menyatu dengan hembusan angin malam yang sesekali menggoyangkan tirai jendela.

Grilyanto duduk di sisi ranjang, memandangi dua sosok yang kini menjadi dunia dan semestanya.

Sri terlelap dalam tidur yang tenang, wajahnya damai dan lembut, seolah semua lelahnya hari ini telah tertambal oleh cinta yang mengalir dalam hidupnya.

Di sampingnya, terbaring dengan selimut kecil dan tangan mungil terangkat sedikit, adalah Pramesh bayi perempuan yang menjadi cahaya baru dalam rumah tangga mereka.

Malam ini Pramesh tidak rewel seperti malam-malam sebelumnya.

Ia tertidur nyenyak, nafasnya teratur, dan senyuman kecil sesekali muncul di bibir mungilnya.

Mungkin mimpi tentang pelukan ibunya, atau suara tawa ayahnya siang tadi masih menghangatkan tidurnya.

Grilyanto membungkuk perlahan, lalu menarik selimut menutupi pundak istrinya.

Ia tahu betapa besar cinta Sri sebagai seorang ibu yang rela begadang, memasak, membersihkan rumah, dan tetap mampu tersenyum lembut setiap kali ia pulang kerja.

Hatinya dipenuhi rasa syukur yang dalam, perlahan, ia rebahkan tubuhnya di sisi istrinya dan tanpa membangunkan, ia peluk tubuh Sri dari belakang.

Di dalam pelukannya, Grilyanto merasakan hangat tubuh wanita yang telah memilih bersamanya, bertahan di tengah segala kekurangan dan mencintainya dengan tulus.

Dikecupnya pelan bahu istrinya, seolah mengucapkan terima kasih yang tak mampu dijabarkan dengan kata-kata.

“Terima kasih, Sri, telah menjadi rumah yang paling nyaman.”

Namun bagi Grilyanto, pelukan malam itu adalah doa.

Doa agar rumah kecil mereka selalu penuh dengan cinta, dan agar pagi yang datang nanti tetap menghadirkan senyuman di wajah orang-orang yang ia cintai.

Sejak Pramesh lahir, rumah bumiarjo menjadi damai dan tentram.

Grilyanto menarik napas panjang, membiarkan paru-parunya dipenuhi oleh aroma tubuh istrinya yang selalu membuatnya merasa damai.

Wangi khas Sri perpaduan antara sabun mandi, sedikit minyak telon dari Pramesh dan kehangatan rumah membuat rasa lelahnya seketika meluruh.

Namun saat ini, di atas kasur mereka yang sederhana, dipeluknya tubuh wanita yang paling ia cintai, dan semua beban yang tadi terasa menekan pundaknya kini lenyap, diganti oleh rasa syukur yang menenangkan.

Tangannya yang kasar karena kerja keras membelai perlahan lengan Sri, lalu berhenti di perutnya. Ia ingat saat pertama kali mereka tahu Sri hamil.

Tangis haru, tawa bahagia, dan kekhawatiran sebagai calon ayah semuanya berkumpul jadi satu.

Tapi kini, Pramesh telah hadir, tidur dengan tenang di tempat tidur kecilnya, menjadi bukti cinta mereka yang tak terputus.

“Aku akan terus berjuang untuk kalian. Untuk rumah ini, untuk cinta ini…” bisiknya, meski ia tahu istrinya sudah terlelap.

Perlahan, matanya mulai berat dan kelopak matanya tertutup sepenuhnya.

Dunia seolah mengecil menjadi hanya satu hal yaitu kehangatan yang ia peluk erat malam itu.

Grilyanto pun akhirnya memejamkan matanya, menyerah pada kantuk yang lembut, sementara dadanya naik turun dengan ritme napas yang tenang.

Dan dalam gelap malam yang damai itu, dua hati yang saling mencinta tertidur dalam satu pelukan, di bawah langit Surabaya yang sunyi, namun penuh harapan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!