NovelToon NovelToon
BECOME A MAFIA QUEEN

BECOME A MAFIA QUEEN

Status: tamat
Genre:Tamat / Mafia / Reinkarnasi / Identitas Tersembunyi / Pemain Terhebat / Roman-Angst Mafia / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Nuah

Seorang Jenderal perang yang gagah perkasa, seorang wanita yang berhasil di takuti banyak musuhnya itu harus menerima kenyataan pahit saat dirinya mati dalam menjalankan tugasnya.

Namun, kehidupan baru justru datang kepadanya dia kembali namun dengan tubuh yang tidak dia kenali. Dia hidup kembali dalam tubuh seorang wanita yang cantik namun penuh dengan misteri.

Banyak kejadian yang hampir merenggut dirinya dalam kematian, namun berkat kemampuannya yang mempuni dia berhasil melewatinya dan menemukan banyak informasi.

Bagaimana kisah selanjutnya dari sang Jenderal perang tangguh ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5. Kepercayaan yang Dibangun di Atas Kebohongan

Ziad tahu bahwa Alessia bukan orang yang mudah percaya. Dia juga tahu bahwa jika dia terus membiarkan gadis itu mencari sendiri, cepat atau lambat, dia akan menemukan sesuatu yang bisa membahayakan misinya.

Jadi, sebelum itu terjadi, dia harus mengambil kendali.

Dengan penuh perhitungan, dia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sangat berisiko—membawa Alessia ke dalam kebohongannya, membuatnya percaya dengan sesuatu yang tidak nyata.

Dia sudah menyiapkan semuanya.

Alessia tidak pernah menerima undangan dari siapa pun. Itu sebabnya, ketika Ziad mendekatinya setelah kelas dengan ekspresi santai dan berkata,

"Kau ingin melihat sedikit masa laluku?"

Dia langsung waspada.

"Kenapa aku harus peduli dengan masa lalumu?" tanyanya dingin.

Ziad tersenyum samar. "Karena aku tahu kau masih belum percaya padaku."

Alessia diam, menatap pria itu dengan tajam. "Dan kenapa kau ingin aku percaya?"

Ziad mengangkat bahu seolah itu bukan masalah besar. "Mungkin karena aku tidak ingin kau terus berpikir bahwa aku menyembunyikan sesuatu yang berbahaya. Jika aku adalah ancaman bagimu, bukankah lebih baik kau tahu siapa aku sebenarnya?"

Kata-kata itu, seberapa pun manisnya terdengar, tidak sepenuhnya bisa dipercaya oleh Alessia.

Namun, bagian dari dirinya ingin melihat apakah Ziad benar-benar sebersih yang dia klaim.

"Baiklah," katanya akhirnya. "Tunjukkan padaku."

Ziad tersenyum. "Bagus. Ayo pergi."

Ketika mereka sampai di apartemen Ziad, Alessia tidak langsung masuk.

Dia berdiri di ambang pintu, matanya menelusuri setiap sudut ruangan.

Apartemen itu luas tetapi sederhana. Tidak ada kemewahan yang mencolok, tetapi cukup nyaman untuk seseorang yang mengaku sebagai akademisi.

Namun, yang paling menarik perhatian Alessia adalah dinding yang dipenuhi foto-foto.

Dia mendekat, menatap satu per satu.

Ada foto Ziad muda dengan seragam sekolah, berdiri bersama beberapa teman.

Ada foto dia di hari kelulusan, tersenyum bersama orang-orang yang seharusnya adalah keluarganya.

Ada gambar seorang wanita yang tampak seperti ibunya, dan seorang pria yang terlihat seperti ayahnya.

Semua tampak sangat nyata.

Tetapi Alessia tahu lebih baik.

Dia berbalik, menatap Ziad dengan curiga. "Ini rumahmu?"

Ziad mengangguk. "Ya."

"Dan ini keluargamu?"

Ziad tersenyum kecil. "Ya."

Alessia kembali menatap foto-foto itu. "Aku bisa bertemu mereka?"

"Sayangnya, mereka tidak tinggal di sini. Ibuku tinggal di luar negeri, dan ayahku sudah lama meninggal," jawab Ziad tanpa ragu.

Alessia mengamati ekspresinya. Tidak ada kegugupan, tidak ada tanda-tanda kebohongan.

Jika ini semua adalah kebohongan, maka Ziad benar-benar seorang pembohong yang luar biasa.

"Kenapa kau menunjukkan ini padaku?" tanyanya akhirnya.

Ziad berjalan mendekat, lalu bersandar pada meja. "Karena aku ingin kau melihat bahwa aku bukan siapa pun yang berbahaya. Aku hanya seseorang yang kebetulan memiliki kehidupan yang tidak terlalu menarik sebelum lima tahun terakhir."

Alessia tetap diam, tetapi dia mulai merasa sesuatu yang aneh.

Semakin dia melihat foto-foto itu, semakin dia merasa bahwa ini terlalu sempurna.

Namun, bagian dari dirinya juga ingin mempercayai sesuatu—bahwa Ziad bukanlah ancaman, bahwa dia bukan musuh.

Dan justru karena itulah, dia memilih untuk tidak menggali lebih dalam.

Alessia akhirnya duduk di sofa, memeluk lututnya dan menatap Ziad dengan pandangan yang sulit ditebak.

"Kenapa kau sangat ingin aku percaya padamu?" tanyanya pelan.

Ziad menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab, "Karena aku melihat bagaimana dunia memperlakukanmu."

Alessia tersentak.

"Kau sendirian, Alessia," lanjut Ziad. "Kau menutup diri dari dunia, dan aku tahu kenapa. Karena dunia ini tidak pernah baik padamu."

Alessia mengepalkan tangannya. "Dan kau pikir aku butuh belas kasihan?"

Ziad menggeleng. "Tidak. Aku tahu kau tidak butuh itu. Tapi aku juga tahu bahwa meskipun kau kuat, kau tetap manusia."

Alessia tertawa kecil, tetapi itu bukan tawa bahagia. "Jadi kau mendekatiku karena kasihan?"

Ziad tidak langsung menjawab.

Dia tahu bahwa apa pun yang dia katakan sekarang akan membentuk cara Alessia melihatnya di masa depan.

Jadi, dia memilih untuk tidak membantahnya.

"Apa itu salah?" tanyanya lembut.

Alessia menatapnya lama sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya.

"Jika itu alasannya, maka kau bodoh," katanya dingin.

Ziad hanya tersenyum. "Mungkin."

Tapi dalam hatinya, dia tahu bahwa ini adalah kemenangan kecil.

Alessia mungkin masih ragu, tapi dia mulai menurunkan pertahanannya.

Dan bagi Ziad, itu cukup untuk sekarang.

.

.

.

Alessia tidak pernah peduli dengan pandangan orang lain. Di universitas, dia selalu berusaha untuk tidak menonjol, menyembunyikan keberadaannya di balik kacamata tebal dan pakaian polos yang kebesaran.

Tapi ada satu hal yang tidak bisa dia sembunyikan—perhatian seorang pria bernama Ziad Moreau.

Semenjak interaksi mereka semakin sering, rumor mulai menyebar.

Dosen baru yang tampan dan misterius itu terlihat lebih sering berbicara dengan si culun Alessia Moretti.

Bagi kebanyakan orang, itu adalah sebuah misteri.

Bagi para mahasiswi yang terobsesi dengan Ziad, itu adalah sebuah penghinaan.

Dan bagi Alessia? Itu adalah awal dari bencana.

Awalnya, Alessia mengabaikan tatapan iri yang dia dapatkan dari beberapa mahasiswi di kelas.

Dia tahu Ziad adalah tipe pria yang mudah menarik perhatian. Ketampanannya, cara bicaranya yang tenang, serta auranya yang penuh misteri membuatnya menjadi pusat perhatian.

Namun, Alessia tidak menyangka bahwa perhatian itu bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih berbahaya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil.

Bisikan-bisikan saat dia lewat.

Catatan kecil penuh hinaan yang muncul di mejanya setiap kali dia masuk kelas.

Buku-bukunya yang tiba-tiba menghilang atau berantakan di loker.

Alessia sudah terbiasa dengan perlakuan buruk sejak lama, jadi dia tidak terlalu memedulikannya.

Tapi yang dia tidak sadari adalah bahwa kebencian itu perlahan mulai membesar.

Dendam yang Berkembang

"Apa kau sadar bahwa banyak orang tidak menyukaimu?"

Suara dingin itu datang dari belakangnya saat Alessia berjalan melewati lorong yang sepi.

Dia berhenti, menoleh, dan menemukan sekelompok gadis berdiri di sana.

Elena, salah satu mahasiswi populer di kampus, menyeringai sambil melipat tangan di dadanya.

"Kau pikir siapa dirimu? Dosen tampan kita itu lebih banyak berbicara denganmu dibanding siapa pun. Kau pikir dia benar-benar tertarik padamu?"

Alessia menyesuaikan kacamatanya, wajahnya tetap datar. "Bukan urusanmu."

Wajah Elena menegang. "Jawaban yang buruk."

Sebelum Alessia sempat bereaksi, dia merasakan dorongan keras di bahunya.

