Rumah?
Ayra tidak memiliki rumah untuk benar-benar pulang. Rumah yang seharusnya menjadi pelukan hangat justru terasa seperti dinding-dinding dingin yang membelenggunya. Tempat yang semestinya menjadi surga perlindungan malah berubah menjadi neraka sunyi yang mengikis jiwanya.
Siapa sangka, rumah yang katanya tempat terbaik untuk pulang, justru menjadi penjara tanpa jeruji, tempat di mana harapan perlahan sekarat.
Nyatanya, rumah tidak selalu menjadi tempat ternyaman. Kadang, ia lebih mirip badai yang mencabik-cabik hati tanpa belas kasihan.
Ayra harus menanggung luka batin yang menganga, mentalnya hancur seperti kaca yang dihempas ke lantai, dan fisiknya terkikis habis, seakan angin menggempurnya tanpa ampun. Baginya, rumah bukan lagi tempat berteduh, melainkan medan perang di mana keadilan tak pernah berpihak, dan rumah adalah tangan tak terlihat yang paling kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGAS DAN AYRA
“Lo izin pulang aja deh, muka lo pucat banget Ay.” Serin terus saja membujuk Ayra.
Novia mengangguk setuju. “Kita bantu izin atau ngak kita ke rumah sakit.”
Ayra semakin menggeleng kuat saat mendengar ucapan Novia, betapa beruntungnya dirinya memiliki mereka berdua.
“Ngak usah, istirahat sebentar juga pasti sembuh kok.”
“Lo pintar banget ngomong ya, lo ngak lihat wajah lo tu kek udah mayat Ay. Ngak ada darah yang ngalir,” sahut Novia.
“Heh! Lo kalau ngomong lancar banget ya.” Serin menatap tajam Novia yang hanya tersenyum.
“Benaran deh, aku ngak apa-apa. Lagian juga pusingnya udah ngak kerasa lagi kok,” balas Ayra.
Ayra bisa saja izin untuk hari ini, tetapi izin pulang kerumah dengan alasan sakit maka Syan atau Vynessa salah satunya jelas akan memberinya hukuman. Beasiswa yang dia dapatkan bisa dengan mudah dicabut oleh Syan.
“Gini deh, kalau ngak mau pulang lo tetap istirahat di sini sampai mapel kedua ini selesai. Nanti mapel ketiga lo baru boleh masuk, gimana?” Usul Novia.
“Lo milih opsi kedua atau kita tetap maksa lo balik,” timpal Serin.
Ayra menghela napasnya pelan, kedua sahabatnya memang keras kepala. “Aku milih tetap di sini,” jawabnya. Serin dan Novia tersenyum puas.
“Lo baring aja lagi, kita mau ke kantin pesanin lo makanan.” Serin bangkit dari tempat duduknya. “Ets! Ngak ada penolakan ya, lo tadi ngak dengar petugas uksnya bilang apa? Perlu gue ulang Ayra?”
Ayra meringis pelan, lalu menggeleng menatap Serin. “Heheh, maaf ya ngerepotin kalian.”
“Dah, mendingan lo baring lagi. Ayok, gue bantuin.” Novia memegang lengan kanan Ayra membuat gadis berambut panjang itu meringis.
“Eh? Sorry Ay, tangan lo kenapa ha?” Novia hendak melihat lengan sahabatnya tetapi lebih dulu Ayra menariknya.
Serin mendekat, merasa sesuatu disembunyikan oleh Ayra. Dengan gerakan cepat meraih telapak tangan Ayra dan menggulung kemeja putih tersebut hingga pupil matanya melebar sempurna.
“A-yra, lengan lo kenapa?”
“Jangan bilang ulah ayah lo lagi?”
Ayra hendak menarik tangannya kembali, tetapi cengkraman Serin jauh lebih kuat dari tenaganya yang tidak ada apa-apanya ini.
“I-ni...,”
“Apa?” Desak Serin tak sabaran. “Memar ini masih baru Ayra, gue udah bilangkan kalau ada apa-apa itu ngomong. Gue ngak suka lo ngak pernah mengandalkan kita sebagai sahabat lo,” tutur Serin.
