Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Perjanjian Pra nikah.
Aku memandang wajah Arbian tanpa kedip. Kata-kata yang barusan keluar dari mulutnya sungguh membuatku syok. Makhluk macam apakah yang berdiri dihadapanku ini. Segitu gilanya dia mencetuskan ide itu.
"Kamu masih waras kah? Sampai melontarkan ide gila itu?" pelotot ku nyaris tak percaya. Pupus sudah rasa kagumku melihatnya. Aku yang tadinya berharap pernikahanku nantinya akan berjalan baik-baik saja. Hanya butuh waktu untuk saling mengenal pribadi masing-masing. Meskipun tanpa didasari cinta. Mungkin seiring waktu rasa itu akan tumbuh.
"Iya, kita terima saja perjodohan ini. Demi menyenangkan hati orang tua kita. Kamu tidaks perlu khawatir aku tidak akan menyentuhmu. Sebaliknya biaya hidupmu aku tanggung. Kamu cuma perlu berakting saja sebagai istri yang baik." ucapnya enteng. Seraya menyodorkan kertas berisi point perjanjian. Dia ingin aku menandatanganinya.
Bagai sebilah sembilu mengiris hatiku mendengar kata itu. Aku tidak sanggup untuk membacanya. Kuremas ujung kertas itu.
"Tidak! Aku tidak mau melakukannya. Biar aku saja yang membujuk Namboru membatalkan perjodohan ini." cecarku dengan nafas tersenggal. Kutinggalkan Arbi begitu saja. Tapi dia mengejarku dan berhasil menarik lenganku.
"Rania, aku mohon. Jangan lakukan itu. Aku tidak akan memaafkanmu bila terjadi sesuatu pada mamaku. Aku akan bayar kamu sebagai kompensasi. Katakan, berapa aku harus bayar. Anggap saja kamu sedang bekerja untukku. Harusnya itu tidak akan bermasalah, karena kita tidak saling cinta."
Plak! Aku menampar pipi Arbian.
Astaga, sombongnya. Aku makin tidak percaya sepicik ini ternyata sosok Arbian yang sukses sebagai seorang pengusaha muda.
"Aku tidak peduli dengan uangmu. Sewa saja orang lain untuk jadi istri bayaranmu." sergahku kasar. Kutinggalkan Arbi begitu saja. Sekalipun dia teriak-teriak memanggil namaku. Harga diriku serasa hancur dengan ide gilanya itu. Terbayang wajah Namboru Imel yang selalu bersikap lembut padaku. Juga wajah Mama dan Bapak yang begitu bahagia menjelang pernikahanku.
Segala sesuatu sudah dipersiapkan. Tinggal menghitung hari pesta itu akan digelar. Kenapa tiba-tiba Arbi menohokku dengan rencana gila itu. Dia ingin pernikahan kami hanya sebatas kertas saja. Padahal janji suci itu akan diikrarkan di depan altar. Dibawah tumpangan tangan Pastor yang akan memberkati pernikahan kami. Janji setia seumur hidup hingga maut memisahkan.
Sungguh, aku tidak bisa membayangkan kalau pernikahan ini akan dibatalkan. Betapa kecewa hati kedua orang tuaku nantinya. Tapi, jika pernikahan ini dilanjutkan tidakkah akan sia-sia belaka juga? Banyak hati yang akan terluka bila hal ini tersingkap. Tapi bila menurutinya pun sama saja resikonya karena akan membohongi banyak orang. Sungguh, tanganku ibarat menggenggam buah simalakama.
Pernikahan itu pun akhirnya terjadi. Tanpa terasa bahkan satu tahun sudah terlampaui. Sejauh ini kami berhasil memerankan lakon masing-masing tanpa cela. Hanya satu yang menjadi kendala. Semua menunggu penuh harapan akan lahirnya seorang cucu ditengah-tengah keluarga besar kami.
Sebuah harapan yang jauh gantang dari api.
Entah apa yang terjadi kala itu di rumah Namboru, keesokan harinya datang kabar buruk kalau suami Namboru Imel masuk rumah sakit. Keadaannya sangat kritis. Namboru meminta pernikahan itu dipercepat dari jadwal. Takut terjadi apa-apa pada Amangboru. Aku tidak berkutik untuk menolak dalam suasana genting itu.
"Menghayal soal apa sih. Jangan membuat mama curiga." sentuhan lembut di lenganku mengalihkan pikiranku yang teringat masa lalu.
"Tidak ada. Aku hanya melihat pasangan pengantin itu." bohongku. Didepan sana di kursi pelaminan aku melihat sepasang pengantin yang tersenyum bahagia.
