Impian Malika menikah dengan Airlangga kandas ketika mendapati dirinya tidur bersama Pradipta, laki-laki asing yang tidak dikenalnya sama sekali. Gara-gara kejadian itu Malika hamil dan akhirnya menikah dengan Pradipta.
Sebagai seorang muslimah yang taat, Malika selalu patuh kepada suaminya.
Namun, apakah dia akan tetap menjadi istri yang taat dan patuh ketika mendapati Pradipta masih menjalin asmara dengan Selina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Iya, Bu. Tapi, jangan biarkan Malika memberi tahu keluarganya. Jika sampai mereka tahu hal itu terjadi akan membuat kacau rencana kita."
Bu Mayang dan Selina kali ini membuat rencana lebih rapi dan terencana dengan matang. Beberapa rencana sudah mereka persiapkan jika satu rencana gagal, maka akan rencana lainnya lagi.
"Bu Malika di mana?" Pradipta kembali bertanya.
Selina mendengus dengan mata berputar kesal karena sekarang laki-laki itu secara terang-terangan memperlihatkan kepeduliannya kepada Malika. Padahal dulu, Pradipta berjanji akan membuat hidup Malika menderita sebagaimana dia dan keluarganya hidup menderita setelah jatuh bangkrut.
Bu Mayang melirik kepada Selina. Dia tidak boleh salah langkah karena bisa kacau rencana mereka nanti.
"Permisi, Bu. Menantu ibu sudah siuman. Dia maksa ingin mencari bayinya," ucap salah seorang perawat yang tiba-tiba masuk.
Selina dan Bu Mayang melotot. Karena hal ini diluar prediksi mereka. Mereka lupa memberi tahu perawat kalau hal ini juga harus dirahasiakan dari Pradipta.
"Siuman? Siapa yang baru saja siuman? Malika, kah?" Apa dia sudah melahirkan?" tanya Pradipta bertubi-tubi sambil berusaha bangun dari atas ranjang.
Perawat wanita yang terlihat masih muda itu merasa bingung ketika mendapati Selina dan Bu Mayang melotot kepadanya seakan ingin memakannya hidup-hidup.
Muka Pradipta memerah menunjukkan kalau dia sangat marah. Dia pun berkata, "Suster di mana ruangan istriku dirawat?"
Perawat itu melirik kepada Bu Mayang dan Selina. Dia terlihat gugup karena baru sadar sudah berbuat salah.
"Suster, cepat antarkan aku ke sana!" Pradipta turun dari ranjangnya.
"Tunggu, Dipta!" Bu Mayang mencoba menahan tubuh anaknya.
"Tidak, Bu," balas Pradipta sambil melepaskan pegangan tangan ibunya. "Malika sudah melahirkan. Bagaimana bisa? Bukannya sekarang usia kandungan Malika baru tujuh bulan? Apa yang terjadi kepadanya?"
Mulut Bu Mayang terbuka, tetapi tidak bisa berbicara. Dia bingung harus bicara apa. Terlebih lagi mereka belum bisa membawa bayi itu dari ruang NICU, pastinya Malika atau Pradipta akan mencari anaknya.
Pradipta melangkah meski tubuhnya masih terasa lemah. Dia ingin menemui Malika dan melihat keadaannya. Laki-laki itu yakin kalau sudah terjadi sesuatu kepada sang istri.
"Dipta, kondisi kamu masih lemah," ucap Selina menahan kedua lengan Pradipta.
Dengan kasar Pradipta menepis tangan Selina. Dia masih marah akan perbuatan wanita itu kemarin. Rencana jahatnya juga tidak bisa dia tolerir.
"Jangan ganggu aku!" ucap Pradipta dengan nada tegas dan tatapan mata yang tajam.
Selina kesal sekali karena sekarang Pradipta berubah. Dahulu, laki-laki itu begitu bucin kepadanya. Selalu memahami keadaan dia dan menuruti semua keinginannya.
"Suster, ayo!" titah Pradipta dengan nada tegas.
Perawat itu masih dalam keadaan kebingungan. Apa dia harus menuruti Pradipta atau Bu Mayang.
"Jika terjadi sesuatu kepada Malika dan anak kita, aku tidak akan memaafkan kalian!" ucap Pradipta dengan keras sampai membuat perawat itu ketakutan.
"Bu Malika ada di ruang rawat gadung Flamboyan tiga," ujar perawat itu mengikuti langkah Pradipta.
Bu Mayang dan Selina pun mengikuti mereka dengan perasaan cemas karena takut Pradipta semakin marah. Kemarin mereka sudah menyuap dokter dan perawat yang menangani Malika agar tidak memberikan tahu apa yang terjadi kepada wanita itu dan bayinya.
Ketika mereka lewat koridor menuju gedung Flamboyan, dari kejauhan terlihat ada kegaduhan di dekat ruang bayi. Tentu saja orang itu adalah Malika yang ingin bertemu dengan putrinya.
"Bayi ibu tidak ada di sini," ucap perawat itu bersikukuh mempertahankan pintu ruangan itu agar tidak dimasuki oleh Malika.
"Kembalikan putriku!" jerit Malika sambil mencoba menyingkirkan perawat yang menghalangi handle pintu. Berteriak seperti tadi membuat d merasakan sakit yang teramat sangat pada perutnya. Seharusnya dia menenangkan hati dan pikiran pasca lahiran agar tidak mengalami baby blues sindrom.
"Malika!" Pradipta berjalan dengan cepat. Dia merasa sakit dan pusing di kepalanya, tetapi tetap memaksakan diri.
Melihat suami, mertua, dan kekasih suaminya, membuat emosi Malika semakin memuncak. Dia berpikir kalau mereka datang ke sana akan mengambil bayinya.
"Kalian?" Raut muka Malika menunjukkan rasa marah. "Jangan berani-beraninya mengambil anakku!"
"Tenang, Malika. Tidak akan ada yang mengambil anak kita," ucap Pradipta.
"Anak kita?" Malika tersenyum mengejek. "Bayi itu adalah anakku! Jangan pikir kalian akan mudah mengambilnya dariku." Malika menunjuk ke arah Pradipta, Selina, dan Bu Mayang secara bergantian.
"Tentu saja bayi itu milik aku dan kamu. Kita akan membesarkannya bersama," ucap Pradipta dengan nada lembut.
"Hei, bayi kamu sudah tidak ada. Dia sudah mati!" ucap Selina yang kemarahan dan cemburunya sudah mencapai ubun-ubun.
"Kamu pikir aku percaya dengan ucapan kamu barusan," balas Malika dengan nada nyolot.
Bu Mayang diam-diam masuk ke ruang NICU. Dia melihat cucunya masih berada di dalam inkubator. Dia kemudian melepaskan kartu identitas bayi itu dan menggantinya dengan yang palsu. Dia sudah jaga-jaga jika rencananya gagal.
Pradipta yang melihat ibunya masuk ke sana pun ikut menyusul. Malika juga ikut bersama dengannya.
"Yang mana bayi kita?" tanya Pradipta.
"Kalian semua keluar!" Atau aku panggil pihak keamanan untuk menyeret kalian keluar." Perawat yang berjaga pun marah kepada mereka semua.
Mata Malika mencari bayi miliknya. Namun, tidak ada bayi yang atas nama dirinya.
"Di mana bayiku?" tanya Malika histeris.