Elegi Grilyanto
...Perkenalkan Namaku Puja....
...Malam ini, untuk kesekian kalinya aku memandangi langit yang sama—langit yang pernah menjadi saksi ketika aku berdiri diam, menatap kepergian papaku, Grilyanto....
...Bukan hanya jasadnya yang meninggalkan dunia ini, tapi juga sebagian dari hatiku yang ikut pergi bersamanya....
...Banyak hal yang belum sempat aku tanyakan, belum sempat aku ucapkan....
...Maka, lewat tulisan ini, aku ingin mengenang beliau. Mengenangnya bukan hanya sebagai ayahku, tetapi sebagai manusia biasa yang punya impian, luka, dan cinta yang tulus....
...Inilah kisah hidupnya, kisah perjuangannya, dan kisah cinta yang tak mudah antara dia dan ibuku—Sri Wiwik Budi. Semoga setiap kata yang ku tulis bisa menghidupkannya kembali, setidaknya dalam ingatanku....
...----------------...
Pada tanggal 30 Maret 1949, di tengah sunyi nya pagi kota Magelang yang masih basah oleh embun, lahirlah seorang bayi laki-laki. Tangis pertamanya memecah keheningan, menjadi saksi akan hadirnya jiwa baru di dunia ini—ia diberi nama Grilyanto.
Grilyanto lahir bukan di tengah kemewahan, melainkan dalam kesederhanaan yang hangat.
Di sebuah rumah sederhana berdinding kayu dan beratap genteng merah, keluarganya menyambut kehadirannya dengan haru.
Sang ibu menggenggam tangan mungilnya, menatap matanya yang masih tertutup rapat, dan tahu bahwa kelak anak ini akan menjalani kehidupan yang tak mudah, namun penuh arti.
Magelang, tempat ia dilahirkan, adalah kota dengan udara sejuk dan lanskap yang tenang.
Gunung-gunung yang mengelilinginya seakan turut menjaga bayi itu. Bayi yang kelak tumbuh menjadi sosok ayah yang sangat berarti dalam hidupku.
Aku tidak pernah melihat secara langsung seperti apa papaku waktu kecil.
Tapi dari cerita Mbah Putri dan foto-foto tua yang kusimpan, aku tahu: dari awal hidupnya, Papa sudah membawa keteguhan yang khas dalam sorot matanya. Sorot yang tidak mudah padam, meski diterpa zaman yang tak ramah.
Masa kecil Grilyanto adalah potongan kenangan sederhana yang hangat, seperti sinar matahari pagi yang mengintip lewat jendela rumah nenek.
Setiap hari tertentu, Mbah Putri selalu mengajak Grilyanto ke pasar.
Dengan tangan mungilnya yang menggenggam ujung jarik Mbah Putri, ia menyusuri lorong-lorong pasar yang riuh oleh suara pedagang dan aroma bumbu dapur. Namun, ada satu tujuan yang paling dinanti: gerobak dawet di pojok pasar.
“Mak, dawetnya satu!” seru Grilyanto dengan semangat, matanya berbinar menatap si penjual.
Setelah menghabiskan dawetnya dengan lahap, kebiasaan anehnya pun muncul.
Dengan polos, Grilyanto memandangi mangkok kosong di tangannya—lalu dengan cepat, “Krak!”, ia jatuhkan mangkok itu ke tanah hingga pecah berantakan.
Semua orang yang melihat langsung tertawa. Penjual dawet pun menggeleng sambil tertawa geli.
“Lagi-lagi, Le... mangkokku korban lagi!”
Dan saat ditanya kenapa ia memecahkannya, ia menjawab dengan mantap,
“Kan mangkoknya udah kotor... buat apa disimpan?”
Lagi-lagi semua orang tertawa.
Dan begitulah, hampir setiap ke pasar, ada saja mangkok yang jadi korban.
Mbah Putri yang tahu kebiasaan anaknya, selalu datang keesokan harinya dengan membawa mangkok baru untuk mengganti milik si penjual dawet.
Tidak ada amarah, hanya gelengan kepala dan senyum lelah yang penuh cinta.
Kisah ini selalu diceritakan Mbah Putri sambil tertawa kecil, dan aku bisa membayangkan wajah papa Grilyanto kecil yang polos namun penuh logika ajaibnya sendiri.
