NovelToon NovelToon
Civil War: Bali

Civil War: Bali

Status: tamat
Genre:Action / Sci-Fi / Tamat / Spiritual / Kehidupan Tentara / Perperangan / Persahabatan
Popularitas:578
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.

Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 23

Yuda mengamati kedua musuhnya yang sedang berbisik-bisik, seolah merencanakan sesuatu yang licik. Wajahnya tetap tenang, namun di balik ketenangan itu, matanya menyiratkan kegelisahan. Ia khawatir jika Luthfi dan Kiara telah menyadari kelemahan sekaligus kekuatannya.

Dengan langkah mantap, Yuda memutuskan untuk mengkonfrontasi mereka. "Oi, diskusi kalian nggak ada gunanya. Kalian akan mati juga pada akhirnya. Cepat maju saja dan hadapi aku!" Teriak Yuda menggema penuh ancaman.

Luthfi dan Kiara menatapnya balik dengan senyuman tipis yang mengembang di wajah mereka. "Ah, maaf sudah membuatmu menunggu. Jadi, ayo kita lanjutkan?" Ujar Luthfi sambil menghunus pedangnya dengan gerakan halus. Cahaya kobaran api memantul di bilah pedangnya, menciptakan kilatan yang memancarkan aura bahaya.

Melihat lawannya sudah siap bertarung, Yuda melesat maju dengan kecepatan yang luar biasa. Tubuhnya menerjang bagai angin ribut yang menyapu segala sesuatu yang ada di hadapannya. Begitu sampai di depan Luthfi, ia mengayunkan pedangnya dengan gerakan mematikan. Namun, serangan itu berhasil ditangkis oleh Luthfi yang reflek mengangkat pedangnya ke atas.

Posisi Luthfi kini menjadi lebih rentan karena tangannya masih terangkat di udara, sehingga tubuhnya terbuka tanpa perlindungan. Yuda kemudian berniat memanfaatkan celah itu untuk menusuk dadanya. Akan tetapi, Luthfi segera menendang dada Yuda dengan kekuatan penuh, seolah ia bisa memprediksi isi pikiran lawannya.

Buakkk! Tendangan itu membuat Yuda terlempar mundur beberapa langkah. Napasnya tersengal karena dadanya terasa seperti dihantam palu martil. Luthfi menatapnya dengan ekspresi kemenangan yang terlihat pada binar matanya.

"Sekarang, Kiara!" Luthfi tiba-tiba berseru, seolah memberi aba-aba.

Kiara langsung melesat maju dengan kepalan tangan yang siap menghantam. Namun, ada yang berbeda dengan serangannya kali ini. Biasanya, Kiara selalu menggunakan salah satu tangannya yang lain untuk menjaga pertahanan tubuhnya. Akan tetapi, kali ini, tubuhnya terbuka lebar, seolah sengaja memancing serangan.

Yuda yang sudah diterpa kepanikan, segera terpancing oleh kesempatan itu tanpa rasa curiga sedikitpun. Dengan gerakan cepat, ia menusuk perut Kiara hingga bilah pedangnya menancap dalam. Yuda tersenyum puas karena merasa telah berhasil melumpuhkan salah satu lawannya. Namun, senyuman itu segera pudar ketika ia merasa sesuatu yang buruk akan segera terjadi.

Meski wajah Kiara terlihat menahan sakit, bibirnya tampak menyunggingkan senyuman yang membuat bulu kuduk Yuda merinding. "Kena juga kau, sialan!" Gumam Kiara dengan suara penuh kemenangan.

Tiba-tiba, kedua tangan Kiara mencengkeram bilah pedang Yuda dan menariknya dengan kekuatan penuh. Bilah pedang itu semakin menancap ke dalam perutnya, tapi Kiara seolah tidak peduli sama sekali. Darah mengucur deras, namun senyumnya semakin lebar.

Mata Yuda seketika membelalak ketika menyadari bahwa mereka berhasil memerangkapnya lagi. "Apa yang kau lakukan, jalang gila?!" Teriak Yuda penuh kemarahan dan kepanikan.

"Hahahaha! Aku mengincar pergelangan tanganmu, keparat!" Jawab Kiara sambil tertawa seperti wanita yang telah kehilangan akal sehat.

Perlahan-lahan, kedua tangan Kiara semakin mendekat ke arah pergelangan tangan kanan Yuda yang kurus. Ketika sudah berhasil menggenggamnya, ia langsung mematahkan pergelangan tangan Yuda tanpa belas kasihan sedikitpun. Krakkk! Suara patahan tulang terdengar jelas, hingga menggema di udara.

"Arghhh!" Yuda menjerit kesakitan dengan wajah yang berkerut menahan nyeri.

Melihat Yuda sudah tidak bergerak di genggamannya, Kiara merasa bahwa sekarang adalah saatnya untuk melancarkan serangan lanjutan. "Sekarang, Luthfi!" Teriak Kiara memberi aba-aba.

Luthfi tiba-tiba muncul dari sisi kiri dengan pedang yang sudah siap menebas leher Yuda. Namun, Yuda yang masih memiliki sisa tenaga segera mempertahankan dirinya. Dengan gerakan cepat, ia menarik pedangnya dengan tangan kiri lalu menangkis serangan Luthfi.

"Lambat!" Ejek Yuda dengan mata yang menyala penuh kesombongan.

Yuda kemudian mengayunkan pedangnya ke arah leher Luthfi dengan presisi yang mengerikan. Akan tetapi, Kiara segera mendorong tubuh Yuda dengan sisa tenaganya hingga membuat serangan itu meleset.

Yuda menjadi semakin frustasi. Ia berniat mengakhiri nyawa Kiara dengan memenggal kepalanya. Namun, saat mengangkat tangannya, ia menyadari sesuatu yang mengerikan. Tangan kirinya sudah terputus. Darah mengucur deras dari luka itu hingga menggenang di aspal jalanan.

Luthfi tersenyum penuh kemenangan karena telah berhasil memutus tangan kiri lawannya. "Lambat!" Ejek Luthfi meniru Yuda.

Ekspresi wajah Yuda seolah tak percaya terhadap apa yang telah terjadi. Matanya terbelalak ketika melihat tangannya terputus tanpa ia sadari. Ini disebabkan karena Luthfi memotong tangan Yuda dengan sangat presisi, sehingga ia tidak merasakan rasa sakit sedikitpun.

Di saat Yuda masih termenung di dalam keterkejutannya, Kiara mengumpulkan seluruh tenaganya yang tersisa, lalu menghantam wajah Yuda dengan pukulan telak. "Terima ini, bangsat!"

Buakkk! Yuda terlempar jauh ke belakang, hingga tubuhnya terpelanting berkali-kali di tanah sebelum akhirnya tersungkur tak berdaya.

"YEAHHH!" Luthfi bersorak gembira sambil mengangkat pedangnya ke langit sebagai simbol kemenangan.

"Jangan senang dulu, goblok! Cek dulu kondisinya!" Ucap Kiara tegas sambil mendorong Luthfi, meski tubuhnya sudah melemah.

"Iya, iya, santai dikit, dong!" Jawab Luthfi sambil bergegas mendekati Yuda. Namun, sebelum ia pergi, pandangannya tertuju pada luka tusuk di perut Kiara dengan mata yang dipenuhi kekhawatiran. Ia terlihat seolah tak ingin menjauh dari Kiara, bahkan untuk beberapa meter saja.

"Kiara, lukamu gimana?" Tanya Luthfi dengan suara lembut penuh perhatian.

Kiara tertegun mendengar nada bicara Luthfi yang tak biasa. Ia kemudian tersenyum kecil, seperti mencoba untuk menutupi rasa sakitnya. "Yah, lumayan parah, sih. Tapi segini aja masih belum ada apa-apanya." Jawabnya mencoba untuk bersikap kuat. "Cepat cek kondisi orang itu! Kalau dia masih hidup, tusuk saja lehernya!" Tambah Kiara dengan suara yang kembali tegas.

Luthfi mengangguk, lalu bergegas mendekati Yuda. Ia membalikkan tubuh Yuda yang tengkurap dengan menggunakan kakinya. Yuda kemudian terbatuk dengan darah yang menciprat dari mulutnya. Ternyata, dia berhasil selamat dari pukulan dahsyat itu, meski sekarang keadaannya sudah terkulai lemas.

Luthfi mengarahkan ujung pedangnya ke leher Yuda. "Ada kata-kata terakhir?" Tanya Luthfi dengan nada yang dingin.

Yuda menatapnya dengan napas yang seolah bisa terputus kapan saja. Matanya sudah samar-samar, tapi masih ada sisa kekuatan di dalamnya. "Sebelum aku mati... boleh aku tahu... siapa kalian sebenarnya?" Tanya Yuda dengan suara parau.

Luthfi mengangkat alisnya karena tak menyangka pertanyaan itu. "Well, namaku Luthfi, sementara gadis di sana namanya Kiara." Jawabnya sambil menunjuk Kiara. "Kami berdua adalah anggota kelompok Monasphatika dari Singaraja."