Tubuhnya terhuyung ke belakang, membentur loker dengan suara nyaring.

Sakit? Tidak. Luka seperti ini tidak ada apa-apanya dibanding apa yang pernah dia alami dalam kehidupan sebelumnya.

Tapi itu tidak berarti dia tidak marah.

Alessia menatap Elena tajam, tetapi gadis itu hanya tertawa.

"Kau bisa berpura-pura kuat sesukamu," kata Elena, "tapi kau tetap si culun menyedihkan yang tidak pantas berada di sini."

Dan dengan itu, mereka pergi, meninggalkan Alessia yang tetap berdiri tegak, meskipun dengan rahang yang mengeras.

Dia tidak akan membalas mereka.

Setidaknya, belum.

Jika Alessia berpikir bahwa itu adalah puncaknya, dia salah besar.

Hari-hari berlalu, dan perlakuan buruk itu semakin menjadi-jadi.

Di kelas, seseorang menyiramkan air ke mejanya, membuat semua catatannya basah.

Di kantin, seseorang "tidak sengaja" menabraknya, membuat makanannya jatuh ke lantai.

Di kamar mandi, seseorang menguncinya dari luar selama hampir satu jam.

Tapi puncaknya terjadi pada suatu malam, ketika Alessia berjalan sendirian melewati gang kecil di belakang kampus.

Dia tidak menyadari jebakan itu sampai terlambat.

Dua tangan kasar menariknya ke sudut yang gelap, dan sebelum dia bisa bereaksi, dia merasakan pukulan pertama mendarat di perutnya.

Udara keluar dari paru-parunya, dan dia jatuh berlutut.

Seseorang menarik rambutnya ke belakang, memaksanya untuk melihat wajah-wajah penuh kebencian yang mengelilinginya.

"Apa kau pikir bisa terus bertingkah seolah kau lebih baik dari kami?" suara Elena berbisik di telinganya.

Alessia tidak menjawab.

Pukulan lain menghantam pipinya.

Rasa besi menyebar di mulutnya.

Tubuhnya terjatuh ke tanah, dan dia bisa merasakan tendangan menghantam punggungnya.

Mereka memukulinya.

Mereka menendangnya.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Alessia membiarkan dirinya terluka tanpa melawan.

Tidak ada yang tahu berapa lama Alessia tergeletak di sana setelah mereka pergi.

Dia tidak pingsan, tetapi tubuhnya terlalu sakit untuk segera bangkit.

Hanya ketika dia mendengar suara langkah kaki mendekat, dia memaksakan dirinya untuk bergerak.

"Alessia?"

Suara itu membuatnya membeku.

Dia perlahan mengangkat kepalanya, dan di sana, berdiri di bawah cahaya lampu jalan, adalah Ziad.

Ekspresi pria itu berubah saat melihat keadaannya.

Tanpa berkata apa-apa, Ziad berlutut di sampingnya, menatap wajahnya yang memar dan luka-lukanya yang masih berdarah.

"Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya terdengar datar, tetapi Alessia bisa merasakan amarah yang tersembunyi di baliknya.

Alessia tersenyum kecil, meskipun itu menyakitkan. "Kau tahu, Profesor… dunia ini tidak pernah berubah."

Ziad mengatupkan rahangnya.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia meraih lengannya dengan lembut, membantu Alessia berdiri.

Dia bisa merasakan betapa tegangnya tubuh pria itu.

Ziad marah.

Dan untuk pertama kalinya, Alessia merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar peduli.

1
Shai'er
tak kenal lelah 💪💪💪
Shai'er
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Shai'er
💪💪💪💪💪💪💪💪
Shai'er
💪💪💪💪💪
Shai'er
🤣🤣🤣🤣🤣
Shai'er
🥰🥰🥰🥰🥰
Shai'er
👍👍👍👍👍👍
Shai'er
🤧🤧🤧🤧🤧🤧🤧🤧
Shai'er
😭😭😭😭😭
Shai'er
😮‍💨😮‍💨😮‍💨😮‍💨😮‍💨
Shai'er
🤧🤧🤧🤧🤧
Widayati Widayati
aduh knp imut bgini. 🥰
Shai'er
udah bisa jalan kah🤔🤔🤔
Shai'er
pandang pandangan 🤧🤧🤧
Shai'er
🥺🥺🥺🥺🥺
Shai'er
👍👍👍👍👍
Shai'er
memasang perangkap untuk menyatukan orang tua 💪💪💪💪💪
Shai'er
🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰
Shai'er
saling melindungi tanpa saling tau 🥰🥰🥰
Shai'er
🥰🥰🥰🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!