Saat usianya cukup, Grilyanto mulai bersekolah di Sekolah Rakyat—begitulah nama SD pada masa itu.
Bangku dan papan tulis dari kayu, suara kapur yang berdecit, dan sepatu yang seringkali bukan sepatu, melainkan sandal jepit atau kaki telanjang, menjadi teman hari-harinya.
Namun, meskipun hidup dalam keterbatasan, Grilyanto memiliki sesuatu yang lebih berharga yaitu kemauan untuk belajar.
Ia adalah anak yang rajin, tekun, dan sangat menghargai ilmu.
Setiap hari, sebelum matahari benar-benar tinggi, ia sudah duduk rapi di bangku sekolah, buku tulisnya bersih, huruf-hurufnya rapi.
“Grilyanto, lagi-lagi kamu rangking satu ya,” ujar gurunya saat pembagian rapor.
Ia hanya tersenyum kecil, tidak pernah membanggakan diri.
Tapi dari sorot matanya, tampak betul bahwa ia merasa bertanggung jawab untuk tidak hanya pintar, tapi juga berguna.
Anak-anak lain sering iri, tapi bukan dengan kebencian.
Mereka justru banyak yang ingin duduk di sebelahnya, bertanya tentang pelajaran, atau sekadar ingin melihat bagaimana ia menulis dengan begitu rapi.
Di rumah pun begitu. Setiap selesai membantu ibu menimba air atau menyapu halaman, ia langsung duduk dengan buku di pangkuan. Tidak pernah mengeluh lelah.
Seolah sejak kecil, Grilyanto tahu bahwa ilmu adalah bekal untuk masa depan yang lebih baik.
Bagi Mbah Putri dan Mbah Kakung, ia adalah kebanggaan. Dan bagi guru-gurunya, ia adalah anak yang berbeda, bukan karena ia rangking satu, tapi karena semangatnya yang tidak pernah padam.
Grilyanto tumbuh dalam keluarga besar—sangat besar.
Mbah putri perempuan kuat yang telah melahirkan delapan belas anak sepanjang hidupnya.
Namun, zaman dahulu tak sebaik sekarang. Obat terbatas, fasilitas medis sederhana, dan hidup yang keras membuat hanya delapan anak yang bertahan hidup, salah satunya adalah Grilyanto.
Kehilangan sepuluh saudara kandung bukanlah hal yang mudah bagi keluarga mereka.
Setiap kehilangan meninggalkan luka, namun juga menambah kekuatan.
Mbah putri selalu berkata dengan mata yang menerawang, “Anak-anak itu bukan hilang, tapi dititipkan lebih dulu oleh Tuhan.”
Sejak kecil Grilyanto sudah terbiasa membantu Mbah Putri mengurus rumah dan mendampingi adik-adiknya belajar.
Di saat anak-anak lain masih sibuk bermain, Grilyanto justru lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan sekolah atau menemani Mbah Putri berkebun. Ia menyukai ketenangan, namun bukan berarti menutup diri dari dunia.
Meski berasal dari keluarga sederhana, Grilyanto tidak pernah merasa kekurangan.
Ia percaya bahwa kekayaan sejati adalah hati yang lapang dan pikiran yang terus ingin belajar.
Bagi Papa Grilyanto, setiap perjuangan adalah bentuk penghormatan—kepada Mbah Kakung kepada Mbah putri, kepada saudara-saudara yang telah pergi lebih dulu.
Ia tahu bahwa dunia yang akan dihadapi anak-anaknya jauh berbeda dari dunia yang ia jalani dulu.
Tapi nilai-nilai kehidupan tetap sama: kejujuran, ketekunan, dan ketulusan. Maka, setiap pagi sebelum fajar, ia sudah bangun lebih dulu, memastikan rumah terjaga, memastikan semua bisa berjalan dengan baik.
Anak-anaknya mungkin tidak selalu paham apa yang telah ia korbankan, apa yang ia tahan, dan apa yang ia simpan dalam hati.
Dan seperti Mbah putri dulu, Papa Grilyanto percaya bahwa hidup adalah titipan. Maka selama ia diberi waktu, ia akan terus menjaga, terus berjuang, dan terus mencintai—dengan caranya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments