Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Mantan Ipar
“Jangan ambil apapun dari anak yang nggak punya ayah ini!!”
Ian tertegun, tangannya yang tadi menyodorkan cokelat lekas ia tarik kembali. Bocah itu hanya bisa menunduk.
“ayah… jangan bicara gitu, ndak baik,” Kata Aria.
Namun Anton tak menggubris. “Ayo pulang!” ucapnya menarik tangan putrinya kasar.
“Ayah, jangan kencang-kencang nalik Aya… Aya sakit…” protes Aria, matanya berkaca-kaca.
Ian hanya bisa menatap dengan sendu saat gadis kecil itu kini diseret menjauh. Sesuatu terasa menyesakkan di dadanya.
“Ian punya Papa… kata Mama nanti Papa pasti datang…” gumamnya, berusaha meyakinkan diri.
Ia kembali duduk di bangku panjang halaman sekolah yang sudah mulai sepi. Satu jam lebih ia menunggu, hingga akhirnya kelopak matanya berat dan ia tertidur dengan tangan mungilnya dijadikan alas.
Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan sekolah. Seorang pria turun dengan langkah cepat. Nafasnya sedikit memburu, wajahnya tampak lelah, tapi matanya langsung mencari sosok yang ia tuju.
Hatinya tercekat ketika melihat Ian terlelap di bangku. Jayden terdiam sejenak, rasa bersalah menyelusup dalam dirinya.
Ia mendekat, berjongkok di depan bocah itu, menatap wajah polos yang tertidur damai itu.
“Hei… bangun,” ucapnya pelan sambil menggoyangkan pelan bahu Ian. “Jangan tidur di sini.”
Ian menggeliat, kelopak matanya perlahan terbuka. Begitu melihat wajah Jayden yang begitu dekat dengannya, bocah itu sontak terkejut.
“O… Om…” suaranya serak, terbata. Ia segera bangkit dari posisi tidurnya, meski matanya masih sayu.
Jayden berdehem pelan, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Sejujurnya, ia terlambat karena ada rapat mendesak. Selina masih bekerja membersihkan toilet, dan meski ia membenci wanita itu, nyatanya ia tak sampai hati membiarkan anaknya menunggu sendirian.
“Ayo pulang,” ucap Jayden lagi. Nada suaranya datar, tapi tangannya terulur pelan ke arah bocah itu.
Ian memandang uluran tangan itu ragu-ragu.
“Kenapa Ian harus pulang sama Om? Kemana Mama Ian?” tanya Ian, kepalanya sedikit miring.
Jayden menarik napas. “Mamamu sibuk, jadi… ehem… aku yang menjemputmu,” jawabnya agak canggung.
Kening Ian mengernyit. “Sesibuk-sibuknya Mama, Mama pasti sempat jemput Ian. Dulu aja pernah ada acara rame banget di kafe, Mama tetap jemput Ian meskipun telat sedikit.”
Jayden terdiam sejenak, lalu berkata datar, “Mamamu sekarang sibuk di kafe dan juga di kantorku. Mulai sekarang dia akan bekerja di dua tempat.”
Mulut Ian hendak bertanya lagi, tapi Jayden cepat-cepat memotong, “Sudah, ayo pulang. Nanti mamamu khawatir.”
Bocah itu akhirnya menurut. Tangannya yang kecil ditarik lembut oleh Jayden menuju mobil mewah yang terparkir di depan.
Begitu pintu dibuka dan ia masuk, mata Ian langsung berbinar.
Sepanjang jalan pandangannya tak lepas dari interior mobil Jayden. “Mobil Om bagus banget!” serunya kagum.
Jayden meliriknya sekilas. “Memang, mobil seperti ini sangat langka dan harganya pun mahal.”
Namun tiba-tiba Ian teringat sesuatu. “Om… kenapa pas waktu om bagi-bagi makanan dan lihat Mama Ian, Om marah banget? Apa Mama Ian bikin kesalahan sama Om?”
Jayden terdiam, matanya menatap lurus ke jalan.
“Kalau itu…” Jayden menarik napas panjang, “Tanya saja sama Mamamu. Bahkan hari ini pun… dia melakukan kesalahan besar.” Kata Jayden dengan wajah muram.
“Kesalahan apa, Om?” tanya Ian penasaran.
Jayden hanya terdiam, tak memberi respon. Mobilnya terus melaju hingga akhirnya masuk ke area parkir perusahaan. Ian yang duduk di sampingnya kembali menatap kagum gedung menjulang tinggi lewat jendela mobil.
“Wah… tempat apa ini?” tanyanya takjub.
“Ini perusahaanku, Aetherworks,” jawab Jayden singkat.
“Apa itu, Om?”
“Kamu tidak akan mengerti meski aku jelaskan sekarang. Ayo turun,” ucap Jayden sambil membuka sabuk pengamannya.
