Selama tiga tahun ini, Hilda Mahira selalu merasa tertekan oleh ibu mertuanya dengan desakan harus segera memiliki anak. Jika tidak segera hamil, maka ia harus menerima begitu saja suaminya untuk menikah lagi dan memiliki keturunan.
Dimas sebagai suami Hilda tentunya juga keberatan dengan saran sang ibu karena ia begitu mencintai istrinya.
Namun seiring berjalannya waktu, Ia dipertemukan lagi dengan seorang wanita yang pernah menjadi kekasihnya dulu. Dan kini wanita itu menjadi sekretaris pribadinya.
Cinta Lama Bersemi Kembali. Begitu lebih tepatnya. Karena diam diam, Dimas mulai menjalin hubungan lagi dengan Novia mantan kekasihnya. Bahkan hubungan mereka sudah melampaui batas.
Disaat semua permasalahan terjadi, rahim Hilda justru mulai tumbuh sebuah kehidupan. Bersamaan dengan itu juga, Novia juga tengah mengandung anak Dimas.
Senang bercampur sedih. Apa yang akan terjadi di kehidupan Hilda selanjutnya?
Yuk ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mari Kita Bercerai
Pagi pun tiba. Hilda segera membersihkan tubuhnya dan merias wajahnya agak tebal. Terutama di bagian kantung mata yang sedikit bengkak akibat menangis semalaman.
Setelah selesai, ia pun turun ke dapur guna menyiapkan sarapan untuk suaminya. Namun siapa sangka, saat ia sampai di dapur, ternyata di sana sudah ada wanita yang melakukan kegiatan itu. Dilihatnya wanita itu sedang meletakkan piring berisi ayam goreng keatas meja makan.
Deg
Jantung Hilda mencelos. Ia tak menyangka bahwa suami dan mertuanya malah mengijinkan wanita bernama Novia itu untuk menginap di rumah ini.
Hilda masih terdiam di bawah anak tangga terakhir. Matanya tak berkedip menatap Novia yang dengan lihai menyiapkan sarapan untuk keluarganya.
"Wah wah wah... Novia, kamu yang masak semua makanan ini?" tanya bu Mayang yang langsung duduk di kursi dan menatap kagum semua hidangan di atas Meja makan itu.
"Iya tante."
"Sepertinya masakan kamu enak"
"Tentu dong tante. Ayo silahkan di makan"
"Kamu duduk dulu. Kita tunggu Dimas ya."
Novia mengangguk dan langsung duduk di samping bu Mayang.
Tak berapa lama kemudian, Dimas keluar dari kamar tamu dengan rambut yang masih basah dan hanya memakai handuk yang di lilitkan di perut sexynya.
"Dimas, ayo sarapan. Novia sudah masakin banyak makanan untuk kita nih."
"Iya bu. Aku ke atas dulu mau ganti baju sebentar."
"Iya sudah, cepat."
Dimas pun berjalan menuju tangga.
Deg
Dimas mematung di tempat saat melihat Hilda yang ternyata sudah berdiri di sana entah sejak kapan.
"Sa.. Sayang. Sejak kapan ka.. kamu disitu?"
"Baru saja"
"Kamu mau kemana? Pagi pagi sudah rapi sekali?."
"Aku mau ke rumah Reva. Dia akan berangkat ke Australia pagi ini"
"Baiklah, aku akan ganti baju dulu. Kamu tunggulah sebentar, aku akan mengantarkanmu nanti."
"Hemm.."
Dimas pun langsung berlari ke kamarnya. Ia segera mengganti pakaiannya. Namun saat ia hendak memakai baju, ia di kejutkan oleh Hilda yang ternyata sudah ada di belakangnya.
"Hilda, Kau mengagetkanku"
"Kenapa? Aku hanya masuk untuk mengambil tas dan ponsel." jawabnya sekilas. Namun matanya terus menatap ke arah leher di bawah telinga. Terlihat jelas tanda merah keunguan itu bukanlah darinya. Hilda yakin bahwa suaminya semalam pasti tidur bersama wanita sialan itu."
Apakah sakit? Jelas. Hati Hilda begitu sakit. Ia jadi berfikir jauh ke belakang. Pantas saja beberapa minggu ini suaminya tak pernah meminta jatah kepadanya. Suaminya bahkan tak pernah mendekatinya walau hanya sekedar untuk mencium, memeluk, atau membelainya. Ternyata Suaminya memiliki tempat persinggahan lain.
Dimas yang ditatap pun merasa risih. Ia segera memakai pakaiannya. Namun mau ditutupi seperti apapun tanda itu rupanya masih jelas terlihat.