Yuda tersenyum tipis, seolah semua teka-teki di pikirannya berhasil terjawab. "Jadi kalian penyusup, ya. Budak-budak di sini tidak mungkin bisa mengalahkanku, meski mereka berjumlah ratusan sekalipun. Masuk akal kalau kalian berdua bisa melakukannya." Ujar Yuda dengan suara yang semakin melemah.

Pandangannya kemudian diarahkan menuju langit malam yang gelap, sambil meneteskan butiran-butiran air mata. "Kami pikir wilayah Buleleng sudah hancur sepenuhnya karena kerusuhan besar yang terjadi di tahun pertama musim dingin. Siapa sangka, ternyata masih ada sekelompok orang-orang kuat di sana." Ucap Yuda diikuti dengan tawa kecil yang penuh ironi.

Luthfi tertegun mendengar pengakuannya. Ia tidak menyangka bahwa kabar mengenai kerusuhan besar yang pernah terjadi di Buleleng telah menyebar sampai Karangasem. "Jadi, itulah alasan mengapa kalian tidak pernah menyerang wilayah kami?" Tanya Luthfi.

"Iya, kami pikir tidak ada gunanya menguasai wilayah yang sudah hancur lebur. Karena itu, kami lebih memilih untuk memusatkan serangan pada wilayah-wilayah yang masih subur, seperti Badung, Gianyar dan Bangli." Jawab Yuda dengan napas yang semakin pendek.

Luthfi mendekatkan ujung pedangnya ke leher Yuda. "Ada lagi yang ingin kau sampaikan?" Tanyanya dengan suara datar.

Yuda menutup matanya, seolah-olah sudah siap untuk menerima takdir dengan sepenuh hati. "Tidak, bunuh saja aku."

Luthfi kemudian mencakupkan kedua tangannya sebagai tanda penghormatan kepada Yuda. "Baiklah, kalau begitu, semoga kau tenang bersamaNya." Ucap Luthfi diiringi dengan sebuah doa singkat.

Luthfi kemudian menusuk leher Yuda dengan cepat dan tegas untuk mengakhiri nyawanya tanpa menimbulkan rasa sakit. Setelah menarik napas dalam, ia lalu menoleh ke arah pasukan budaknya yang masih bertahan di medan pertempuran ini. Di luar dugaan, ternyata banyak dari mereka yang berhasil selamat. Maka dari itu, boleh dikatakan bahwa mereka sukses meraih kemenangan telak melawan pasukan Karangasem.

Luthfi mengangkat pedangnya tinggi-tinggi sebagai deklarasi kemenangannya. "Kita menang!" Teriaknya penuh semangat.

"YEAHHH!" Sahut pasukan budak itu dengan suara penuh kebanggaan dan kelegaan.

...***...

Setelah pertempuran yang melelahkan, para pasukan budak terlihat berbaring lemas di atas aspal jalanan. Tubuh mereka penuh luka, ditambah dengan napas yang tersengal-sengal menahan rasa sakit. Beberapa di antaranya bahkan sampai tertidur pulas untuk melepas segala kelelahan dan kepedihan yang mereka alami hari ini. Suasana hening yang menenangkan menyelimuti seluruh area itu.

Di sebuah taman kecil yang terbengkalai di pinggir jalan, Luthfi dan Kiara terlihat menikmati waktu istirahat mereka berdua. Kiara berbaring di atas rumput dengan kepala yang bersandar di pangkuan Luthfi. Luka di perutnya telah dibalut dengan sehelai kain robekan jubah milik Luthfi, sebagai langkah pertama untuk mengatasi pendarahannya. Meski wajahnya pucat, Kiara terlihat tenang dengan mata yang berbinar saat menatap wajah Luthfi.

Mereka berdua diam sejenak untuk menikmati ketenangan setelah pertempuran yang sengit. Udara malam yang dingin menyentuh kulit mereka dengan halus, sehingga memberikan sedikit kenyamanan di tengah kekacauan yang telah terjadi.

"Kiara, boleh aku mengakui sesuatu?" Tanya Luthfi tiba-tiba memecah keheningan.

Kiara, yang sejak tadi memandangi wajah Luthfi, langsung menyahut dengan spontan. "Hmm? Apa itu?" Tanyanya lembut, namun penuh rasa ingin tahu.

Luthfi menatapnya balik dengan mata yang terlihat lelah. "Aku udah capek sama dunia ini. Udara yang dingin, perang saudara, kekurangan makanan, air yang tercemar, semuanya bikin aku capek!" Ujarnya dengan suara berat.

Ia menghela napas panjang sejenak, sebelum melanjutkan keluhannya. "Padahal, dulu aku punya impian yang sangat sederhana. Setelah lulus kuliah, aku ingin jadi arsitek yang sukses, kemudian punya keluarga kecil dengan istri yang baik hati dan dua orang anak. Itu nggak terlalu sulit untuk diwujudkan, kan?" Ujarnya dengan suara getir.

Kiara tertawa kecil. Suaranya terdengar ringan, namun mengandung sedikit ironi. "Buang jauh-jauh impian konyolmu itu. Nggak mungkin kau bisa mewujudkannya di dunia yang kacau seperti sekarang ini." Ucapnya mencoba menenangkan Luthfi dengan nada yang lebih lembut.

"Yah, kau benar." Jawab Luthfi sambil mengarahkan pandangannya menuju langit. Ekspresinya terlihat sedih, seolah impian masa lalunya yang begitu cerah kini telah hancur berantakan.

Kiara tersenyum kecil dengan tatapan mata yang lembut saat memandangi wajah Luthfi. Senyuman itu sangat jarang terlihat, mengingat sifatnya yang dingin dan jutek. Ia menutup matanya sejenak, lalu menggumamkan sesuatu yang hampir tidak terdengar. "Yah, aku juga nggak yakin bisa jadi pasangan yang baik hati bagimu." Bisiknya pelan.

Namun, telinga Luthfi yang tajam berhasil mendengarnya. Ia lalu menatap Kiara dengan mata yang memancarkan rasa terkejutnya. "Hmm? Kau bilang sesuatu?" Tanyanya penasaran.

Kiara tersipu hingga wajahnya memerah. "Ahh, ti-tidak, tidak aku nggak ada—" Bantahnya dengan terbata-bata.

Tiba-tiba, suara derap langkah kuda memecah keheningan. Suara itu berasal dari barat dan terdengar semakin mendekat ke arah mereka.

"K-kuda, kau pasti dengar suara langkah kuda!" Ucap Kiara mencoba mengalihkan perhatian Luthfi.

Luthfi kemudian menoleh ke sumber suara itu dengan mata yang menyipit, seolah mencoba melihat siapa yang datang. Ternyata, itu adalah Alex yang muncul bersama pasukan Badung dan Monasphatika. Mereka terlihat bersemangat, seolah sudah siap untuk bertempur di medan perang. Luthfi melambaikan tangannya untuk memberi tanda bahwa dia ada di sini.

Ketika jarak mereka sudah berdekatan, Alex kemudian turun dari kudanya untuk menghampiri kedua rekannya. "Bagaimana keadaan sekitar?" Tanyanya sambil memindai kondisi Luthfi dan Kiara.

"Keadaan di sini sebenarnya sudah aman. Tapi sayangnya, kami semua menderita luka yang parah. Sialan emang kalian, datangnya lama amat!" Luthfi melaporkan keadaan diiringi dengan sedikit candaan.

Tiba-tiba, dua orang gadis berlari dengan tergesa-gesa dari arah belakang Alex. Mereka adalah Devi dan Handayani yang menghampiri Kiara dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran.

"Kiara!" Panggil Devi histeris.

"Kau nggak apa-apa, kan?" Tanya Handayani yang segera memeriksa keadaan Kiara.

Kiara mencoba untuk duduk dengan perlahan. Wajahnya tetap tenang, meski tubuhnya masih lemah. "Iya, aku nggak apa-apa. Cuma kena luka tusuk aja di sebelah sini." Ujarnya sambil menunjuk lukanya.

"Kalian berdua, tolong obati Kiara, ya." Pinta Luthfi kepada Devi dan Handayani.

"Baiklah, serahkan pada kami!" Jawab mereka kompak sambil mengeluarkan kotak P3K dari tas masing-masing.

Luthfi kemudian berdiri dan menghampiri Alex yang masih berada di dekat kudanya. "Indra dan Aryandra pergi ke arah timur untuk memimpin perang di sana. Kalian harus segera menyusul mereka untuk memberikan bantuan. Sisakan beberapa pasukan di sini untuk mengobati para budak ini" Ujarnya memberikan instruksi dengan suara tegas.

Alex mengangguk dengan wajah yang serius. "Got it!" Jawabnya singkat, sebelum memberi arahan kepada pasukannya.

1
jonda wanda
Mungkin cara bicara karakter bisa diperbaiki agar lebih natural.
IndraKoi: baik, makasih banyak ya masukannya🙏
total 1 replies
Abdul Aziez
mantap bang
IndraKoi: makasih bang🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!