Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Waktu seolah membeku di taman tersembunyi itu. Entah sudah berapa lama ciuman mereka berlangsung—mungkin hanya beberapa detik, mungkin selamanya—saat sebuah kilatan cahaya putih yang tiba-tiba menginterupsi dunia berdua mereka.
Flash!
Mereka terpisah secara refleks, napas tersengal, mata berbinar bingung dan waspada menatap ke arah sumber cahaya. Seorang fotografer jalanan dengan kamera tua tersenyum kecut, memperlihatkan foto yang baru saja dia jepret. Dengan bahasa Inggris terbata-bata, dia menawarkan hasil jepretannya.
Dengan perasaan campur aduk, Rayyan dan Jessy menerima selembar foto cetak instan itu. Di atas kertas, terpampang gambar mereka berdua dalam pose yang begitu intim. Rayyan dengan tubuhnya yang tegap membungkuk mencium Jessy yang mendongak, tangan mereka saling berpegangan erat. Latar belakang taman kuno dengan paviliun batu dan dahan pohon persik yang bermekaran membuat foto itu terlihat seperti adegan dari film romantis Tiongkok kuno. Jessy langsung berseri-seri, matanya berbinar senang. Rayyan, di sisi lain, wajahnya memerah merona, rasa malu yang dalam menyerangnya. Dia tak percaya dengan keberaniannya sendiri tadi.
Dengan girang, Jessy mengeluarkan uang dari saku hanfu-nya dan membayar foto itu tanpa ragu.
"Bagus ya," gumam Jessy, tak bisa mengalihkan pandangannya dari foto itu, jari-jarinya halus menyentuh permukaannya. Dia melirik Rayyan. "Kamu suka nggak?"
Rayyan masih terbawa perasaan. Pipinya yang merah dan tatapannya yang menghindar berbicara lebih keras dari kata-kata. Dia baru saja melakukan sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan karakternya yang dingin dan terkendali.
"Rayyan..." panggil Jessy, suaranya lembut menariknya kembali ke realita.
Rayyan menghela napas, akhirnya menatap mata Jessy. "Iya... aku suka," akunya, suaranya rendah namun jujur.
Sekarang, pertanyaan besar menggantung di antara mereka. Jessy mengambil inisiatif, hatinya berdebar penuh harap. "Jadi... sekarang kita?" tanyanya, mencari kepastian.
Rayyan mengusap belakang lehernya, tanda kebingungan yang jelas. "Aku belum tau, Jes," jawabnya jujur. Pikirannya berputar cepat. Dia baru saja menyerah pada perasaannya, tapi konsekuensinya terasa begitu besar.
"Kamu mau kita HTS aja?" tanya Jessy, mencoba opsi lain.
Rayyan menggeleng. Hubungan setengah hati seperti itu bukan yang dia inginkan.
"Terus apa? Kamu nggak mau kita pacaran? Terus kamu maunya kita main-main aja?" ujar Jessy, suaranya mulai kesal dan terluka. Setelah ciuman yang begitu dalam, dia tidak mau kembali ke ketidakpastian.
"Jes..." Rayyan mencoba menenangkannya, suaranya berat. "Bisa kita jalanin hubungan ini dulu? Aku belum tau kedepannya harus apa. Orang-orang pasti akan ngomongin kita." Dia membayangkan bisik-bisik di kampus, tatapan sinis, dan yang paling menakutkan—reaksi ibunya.
"Kamu takut jadi bahan omongan orang-orang? Kamu malu jadi pacar aku? Aku Jessy Sadewo, ingat!" seru Jessy, harga dirinya tersentuh.
"Iya, karena kamu Jessy Sadewo makanya aku nggak bisa begitu aja masuk ke kehidupan kamu!" balas Rayyan, suaranya meninggi oleh frustrasi. Dia merasa terjepit antara perasaannya dan realitas sosial yang membedakan mereka.
Melihat wajah Jessy yang langsung murung dan kecewa, hati Rayyan tersentak. Dia tidak ingin menyakitinya, bukan lagi.
Dia menarik napas dalam, mencoba tenang. "Kasih aku kesempatan untuk berkembang," ujarnya, suaranya lebih lembut namun penuh tekad. "Sampai aku benar-benar pantas di sisi kamu." Itu adalah janji, sebuah pengakuan bahwa dia ingin menjadi pria yang setara, bukan hanya 'pacar' yang hidup dari belas kasihan.
Mereka saling bertatapan, semua emosi yang bergolak terpancar jelas. Jessy lalu melangkah mendekat dan memeluk Rayyan erat-erat, kepalanya menempel di dada Rayyan yang masih berdebar. Pelukan itu hangat dan penuh rasa memiliki.
"Tapi kamu milik aku kan... Hanya aku?" tanyanya dengan suara lembut, hampir seperti bisikan, mencari kepastian terakhir.
Rayyan membalas pelukannya, menunduk dan mencium kening Jessy dengan lembut. "Iya, Jes," gumannya, sebuah penegasan yang tulus.
Dalam bangunan berusia ratusan tahun yang telah menyaksikan begitu banyak sejarah itu, perasaan Jessy akhirnya terbalaskan. Sebuah kebahagiaan yang dalam dan hangat membanjiri hatinya. Namun, di sisi lain, Rayyan justru diliputi oleh kebingungan yang lebih besar. Dia mulai mencintai Jessy, itu sudah jelas. Tapi bayangan wajah ibunya, Ibu Maryam, dengan mata lelah dan kenangan pahit di Kedai Roti Maryam, muncul dengan jelas dalam pikirannya. Kabar bahagia ini, dia tahu, pasti tidak akan disambut dengan sukacita oleh satu-satunya wanita yang paling dia cintai dan hormati dalam hidupnya.
***
Aula Serba Guna Universitas Baratha dipenuhi oleh gemuruh tepuk tangan yang membahana. Sorot lampu kamera dan kilau cahaya memusat pada panggung, di mana Rayyan Albar berdiri tegak dengan medali emas dan piagam penghargaan internasional di tangannya. Namun yang membuat suasana semakin mengharukan adalah kehadiran seorang wanita sederhana di sampingnya—Ibu Maryam.
Dengan kebaya sederhana namun rapih, wajahnya yang mulai berkeriput memancarkan kebanggaan yang tak terbendung. Matanya berkaca-kaca ketika Rektor secara khusus memujinya sebagai "Ibu Hebat di Balik Mahasiswa Berprestasi". Rayyan memegang erat tangan ibunya, memberikan tekanan halus sebagai bentuk dukungan. Saat ibu Maryam maju menerima bouquet bunga, sorak-sorai semakin keras. Inilah momen paling membahagiakan dalam hidup mereka—sebuah pengakuan atas segala perjuangan dan air mata selama ini.
---
Di area luar hall yang masih ramai oleh tamu undangan, Ibu Maryam dan Rayyan berdiri di bawah pohon rindang. Beberapa teman Rayyan datang bergantian memberikan selamat, berjabat tangan dengan hangat.
Tiba-tiba, siluet familiar mendekat. Jessy Sadewo, dengan gaun putih sederhana yang justru menonjolkan kecantikannya, tersenyum manis.
"Rayyan, selamat ya," ujarnya menjabat tangan Rayyan dengan formal, namun ada getar khusus di tatapan mereka yang hanya mereka berdua yang paham. Lalu ia berpaling ke Ibu Maryam. "Selamat, Bu, atas prestasi anaknya." Jessy menjabat tangan Ibu Maryam dengan sopan.
Mereka berdua telah sepakat untuk merahasiakan hubungan mereka sampai Rayyan merasa benar-benar siap dalam segala hal—ekonomi, karier, dan yang paling penting, penerimaan keluarga.
Namun, Ibu Maryam tak kunjung melepaskan pandangannya dari wajah Jessy. Alisnya berkerut perlahan, matanya menyipit seolah mencoba mengingat sesuatu. Wajah cantik itu terasa sangat familiar, mengusik memori yang selama ini berusaha dia pendam.
"Siapa itu, Nak?" tanya Ibu Maryam pada Rayyan begitu Jessy pergi, suaranya berbisik penuh curiga.
Deg.
Jantung Rayyan berhenti berdetak. Apakah ibunya ingat?
"Anak pemilik yayasan kampus, Bu," jawab Rayyan akhirnya, berusaha terdengar datar.
"Kayaknya Ibu pernah liat. Di mana, ya?" gumam Maryam, jari-jarinya yang berurat menepuk pelipisnya.
Rayyan memilih diam, tak ingin melanjutkan percakapan itu. "Kita langsung pulang aja, Bu," usutnya, berharap bisa segera menjauh dari tempat ini.
Maryam mengangguk patuh, dan mereka berjalan menuju area yang lebih sepi sambil menunggu taksi daring.
---
Tak lama kemudian, sebuah insiden kecil terjadi. Sebuah mobil sedan hitam mewah nyaris menyerempet motor tua yang dikendarai seorang mahasiswa. Nita, yang menyetir mobil itu, langsung turun dengan wajah merah padam.
"Hei! Mata lo di mana? Awas aja kalo mobil gue sampe lecet!" serunya pada mahasiswa yang sudah terlihat ketakutan itu.
"Maaf, Kak," jawab mahasiswa itu dengan gemetar.
Dari dalam mobil, Jessy melongok keluar. "Udahlah, Nit. Kalo mobil lo lecet juga tu anak nggak bakal bisa gantinya," ujarnya dengan nada datar.
Della juga ikut melongok dari kursi belakang. "Ngarepin apa dari warga miskin," kekehnya sinis.
Seluruh adegan itu terpampang jelas di depan mata Rayyan dan Ibu Maryam. Dan seperti potongan puzzle yang akhirnya menyatu, ingatan Maryam langsung terpanggil jelas.
"Yan..." genggam Ibu Maryam lengan Rayyan dengan kuat, wajahnya pucat. "Itu anak yang waktu itu nabrak toko kue Ibu!" serunya, suaranya bergetar oleh kemarahan dan luka lama yang kembali terbuka. "Kamu inget kan?!"
Rayyan terdiam membatu, mulutnya terkunci. Jelas dia ingat. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan pemandangan itu?
"Kamu nggak temenan sama dia, kan?" tanya Maryam, matanya membelalak penuh harap bahwa putranya tidak terlibat dengan gadis semacam itu.
Rayyan masih diam, tenggorokannya terasa kering. Darahnya berdesir dingin.
"Jangan sampai, Nak, kamu dekat-dekat sama perempuan kayak gitu," Ibu Maryam melanjut, suaranya kini penuh dengan emosi yang meledak. "Sekalipun dia anak orang kaya!" Nafasnya tersengal. "Liat aja kelakuannya, seperti nggak tau adab!"
Rayyan hanya bisa terdiam, memperhatikan ibunya yang hampir menangis. Di satu sisi, ada Jessy yang mulai dia cintai, yang di China telah menunjukkan sisi rentan dan tulusnya. Di sisi lain, ada ibunya—wanita yang telah mengorbankan segalanya untuknya, yang hidupnya telah dihinakan oleh Jessy di masa lalu.
Apa yang harus dia katakan? Bagaimana mungkin dia bisa mengakui bahwa kini dia menjalin hubungan dengan sumber luka terdalam ibunya? Rasanya seperti mengkhianati segala pengorbanan yang telah Ibu Maryam lakukan. Di tengah kebahagiaan atas prestasinya, sebuah badai baru yang lebih dahsyat justru mulai mengancam di garis cakrawala kehidupan Rayyan.
***
Sabtu itu Jakarta dihujani sinar mentari yang ramah. Untuk pertama kalinya sejak hubungan mereka yang masih rahasia ini dimulai, Rayyan dan Jessy memutuskan untuk berkencan layaknya pasangan biasa. Tujuan mereka: Seaworld Ancol, diikuti oleh petualangan di Dufan.
Di dalam lorong akuarium raksasa Seaworld yang diterangi cahaya biru kehijauan, Jessy berjalan dengan mata berbinar seperti anak kecil. Ikan-ikan tropis berwarna-warni berenang di balik kaca tebal, menciptakan balet bawah air yang memesona. Tapi yang membuat kencan ini istimewa adalah pemandu pribadi di sampingnya.
"Lihat yang itu, Jes," ujar Rayyan, suaranya rendah di dekat telinganya, menunjuk seekor ikan pari yang melayang anggun. "Itu Manta alfredi. Mereka punya sistem elektroresepsi di moncongnya untuk mendeteksi medan listrik mangsa di pasir."
Jessy memandangnya dengan takjup. "Serius? Kamu tahu segalanya, ya?"
Rayyan hanya tersenyum kecil, lalu menuntunnya ke terowongan bawah air. Di sana, seekor hiu berenang tepat di atas kepala mereka. Jessy sedikit mengeratkan genggamannya pada lengan Rayyan.
"Jangan takut," Rayyan menenangkan. "Itu Carcharhinus amblyrhynchos, hiu karang abu-abu. Mereka umumnya nggak agresif sama manusia kecuali diprovokasi. Sistem sensor gurat sisinya membantunya mendeteksi getaran di air."
"Oke... Oke, kamu pinter banget," Jessy terkikik, terkesima namun juga merasa sedikit kewalahan. Matanya kemudian menangkap seekor makhluk aneh yang diam di sudut bebatuan karang. "Coba, yang itu apa?" tanyanya, menunjuk seekor gurita raksasa dengan kulit yang bertekstur seperti karang.
Rayyan mendekat, matanya mengamati dengan seksama. "Itu Octopus cyanea," mulainya, suaranya jelas namun penuh rasa ingin tahu, seolah senang bisa berbagi pengetahuannya. "Dia juga dijuluki Day Octopus atau Gurita Siang karena aktif di siang hari, nggak seperti kebanyakan gurita lainnya."
Jessy mendengarkan dengan saksama.
"Lihat kulitnya yang bisa berubah tekstur dan warna?" Rayyan menjelaskan. "Itu berkat ribuan sel khusus bernama kromatofor di bawah kulitnya. Mereka bisa meniru warna dan tekstur lingkungan sekitarnya dalam hitungan detik untuk berkamuflase. Tapi kehebatannya tidak berhenti di situ."
Dia menunduk sedikit, seolah berbagi rahasia. "Gurita ini punya tiga jantung dan darah berwarna biru karena mengandung hemocyanin yang kaya tembaga, bukan hemoglobin seperti kita yang mengandung zat besi. Yang paling keren, mereka adalah makhluk yang sangat cerdas. Mereka bisa memecahkan teka-teki sederhana, membuka stoples, dan bahkan memiliki memori jangka panjang. Beberapa penelitian menunjukkan mereka bisa mengenali wajah manusia yang berbeda."
Mendengar penjelasan detil itu, Jessy hanya bisa terpana. Bukan hanya pada fakta-faktanya, tapi pada cara Rayyan berbagi—dengan antusiasme yang tulus dan mendalam. Dia tidak sedang pamer; dia sedang mengajaknya masuk ke dunianya.
Tanpa bisa menahan diri, Jessy memeluk erat lengan Rayyan dan menempelkan kepalanya di bahunya. "Aah... Aku bangga banget punya cowok jenius!" serunya, suaranya bergetar bahagia.
Rayyan, yang biasanya kaku, kali ini membiarkan dirinya menikmati pelukan itu, sebuah senyum kecil yang hangat akhirnya merekah di bibirnya.
---
Petualangan mereka berlanjut ke Dufan. Di sana, aura mereka berubah total. Rayyan yang misterius dan dingin seolah meleleh oleh tawa dan teriakan Jessy. Mereka naik Halilintar, dan untuk pertama kalinya, Rayyan membiarkan dirinya berteriak lepas, tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Jessy. Di Kora-Kora, mereka berdiri berhadapan, tertawa melihat wajah satu sama lain yang diterpa angin kencang.
Setiap wahana menjadi alasan untuk sentuhan. Pundak yang bersentuhan saat antre, pelukan erat di roller coaster, dan tangan yang tak pernah berpisah. Rayyan menemukan kebebasan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya, sementara Jessy menemukan kehangatan di balik tembok dingin pria itu.
Hari semakin sore saat mereka akhirnya naik ke dalam bianglala. Kabin berwarna-warni itu naik perlahan, membawa mereka menjauh dari keriuhan di bawah. Saat mereka mencapai puncak, tepat di atas seluruh Ancol, bianglala itu berhenti, memberikan mereka momen hening yang sempurna dengan pemandangan laut dan kota Jakarta yang mulai dihiasi lampu-lampu senja.
"Rayyan..." panggil Jessy, suaranya lembut memecah keheningan.
"Hmmm..." balas Rayyan, matanya masih menikmati pemandangan di luar.
Jessy lalu bergeser mendekat ke arah Rayyan, membuat bianglala itu bergoyang sedikit.
"Jes...!" Rayyan sempat panik, refleks meraih pegangan.
Tapi Jessy hanya tertawa kecil dan langsung memegang tangan Rayyan, menenangkannya. Di dalam genggamannya, dia bisa merasakan kehangatan dan keamanan. Cahaya jingga senja menyinari wajah Jessy, membuatnya terlihat begitu cantik dan rentan.
"Aku suka kamu," bisiknya, matanya berbinar jujur, menatap langsung ke dalam mata Rayyan yang gelap.
Rayyan tertekun sejenak. Di puncak bianglala ini, dengan pemandangan indah sebagai saksi, semua keraguan dan pertahanannya seolah menguap. Dia melihat Jessy—bukan sebagai Jessy Sadewo yang sombong, tapi sebagai gadis yang jatuh cinta padanya.
Dia tersenyum, sebuah senyum yang jarang tapi tulus dan hangat, mengukir lekukan sempurna di wajah tampannya. "Aku juga," balasnya, suaranya dalam dan penuh keyakinan.
Dan di bawah langit jingga yang berubah menjadi ungu, di puncak dunia mereka, sebuah ciuman hangat dan penuh makna menutup kencan pertama mereka—sebuah janji manis dari dua dunia yang akhirnya bertemu dalam cinta.
kudu di pites ini si ibu Maryam