Novia menatap Ayra dalam, bagaimana mungkin Ayra bisa bertahan dalam keluarga yang kejam itu? Ayra juga anggota keluarga dari mereka, lalu mengapa Ayra tidak pernah mendapatkan perlakuan yang baik.
Novia sangat membenci keluarga dari Ayra, bahkan untuk sekedar mendegar nama kedua orang tua Ayra pun dirinya enggan. Novia tidak dapat membayangkan jika dirinya ada diposisi Ayra, mungkin saja dia akan mengakhiri hidupnya karena tekanan dari keluarga itu.
Tetapi, dia juga sangat bersyukur karena Ayra tidak pernah menyerah dengan kehidupannya. Namun, dia juga sangat merasa kesal dan marah karena Ayra tidak melawan.
“Cuman di lengan lo doang? Bagian tubuh mana aja yang di pukul lagi?” Tanya Novia pelan. Mengusap pelan lengan Ayra.
Ayra terdiam, enggan menjawab. Hingga usapan pada ubun-ubunya berhasil mengalihkan tatapannya.
Serin tersenyum saat Ayra melihatnya. “Lo anak baik, ngak adil dunia ngasih lo cobaan kaya gini.”
“Sekarang kita obatin luka ini dulu, kita izin ngak masuk mapel kedua.” Novia memaksa Ayra membuka lengan kemejanya. “Ngak ada penolakan Ayra.”
“Aku udah obatin di rumah kok, jadi udah ngak apa-apa.” Ayra mencegah keduanya.
Serin menyentil kening Ayra pelan. “Lo suka bohong, pasti punggung lo juga memar.”
“Buka paksa Serin,” seru Novia. Membuat Ayra panik saat kancing kemejanya satu-persatu dibuka oleh keduanya.
“K-alian mau apa?”
xxx
Bruk!
“Aawwsss,” lirihnya.
“Ckkk.”
Ayra buru-buru bangkit kembali setelah bokongnya mencium lantai, merapikan seragam sekolahnya lalu melihat siapa yang baru saja dirinya tabrak.
“M-aaf kak, a-ku ngak sengaja.” Ayra melihat lambang kelas pada kemeja sekolah laki-laki di depannya. Yang baru saja ia tabrak adalah kakak kelasnya.
“Bagas Aksenio Praharja,” bisik Ayra menyebut nama yag tertera pada kemeja murid laki-laki tersebut.
“Minggir.” Bagas menatap dingin gadis di depannya.
“Ha?”
Bagas kembali mendengus dan tatapannya semakin dingin saat gadis di depannya ini tidak menyingkir dari hadapannya, tidak kah gadis ini tahu jika dia sedang terburu-buru dan suasana hatinya sedang tidak baik.
“Minggir,” tekan Bagas sekali lagi. Mengutuk otak gadis di depannya yang lalot itu.
“A-h, iya.” Ayra segera menggeser posisinya. Memberikan jalan kepada laki-laki tersebut.
Bagas melirik Ayra dengan ekor matanya, kemudian berlalu dari sana tanpa menjawab maaf dari gadis itu. Dia tidak peduli siapa gadis itu, bisa saja ia marah dan meluapkan emosinya. Tetapi ia menahannya, karena tujuannya lebih penting untuk meluapkan semua emosinya.
Ayra menatap punggung itu mulai mengilang, menggeleng pelan kemudian berkata. “Kaya pernah lihat, tapi di mana ya?”
Tanpa Ayra sadari, sepasang mata melihatnya beberapa detik yang lalu.
xxx
Ayra melangkah mundur dengan perlahan, menghindari sesuatu yang akan membuatnya dalam bahaya dengan tatapan penuh permusuhan dari kakak perempuannya yang terpaut satu tahun itu.
“K-ak Kaliyah mau apa?” Tanya Ayra mencengkram kuat kedua sisi rok sekolahnya.
Kaliyah tersenyum miring, semakin mendekat dengan lengan yang dilipat didadanya. “Lo ngak tahu kesalahan lo apa?”
Ayra menggeleng pelan, mana dia tahu jika dia telah melakukan kesalahan. Seharian kan dirinya berada di sekolah, jadi tidak mungkin dia membuat masalah di rumah ini.
“Ckkk, lo ngak usah pura-pura polos anak pembawa sial.” Kaliyah geram hingga menjambak rambut panjang Ayra. “Lo ngapain dekat-dekat pacar gue ha? Lo mau jadi pelakor ha?”
Ayra meringis pelan, tidak paham dengan ucapan Kaliyah. “M-aksud kak Kaliyah apa? Aaawwsss, a-ku ngak pernah merebut pacar kak Kaliyah,” lirihnya.
Nafas Kaliyah semakin berat mendengar jawaban Ayra, jambakan pada rambut Ayra pun semakin kuat. “Lo ngak usah ngelak anak sialan!”
“Aaakkhhhh, k-ak sa-k-it.”
“Lo ngapain tadi berduaan sama Bagas ha? Lo ngapain ngobrol bareng pacar gue anak sialan!”
Kaliyah mendorong tubuh Ayra dengan kuat hingga tubuh kecil gadis itu terjatuh kelantai, posisi mereka berdua tepat di belakang dapur dekat dengan kamar kecil milik Ayra.
“A-ku ngak tahu maksud kak Kaliyah apa,” ucap Ayra pelan. Tetapi, ingatannya tiba-tiba berputar saat di sekolah tadi.
Apakah maksud Kaliyah adalah Bagas Aksenio Praharja? Murid laki-laki yang berpenampilan urakan yang tak sengaja dirinya tabrak di koridor kelas saat hendak pulang tadi? Jika benar, sepertinya kakaknya ini salah paham.
“Lo masih ngak tahu atau pura-pura ngak tahu ha? Jangan buat gue makin emosi anak sialan!”
“Maksud kak Kaliyah itu kak Bagas?”
Kaliyah maju, mensejajarkan wajahnya dengan Ayra dengan sorot mata penuh amarah. “Jangan pernah sebut nama pacar gue dengan mulut murahan lo itu,” tekan Kaliyah.
“Kak Kaliyah salah paham, aku ngak ngobrol bareng dia. T-adi itu a-ku ngak sengaja nabrak dia dan...,”
Plak
“Gue ngak butuh penjelasan lo Ayra, gue peringatin lo jangan coba-coba rebut pacar gue karena lo itu cuman sampah yang di tampung keluarga gue.”
Ucapan Kaliyah memang selalu seperti itu membuat Ayra sudah terbiasa dan tidak menyimpannya dalam hati tetapi akan selalu mengingat kalimat seperti itu.
Kaliyah meninggalkan Ayra yang masih tertunduk di lantai yang dingin, tiba-tiba saja dia teringat harus segera membereskan rumah sebelum Vynessa kembali dari luar.
Begitulah keseharian Ayra, sebelum berangkat sekolah dirinya terlebih dahulu menyiapkan sarapan pagi bagi keluarganya, lalu siangnya harus menyiapkan makan siang dan membereskan segala isi rumah mewah ini dan pada malam hari dia harus menyiapkan makan malam.
Ayra sering membawa bekal ke sekolah guna menghemat uang jajan yang di berikan Syan tiap bulannya, bekal itu sisa dari sarapan pagi yang masih utuh dan pada saat itulah dia bisa menyantap makanan buatannya sendiri walau terkadang Kaliyah atau Maverick membuang kotak makannya.
TERIMAKASIH KARENA TELAH MAMPIR DAN JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK 👣 KALIAN SEPERTI BIASA👍😁😉
OWH YA, MAMPIR JUGA YA KE AKUN INSTAGRAM AUTHOR @rossssss_011
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA👋
PAPPYYYY👋👋🫂🫂🙆♀️
thor . . bantu dukung karya chat story ku ya " PUTRI KESAYANGAN RAJA MAFIA "