NovelToon NovelToon
Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Beda Usia / Kontras Takdir / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Sad ending / Janda
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4: Kehidupan Keras di Proyek

#

Pagi pertama Dewanga sebagai kuli bangunan.

Matahari baru saja menyembul dari ufuk timur ketika ia tiba di proyek pembangunan ruko tiga lantai di pinggir kota. Udara masih dingin. Embun membasahi tumpukan batu bata dan semen yang berserakan.

Dewanga berdiri canggung di tengah para pekerja yang sudah sibuk mempersiapkan alat-alat mereka. Mereka semua pria dewasa—berusia tiga puluhan hingga lima puluhan. Tubuh mereka kekar, kulit mereka gelap terbakar matahari bertahun-tahun. Tangan mereka besar dan kasar.

Lalu ada Dewanga—tujuh belas tahun, kurus, pucat, dengan tangan yang masih mulus belum pernah memegang cangkul atau sekop.

Pak Gunawan menghampirinya. "Dewa, kamu ikut tim Bang Jarot dulu ya. Belajar dari dia."

Dewanga mengangguk. Ia menghampiri seorang pria bertubuh besar dengan kumis tebal yang sedang merokok sambil bersandar di tiang besi.

"Bang Jarot, ini Dewa. Anak baru. Tolong ajarin ya," kata Pak Gunawan.

Bang Jarot melirik Dewanga dari atas ke bawah, lalu mendengus. "Anak kecil gini bisa ngapain? Mending suruh pulang aja, Pak. Nanti malah jadi beban."

Dewanga menunduk, menggigit bibir dalam-dalam. Tangannya mengepal erat.

"Dia anak Pak Sentanu. Kamu inget kan? Yang kerja keras sampai meninggal?" kata Pak Gunawan pelan.

Ekspresi Bang Jarot berubah. Ia menatap Dewanga lebih lama, lalu membuang puntung rokoknya. "Oh, anak Pak Sentanu. Baiklah. Ikut gue. Tapi jangan cengeng."

"Terima kasih, Bang." Dewanga membungkuk sopan.

***

Pekerjaan dimulai.

"Angkat tuh batu bata! Bawa ke lantai dua!" Bang Jarot menunjuk tumpukan batu bata di sudut proyek.

Dewanga menghampiri tumpukan itu. Ia mengangkat sepuluh batu bata sekaligus—seperti yang dilakukan pekerja lain.

Beratnya luar biasa.

Tangannya langsung gemetar. Lututnya hampir lemas. Tapi ia memaksakan diri berjalan menuju tangga bambu yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua.

Setiap langkah terasa seperti menyeret gunung.

Keringat langsung bercucuran meski baru lima menit bekerja.

Sampai di lantai dua, ia meletakkan batu bata dengan napas terengah-engah.

"Cepetan! Jangan lama-lama! Ini bukan piknik!" teriak Bang Jarot dari bawah.

Dewanga segera turun lagi. Mengangkat sepuluh batu bata lagi. Naik lagi.

Turun. Angkat. Naik.

Turun. Angkat. Naik.

Begitu seterusnya.

Tangannya mulai lecet. Bahunya sakit. Punggungnya pegal luar biasa.

Tapi ia tidak berani berhenti.

***

Jam sembilan pagi.

Dewanga sudah naik-turun tangga bambu lebih dari dua puluh kali. Tubuhnya limbung. Matanya berkunang-kunang.

Saat ia mengangkat batu bata untuk kesekian kalinya, kakinya tersandung anak tangga.

BRUK!

Ia jatuh. Batu bata berhamburan. Lututnya terbentur keras ke bambu.

"TOLOL! PELAN-PELAN NAPA?!" bentak salah satu pekerja dari atas.

Dewanga segera berdiri, meski lututnya berdarah. Ia mengumpulkan batu bata yang jatuh dengan tangan gemetar.

Tidak ada yang membantunya.

Mereka semua hanya menatap dengan tatapan meremehkan.

"Makanya kalau gak kuat ya gak usah kerja di sini. Main bola aja sono," ejek salah satu pekerja sambil tertawa.

Dewanga menunduk, menahan air mata.

Ia ingat wajah ibunya yang sakit. Ia ingat Agung yang masih harus sekolah. Ia ingat ayahnya yang bekerja di tempat ini dengan penyakit berat bertahun-tahun.

"Kalau Ayah bisa, aku juga harus bisa," bisiknya pada diri sendiri.

Ia mengangkat batu bata lagi. Naik lagi. Tidak peduli lututnya berdarah. Tidak peduli tangannya lecet.

***

Siang hari. Waktu istirahat.

Para pekerja berkumpul di bawah pohon besar, membuka bekal masing-masing. Ada yang membawa nasi bungkus, ada yang membawa nasi kotak lengkap dengan lauk.

Dewanga duduk menyendiri di sudut, membuka tas kreseknya. Di dalamnya hanya ada sebungkus nasi putih dengan sedikit tempe goreng—sisa dari kemarin malam.

Ia makan perlahan, berusaha mengenyangkan perut yang sudah keroncongan sejak subuh.

"Wah, anak baru makannya dikit banget. Mana bisa kuat kerja?" ejek salah satu pekerja sambil tertawa.

Yang lain ikut tertawa.

Dewanga tidak menjawab. Ia terus makan, menunduk dalam-dalam, berusaha tidak mendengar.

Bang Jarot meliriknya sekilas, lalu kembali makan bekalnya sendiri. Tidak membela, tapi juga tidak ikut mengejek.

***

Sore hari. Pukul lima sore.

Pekerjaan selesai. Para pekerja mulai membereskan alat-alat.

Pak Gunawan memanggil Dewanga. "Dewa, ini upahmu hari ini." Ia menyerahkan uang lima puluh ribu rupiah.

Dewanga menatap uang itu. Tangannya gemetar saat menerimanya.

Lima puluh ribu.

Untuk sepuluh jam kerja yang menghancurkan tubuhnya.

Tapi lima puluh ribu ini akan membuat ibunya bisa beli beras. Akan membuat Agung bisa jajan di sekolah. Akan membuat mereka bertahan satu hari lagi.

"Terima kasih, Pak," kata Dewanga, suaranya serak.

Pak Gunawan menepuk bahunya. "Besok datang lagi ya. Kamu kuat, Dewa. Seperti ayahmu."

Dewanga mengangguk.

Ia berbalik, berjalan gontai meninggalkan proyek.

Setiap langkah terasa berat. Seluruh tubuhnya sakit. Lututnya masih berdarah. Tangannya penuh lecet dan kapalan baru.

Tapi ia terus berjalan.

***

Dewanga sampai di rumah saat langit sudah gelap.

Rini sedang duduk di teras, menunggu. Wajahnya cemas.

"Dewa! Kamu kenapa lututmu berdarah?!" Rini panik, langsung menghampiri.

"Gak papa, Bu. Cuma jatuh dikit." Dewanga berusaha tersenyum, tapi senyumnya rapuh.

Rini memeluknya. Menangis. "Dewa... Ibu gak sanggup lihat kamu kayak gini... Kamu masih muda, Nak..."

"Ibu, Dewa baik-baik aja. Lihat." Dewanga mengeluarkan uang lima puluh ribu dari sakunya, menyerahkannya pada ibunya. "Ini buat beli beras besok. Sama lauk buat Agung."

Rini menatap uang itu. Air matanya semakin deras.

"Dewa..." Suaranya pecah. "Maafin Ibu... maafin Ibu..."

"Ibu gak salah apa-apa. Ini pilihan Dewa. Dewa harus kerja. Dewa harus kuat. Kayak Ayah."

Dewanga memeluk ibunya erat.

Dan malam itu, di dalam pelukan ibunya yang kurus dan lemah, Dewanga menangis—menangis untuk pertama kalinya sejak ia memutuskan berhenti sekolah.

Menangis untuk masa mudanya yang hilang.

Menangis untuk tubuhnya yang sakit.

Menangis untuk hidupnya yang tidak pernah mudah.

Tapi esok pagi, ia akan bangun lagi. Pergi ke proyek lagi. Bekerja lagi.

Karena itulah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan.

**Bertahan.**

***

**[Bab 4 Selesai]**

*Dewanga memasuki dunia kerja keras yang penuh hinaan dan penderitaan fisik. Setiap hari adalah pertarungan untuk bertahan hidup. Setiap hari adalah pengorbanan demi keluarga. Dan setiap hari, sedikit demi sedikit, ia kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri—membuka jalan bagi keputusan-keputusan keliru di masa depan.*

1
Chanikya Fathima Endrajat
umur adeknya 20, dewa 22, telah bekerja 5 th sejak umur 17. wkt dewa kls 9, adiknya msh SD. setidaknya selisih umur mereka 3 th.
Seroja_layu
Astagfirullah nyebut Bu Nyebut
Dri Andri: nyata nya gitu kak
total 1 replies
Chanikya Fathima Endrajat
umur dewangga membingungkan, ketika ingin melamar anis umurnya br 19th, ketika falshback 10th yll, dewa sdh kls 9 (SMP) tdk mungkin umurnya wkt itu 9th kan thor
Dri Andri: ya saya salah maaf yaa...
karena kisah nya kisah nyata jadi saking takut salah pada alur intinya
alur di minta sama
peran, tempat di minta di random
maaf ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!