Beda dengan pernikahanku yang dilakukan secara mendadak, di rumah sakit pula. Bahkan pesta adat belum juga kami laksanakan. Setelah kami resmi menikah, kesehatan Bapak mertua berangsur sembuh. Sudah beberapa kali mertuaku mengusulkan agar pesta adat dilaksanakan. Tapi aku selalu menolak dengan berbagai alasan.
Toh, pesta adat itu bisa dilakukan kapan saja. Jadwal pekerjaan yang padat selalu menjadi alasanku. Bukan soal uang, karena kami sanggup membiayainya. Kalaupun kurang, mertuaku pasti ringan tangan membantu.
"Lebih dari sini kita akan merayakan pesta adat kita." Bisik Arbi lirih. Pikirnya mungkin aku iri pada pasangan pengantin itu.
"Buat apa? Menyempurnakan sandiwara itu ya. Tidak perlu." sahutku dingin. Yah, buat apa merayakan pesta adat kalau kenyataannya pernikahan kami hanya sebuah permainan.
"Rania, sini. Ayo, ambil makanan disini." Ibu mertua melambaikan tangannya ke arahku. Karena saatnya makan siang. Aku berdiri, memutus debat kecil diantara kami. Arbi mengikuti langkahku. Lalu aku antri mengambil makanan yang terhidang di atas meja besar. Kembali duduk di kursi semula. Selesai makan tiba-tiba sesosok tubuh melangkah menghampiri tempat duduk kami.
"Arbi, Arbian kan?" dengung tanya itu bergaung kuat menarik perhatian di sekelilingku. Arbi terlonjak melihat sosok yang berdiri didepannya. Sejenak dia terdiam memutar memori, detik berikutnya suaranya bergema seolah tidak percaya.
"Bastian! Iya 'kan?" keduanya lantas berangkulan. Terdiam sejenak lantas terbahak keras. Aku yang ikutan berdiri merasa salah tingkah karena merasa diabaikan.
"Wah! Makin tampan saja kau, Bro. Sudah sukses ya." keduanya saling bertukar pujian. Hingga akhirnya Arbi disadarkan oleh sesuatu.
"Eh, Bas. Kenalin ini istriku." Aku menyambut uluran tangan Bas yang hangat dan menyebut namaku.
"W-ao. Cantik sekali Mbak Rania." puji Bas tulus. Aku hanya tersenyum jengah mendengar pujian itu.
"Gimana khabarmu, masih jomblo gak." Arbi menohok perut sahabatnya itu. Tawa Bas berderai demi mendengar tanya itu.
"Iya, aku masih jomblo. Tolong dicarikan, hahaha." gelak tawa itu bergema lagi. Entah kenapa aku suka mendengar suara tawa itu. Sepertinya Bas orangnya humoris. Sikapnya santai seolah tanpa beban. Jauh beda dengan Arbi yang agak kaku.
"Kupikir kamu nikahnya sama, Gladys." bisik Bas lirih ke telinga Arbi. Tapi cukup jelas terdengar olehku. Seketika kudukku meremang. Mimik Arbian mendadak berubah. Aku pura-pura tidak peduli.
"Bang, aku sama Inang dulu ya." pamitku pada keduanya.
"Eh, I-iya, Dek." geragap Arbi.
Aku memang sengaja menghindar agar mereka bebas bercerita tentang masa lalu. Kuhampiri ibu mertua yang tengah asyik bercerita dengan besti-nya.
"Arbi mana?" ibu mertua menelisik wajahku.
"Tuh, lagi ngobrol sama teman lamanya, Inang." aku menunjuk ke arah Arbi dengan daguku. Ibu mertua melirik sekilas lalu kembali asyik bertukar cerita.
Huff, aku mendengus lirih. Merasa bosan hanya sebagai penyimak diantara teman-temannya Inang. Belum lagi topik obrolan mereka soal anak cucu kesayangan mereka.
Aku membuka tas dan meraih ponselku untuk mengalihkan kejenuhanku. Aku membuka Istagram, lalu aplikasi face book dan terakhir WhatShap. Tidak ada satu hal pun yang menarik perhatianku. Kusimpan kembali ponsel itu ke dalam tas. Melihat ke arah Arbi dan temannya. Tapi keduanya sudah tidak ada lagi di tempat saat kutinggalkan.
Mataku celingukan mencari sosok Arbi. Tapi tidak juga aku melihatnya. Mendadak aku merasakan perutku penuh. Aku pamit sama ibu mertua hendak ke toilet. Ibu mertua mengangguk dan menunjuk arah toilet berada.
Saat kakiku melangkah menuju toilet, tanganku urung membuka pintu karena mendengar suara yang tidak asing. Sepertinya suara Arbi. Buat apa Arbi berada di toilet wanita? ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor