“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Tiga Tahun Yang Lalu - 2
Tanpa menunggu lebih lama, Wira menyelipkan satu tangan di bawah lutut Chaca dan satu lagi di belakang punggungnya. Tanpa kesulitan, ia mengangkat tubuh mungil itu ke dalam gendongannya. Seketika, jantung Wira berdetak lebih cepat dari biasanya.
Chaca membeku. Ia tidak menyangka akan digendong seperti ini. Wajahnya langsung memerah, bukan karena malu, tetapi karena takut.
"Pa-Pak, saya bisa jalan sendiri," protes Chaca lirih.
"Kamu baru saja jatuh, jangan keras kepala," sahut Wira dengan nada tegas, lalu melangkah menuju ruang keluarga.
Selama perjalanan singkat itu, Chaca merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, bukan karena perasaan berbunga-bunga, tetapi karena takut. Ia tahu betul siapa Wira—anak majikan yang sudah memiliki istri. Ia tak ingin menimbulkan masalah.
Setibanya di ruang keluarga, Wira dengan hati-hati membaringkan Chaca di atas sofa. Ia segera berlutut, tangannya dengan cekatan menggulung ujung rok panjang Chaca untuk melihat pergelangan kakinya yang mulai membengkak.
"Jangan, Pak!" Chaca buru-buru menarik roknya ke bawah, wajahnya ketakutan.
Wira mengernyit. "Saya hanya ingin melihat seberapa parah lukamu, Chaca. Jangan takut."
Suasana hening sejenak. Para pelayan yang mengintip dari jauh tak berani mendekat. Bahkan Bik Rahma yang baru datang hanya berdiri di ambang pintu, terkejut melihat betapa cemasnya Wira terhadap Chaca.
Wira menarik napas panjang, menahan rasa frustrasi. "Kalau kamu tidak mau saya yang periksa, biar saya panggil dokter yang lain."
"Jangan! Saya tidak apa-apa," ujar Chaca buru-buru. Ia tidak ingin merepotkan siapa pun, meski seluruh badannya terasa sakit.
Wira menatapnya tajam, kemudian menggeleng pelan. "Keras kepala sekali. Baiklah, saya akan panggil Bik Rahma untuk merawatmu. Tapi kalau besok bengkaknya makin parah, saya akan tetap membawa kamu ke rumah sakit."
Chaca menggigit bibirnya, tidak berani membantah lagi.
Saat Bik Rahma masuk untuk membantu, Wira masih berdiri di dekatnya. Sorot matanya tidak lepas dari Chaca. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa detak jantungnya masih belum kembali normal setelah kejadian ini. Ia tidak tahu sejak kapan ia mulai peduli. Tapi yang jelas, hari itu ia menyadari sesuatu—Chaca bukan hanya sekadar maid di mansion ini.
Di sisi lain, Chaca justru semakin menjaga jarak. Ia tidak ingin menimbulkan masalah. Bagi dirinya, Wira adalah dunia yang terlalu jauh untuk digapai. Ia tidak boleh merasa nyaman dengan perhatian pria itu. Dan yang paling penting, ia tidak boleh lupa satu hal.
Wira sudah memiliki istri. Namun berbeda dengan hati Wira. Pria itu menyadari telah jatuh cinta pada gadis itu, hanya saja ia harus menyimpan perasaannya sendiri.
***
Tiga hari setelah kejadian Chaca terjatuh di tangga, kondisinya sudah jauh lebih baik. Ia masih merasakan sedikit nyeri di pergelangan kakinya, tetapi sudah bisa berjalan normal. Sejak saat itu, ia semakin menjaga jarak dengan Wira. Jika dulu ia menunggu reaksi pria itu saat mencicipi kopi atau sarapan buatannya, kini ia langsung berbalik ke dapur setelah meletakkan nampan di meja.
Terlebih lagi, Adelia datang dan menginap di mansion mertuanya. Kehadiran wanita itu membuat Chaca semakin berhati-hati. Ia tak ingin memancing masalah atau menimbulkan kesalahpahaman. Wira pun bersikap seperti biasa—dingin dan tak banyak bicara. Namun, di dalam hatinya, pria itu mulai merasakan sesuatu yang mengganggunya.
Sore itu, di dalam kamar yang mewah dan luas, Wira duduk di tepi ranjang sambil menatap istrinya. Adelia baru saja menyelesaikan panggilan teleponnya dengan seorang teman. Wira menghela napas pelan, lalu dengan hati-hati membuka pembicaraan.
"Aku sudah berbicara dengan dokter rekan kerjaku," ujar Wira pelan. "Dia bilang kita bisa mulai program bayi tabung bulan depan. Aku sudah mengatur semua jadwalnya."