Sementara itu, di dalam, Selina baru saja selesai membersihkan toilet yang super duper luas itu. Wanita itu mengusap keringat yang mengalir di dahinya, napasnya terengah-engah. Tangannya kemudian terangkat dan melihat jam di pergelangan, matanya melebar saat melihat jarum sudah menunjukkan pukul 01.00 siang.
“Ya ampun… Ian…” gumamnya, rasa panik menyelimuti. Air matanya hampir menetes membayangkan betapa lama anak itu menunggu. Kalau saja ponselnya tidak tertinggal di kafe, mungkin ia bisa segera menghubungi Emel untuk meminta tolong.
“Mama!!!”
Selina menoleh ke belakang. Betapa leganya dirinya saat melihat putranya kini berlari ke arahnya.
“Ian…” Selina spontan merentangkan tangan.
Bocah itu langsung memeluk perut ibunya erat.
“Sayangnya Mama…” ucap Selina dengan suara bergetar, balas memeluk erat Ian.
“Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Selina, masih terheran-heran.
“Om Jayden yang jemput. Apa benar Mama sekarang kerja di sini lagi?” Ian menatap polos ibunya.
Selina terdiam sejenak. Jayden yang menjemput? Beruntunglah, pria itu rupanya masih punya hati nurani.
“Ah, itu… hanya sementara, Sayang.” Selina mencoba tersenyum meski terasa dipaksakan.
“Terus tadi kata Om Jayden… Mama bikin kesalahan besar, makanya waktu itu Om Jayden marah.”
Selina menelan ludah.
“Kesalahan apa? Apa Mama sudah minta maaf sama Om?” Ian kembali bertanya penuh rasa ingin tahu.
Selina akhirnya berjongkok, menatap mata jernih putranya. Tangannya mengusap lembut pipi mulus Ian.
“Mama sudah minta maaf, Sayang. Tapi ada hal yang harus Mama lakukan untuk menebus kesalahan Mama. Kamu cukup tahu itu saja, ya?”
Ian mengangguk kecil. Ia tidak lagi bertanya. Selina lalu meraih tangan mungil putranya, mengajaknya pulang. Waktu istirahatnya di kafe sudah lebih dari satu jam, pasti Emel mencari-carinya.
Di rumah, Ian sudah berganti baju dan makan. “Mama… Ian boleh ikut Mama ke kafe nggak?”
Selina terdiam. Hatinya terasa tidak tega, tapi ia tahu di kafe masih ada Kimberly.
“Nggak boleh dulu untuk sementara, Sayang.”
“Kenapa, Ma?”
Selina bingung harus menjawab apa. Ia tidak mungkin menjelaskan kondisi sebenarnya. Akhirnya, ia mengalihkan pembicaraan.
“Kamu mau makan es krim, nggak? Nanti Mama beliin sebelum Mama balik kerja ke kafe,” katanya lembut.
Mata Ian berbinar. “Mau, Ma!”
Selina tersenyum. Ia membelikan Ian es krim kesukaannya. Setelah itu kembali ke kafe. Bi Desi sepertinya sedang sibuk hari ini, sehingga Ian harus berada di rumah sendirian sampai malam.
•
•
•
“Apa!?”
“...”
“Tsk, udah mau hari H baru ngasih tahu aku. Emang aku ini bukan bagian dari keluarga, apa?” suara Kim terdengar kesal.
“Sorry, Sayangnya Abang. Abang sengaja mau bikin kejutan,” jawab Zavier dari seberang telepon.
“Aku ngambek loh,” Kim mendengus pelan.
“Nanti Abang transfer sepuluh juta.”
“Kurang. Harusnya dua puluh juta, pas tuh sama tanggal nikah Abang,” balas Kim cepat.
Terdengar kekehan samar dari seberang. “Oke, apapun itu, yang penting jangan ngambek sama Abang.”
Kim akhirnya mematikan ponselnya, mendadak terasa berat. Ia baru saja mendapat kabar kalau pernikahan Zavier akan dilangsungkan seminggu lagi.
Ia menghela napas panjang, Kim tidak menyinggung sedikit pun tentang Selina ataupun Ian. Dia lebih memilih untuk mendengar penjelasan langsung dari wanita itu terlebih dahulu, sebelum mengambil langkah selanjutnya.
Selina yang baru tiba di kafe dan langsung berjalan ke belakang kafe terkejut melihat keberadaan Kim. Selina terdiam sejenak.
Kim yang menyadari ada seseorang segera berbalik, dan betapa terkejutnya ia mendapati wajah Selina yang sekarang tak lagi tertutup masker.
Mata Kim membelalak, napasnya tercekat. Wajah itu… masih sama. Seperti dulu.
padahal lembek