Hilda terus memperhatikan suaminya, mulai dari merapikan baju, menyisir rambut, memakai sunscreen dan pelembap. Semua terus ia perhatikan, karena mungkin ini adalah hari terakhir dirinya bisa melihat sang suami.
Dimas tentu merasa aneh dengan sikap Hilda. Tak biasanya istrinya itu menatap lekat kearahnya dan menunggunya yang sedang bersiap.
"Sayang, kenapa kamu melihatku seperti itu?."
"Tidak apa. Mungkin ini adalah hari terakhir aku bisa bersamamu di kamar ini."
"Sayang apa yang kamu bicarakan?"
"Bagaimana dengan pertanyaanku semalam? apa kamu sudah membuat keputusan mas?"
"Pertanyaan apa?" Dimas berpura-pura lupa.
"Siapa yang akan kamu pilih? aku atau dia?"
"Tolong jangan tanyakan itu lagi sayang. Aku mencintaimu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Selamanya aku akan selalu bersamamu"
"Kau memilihku?"
"Tentu saja aku mau kamu menemaniku sepanjang hidupku sayang."
"Kalau begitu, tinggalkan wanita itu. Usir dia dari rumah ini. Dan putuskan semua komunikasi padanya."
Dimas terdiam.
"Kenapa diam? Keberatan?"
"Itu tidak mungkin aku lakukan sayang. Aku harus bertanggung jawab padanya."
"Baiklah, kalau begitu mari kita ke pengadilan agama dan urus perceraian kita"
"Apa? Tidak! Aku tidak akan pernah menceraikanmu, sampai kapanpun. Titik!" Ucap Dimas sembari turun ke bawah menyusul ibu dan Novia di meja makan. Meninggalkan Hilda yang tersenyum miris meratapi nasib pernikahannya yang sudah diujung tanduk.
Tak ingin larut dalam kesedihan, Hilda pun ikut turun. Namun saat melewati meja makan, langkahnya di hentikan oleh Novia.
"Mbak Hilda, mari ikut sarapan bersama. Aku sudah masak makanan yang banyak untuk kita semua. Cicipilah sedikit saja." Ucap Novia sembari memegang lengan Hilda lembut. Namun lama kelamaan pegangan itu terasa semakin keras dan berubah menjadi cengkraman kuat.
Hilda hanya tersenyum dan melirik Dimas juga bu Mayang.
"Maaf, tapi aku tidak tertarik satu meja bersama seorang pelakor!"
"Mbak Hilda. Jangan seperti itu. Semua ini sudah terjadi. Aku tidak bermaksut merebut suami Mbak. Tapi dulu kita adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Jadi jangan salahkan kami jika rasa itu tumbuh lagi. Maka dari itu. Mari kita berdamai, dan saling berbagi. Karena mau bagaimana pun, anak yang ada dalam kandunganku adalah darah daging suami Mbak. Aku juga tak keberatan Kalau anakku menjadi anak mbak Hilda juga. Sebagai seorang wanita, aku tahu kok gimana perasaan Mbak Hilda. Mbak pasti menginginkan keturunan kan. Tapi itu tidak mungkin karena Mbak kan mandul!"
Plak
Hilda menampar pipi Novia hingga membuat wanita itu terhubung ke samping. Sebenarnya bukan tamparan keras. Tapi semua itu Novia setting agar terlihat berlebihan di mata Dimas dan bu Mayang.
"HILDA! Apa yang kamu lakukan!." Seru Dimas sembari berlari dan memeluk tubuh Novia.
"Aku hanya memberi pelajaran pada mulut busuknya."
"Kamu tidak berhak melakukan kekerasan padanya"
"Aku hanya menamparnya. Bukan menganiayanya."
"Tapi tamparanmu itu terlalu keras sampai membuat Novia hampir terjatuh. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan anakku, Aku tidak akan membiarkanmu selamat"
"Kamu mengancamu mas?"
"Aku hanya memperingatkanmu untuk tidak berbuat kasar lagi pada Novia"
"Tapi bagaimana kalau ternyata dia sendiri yang hampir mencelakakan anakmu mas?"
"Itu tidak mungkin. Novia tidak mungkin mencelakakan anak dalam kandungannya sendiri. Dasar wanita mandul!" sahut ibu Mayang yang mulai ikut berbicara. "Bilang saja kalau kamu tuh iri kan karena nggak bisa hamil?."
"Asal Ibu tahu ya, aku tidak pernah sedikitpun iri dengan wanita seperti DIA!" Hilda menunjuk wajah Novia yang membuat Dimas naik pitam dan..
Plak
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Hilda.
Hilda memegang pipinya yang terasa perih. ia juga mengusap sudut bibirnya yang kini mulai mengeluarkan darah akibat tamparan keras Dimas.
"Mari kita bercerai"
.
.
kasian...