Adelia yang sedang mengoleskan krim malam di wajahnya langsung menghentikan gerakannya. Ia menoleh ke arah Wira dengan sorot mata tajam, lalu mendengus kesal. "Kamu serius? Mas Wira, berapa kali aku harus bilang kalau masalahnya bukan di aku?"
Kening Wira berkerut. "Apa maksudmu?"
Adelia meletakkan jarinya di dadanya sendiri. "Kita belum punya anak bukan karena aku, tapi karena kamu. Kamu yang mandul, Mas Wira."
Kata-kata itu menampar harga dirinya. Wira menatap istrinya dengan ekspresi tak percaya. "Apa yang kamu katakan?" ujar Wira suaranya terdengar dalam dan bergetar menahan emosi.
Adelia mendengus, lalu menatapnya dengan sinis. "Aku sudah melakukan semua tes, dan hasilnya aku sehat. Aku bisa punya anak kapan saja, asal pasangannya bukan kamu, Mas."
Pada saat itu, Wira belum melakukan pengecekan ulang kondisi rahim istrinya di rumah sakit keluarganya, sementara Adelia mengecek di rumah sakit yang berbeda.
Wira mengepalkan tangannya. Rasa marah dan terluka bercampur menjadi satu di dadanya. Tanpa mengatakan apa pun lagi, ia bangkit dari ranjang, lalu keluar dari kamar dengan langkah cepat.
Udara sore yang dingin menyambutnya saat ia berjalan menuju halaman belakang mansion. Ia menarik napas panjang, mencoba meredam emosi yang menggelegak dalam dadanya. Namun, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu yang tak terduga.
Di kejauhan, di bawah pohon rindang Chaca berdiri dengan beberapa maid lainnya. Gadis itu sedang menyapu halaman, tetapi bukan itu yang menarik perhatiannya. Wira melihat Chaca tertawa lepas, senyumnya begitu cerah dan natural. Wajahnya bersinar di bawah sinar matahari sore, matanya berbinar saat berbicara dengan rekan-rekannya.
Wira terpaku. Dadanya yang semula terasa sesak kini digantikan oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih hangat, lebih menenangkan. Tanpa sadar, bibirnya mengulas senyum tipis.
Ia berdiri di tempatnya, memperhatikan Chaca dari jauh. Gadis itu tampak begitu sederhana, tanpa riasan mahal, tanpa perhiasan mencolok, namun pesonanya begitu nyata. Tidak ada kepura-puraan dalam caranya tersenyum atau tertawa. Ia benar-benar menikmati kebersamaan dengan orang-orang di sekitarnya.
"Kenapa kamu bisa tersenyum seperti itu, Chaca?" gumam Wira pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Sejenak, Wira merasakan ketenangan yang tak bisa ia dapatkan dari Adelia. Ada sesuatu dalam diri Chaca yang membuatnya nyaman. Bukan hanya karena gadis itu selalu menyiapkan segala kebutuhannya dengan sempurna, tetapi karena keberadaannya membawa kedamaian.
Namun, di balik ketenangan itu, ada juga rasa sakit. Wira tahu betul batasannya. Ia tahu perasaannya kepada Chaca tak boleh berkembang lebih jauh. Gadis itu bukan miliknya, dan ia masih terikat dalam pernikahan yang masih sah di mata hukum dan keluarga.
Tanpa sadar, Chaca menoleh ke arahnya. Tatapan mereka bertemu sejenak. Wira melihat mata Chaca sedikit membesar, seolah terkejut mengetahui dirinya diperhatikan. Gadis itu langsung menunduk, lalu kembali fokus pada pekerjaannya.
Wira menghela napas, lalu melangkah menjauh. Ia tahu, semakin lama ia menatap Chaca, semakin sulit baginya untuk mengabaikan perasaannya. Dan semakin sulit pula baginya untuk tetap berbohong pada dirinya sendiri.
Namun, satu hal yang pasti—untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hatinya merasa hidup kembali. Dan itu semua karena Chaca.
“Haruskah aku membuktikan sendiri, bahwasanya aku tidak mandul?” gumam Wira sendiri, terbesit selintas ide yang melanggar norma agama.
Bersambung ... ✍️
selamat dn semangat dok Wira tuk menuju SAMAWA bersama ChaCha dn Aqila....
pak Brawijaya tidak tinggal diam
alih-alih berhasil aksi licik mereka bertiga, pastinya malah semakin malu nantinya
jadinya toh adel bgitu juga karena tekanan dr ortunya supaya bs jd perayu ulung buat manfaatin hartanya wira