Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 PERTEMUAN DENGAN LUNA.
“Cintia,” akhirnya Luna berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Aku... aku tahu aku pernah bersikap nggak baik sama kamu dulu. Aku nggak tahu harus mulai dari mana, tapi aku cuma mau bilang...”
“Hentikan.” Cintia memotongnya dengan tegas. Ia melipat tangannya di dada, wajahnya dingin. “Jangan berpura-pura, Luna. Kita berdua tahu siapa kamu dulu. Kamu bukan cuma ‘nggak baik’ sama aku. Kamu menganggap aku sampah. Kamu dan geng kecilmu menghancurkan setiap momen yang aku punya di sekolah.”
Luna menunduk, menahan napas sejenak sebelum akhirnya mengangkat kepalanya lagi. “Aku tahu. Aku tahu aku salah, Cintia. Dan aku benar-benar menyesal. Aku cuma... aku cuma berharap aku bisa memperbaiki semuanya.”
Cintia mendengus sambil melangkah mundur. “Oh, jadi sekarang kamu menyesal? Setelah semua yang kamu lakukan? Setelah bertahun-tahun aku hidup dengan rasa benci yang kamu tanamkan? Kamu pikir cuma dengan bilang ‘maaf’, semuanya selesai begitu saja?”
Luna terdiam, wajahnya berubah muram. “Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menebus itu. Aku cuma ingin bilang... aku berubah, Cintia. Aku bukan orang yang sama seperti dulu.”
“Berubah?” Cintia memiringkan kepalanya, menatap Luna seolah-olah gadis itu baru saja mengatakan sesuatu yang konyol. “Berubah jadi apa? Jadi wanita sukses yang dipuja-puja semua orang? Aku tahu tentang kamu, Luna. Aku tahu semua hal tentang hidup ‘sempurna’ kamu sekarang.”
Wajah Luna memucat. “Apa maksudmu?”
Cintia tersenyum sinis, lalu mendekatkan diri pada Luna. “Aku tahu kamu sekarang tinggal di kota besar, punya perusahaan, punya banyak pengikut di media sosial. Semua orang suka sama kamu. Tapi aku juga tahu sesuatu yang orang lain nggak tahu.”
Luna mengerutkan kening. “Apa yang kamu maksud?”
Cintia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menatap Luna lekat-lekat, menikmati momen saat gadis itu mulai terlihat cemas. Dalam hati, ia merasa puas. Tapi di sisi lain, ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa berat—konflik batin yang ia coba abaikan.
“Aku tahu rahasia kecil kamu, Luna,” kata Cintia akhirnya, suaranya rendah namun penuh ancaman. “Foto-foto itu. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan.”
Luna tampak terkejut. “Foto? Kamu ngomong apa, Cintia?”
Cintia tidak menjelaskan lebih lanjut. Ia hanya tersenyum, senyum yang membuat Luna semakin gelisah.
“Aku nggak tahu apa yang kamu rencanakan,” kata Luna akhirnya, suaranya sedikit gemetar. “Tapi kalau ini tentang masa lalu kita... aku benar-benar minta maaf. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku melukai kamu. Aku harap kamu bisa memberi aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”
“Kesempatan?” Cintia tertawa dingin. “Kamu pikir aku akan memberi kamu kesempatan? Setelah semua yang kamu lakukan? Kamu salah besar, Luna. Kamu nggak pantas dapat kesempatan.”
Luna menghela napas, terlihat putus asa. “Aku nggak tahu harus bilang apa lagi, Cintia. Aku tahu permintaan maafku nggak cukup, tapi aku benar-benar tulus. Aku tahu aku nggak bisa mengubah masa lalu, tapi aku cuma ingin kamu tahu... aku menyesal.”
Kata-kata itu, meskipun terdengar tulus, hanya membuat hati Cintia semakin sakit. Ia ingin percaya bahwa Luna benar-benar berubah, tetapi bagian lain dari dirinya tidak bisa melupakan semua luka yang pernah diberikan gadis itu padanya.
“Aku nggak butuh penyesalan kamu,” kata Cintia akhirnya. “Penyesalan kamu nggak akan mengubah apa pun.”
Luna menatap Cintia dengan mata yang penuh kesedihan. “Kalau begitu, apa yang kamu mau, Cintia? Apa yang harus aku lakukan supaya kamu bisa memaafkan aku?”
Cintia tidak menjawab. Sebaliknya, ia berjalan menjauh, meninggalkan Luna yang berdiri terpaku di tempatnya.
---
Di rumahnya malam itu, Cintia duduk di depan meja kecil dengan foto-foto Luna yang ia temukan beberapa waktu lalu tersebar di depannya. Foto-foto itu menunjukkan sisi lain dari Luna—sisi yang selama ini gadis itu sembunyikan dari dunia.
Cintia menatap foto-foto itu dengan perasaan campur aduk. Bagian dari dirinya ingin segera mempublikasikan foto-foto itu, menghancurkan reputasi Luna dan membuatnya merasakan rasa malu yang sama seperti yang pernah ia rasakan dulu.
Tapi bagian lain dari dirinya ragu. Apakah ini benar-benar yang ia inginkan? Apakah menghancurkan Luna akan membuatnya merasa lebih baik?
Pikiran tentang Araf melintas di benaknya. Kata-kata Araf yang penuh perhatian, senyum hangatnya, dan usahanya untuk membuat Cintia merasa lebih baik. Cintia tahu bahwa Araf tidak akan setuju dengan apa yang ia rencanakan. Tapi ia juga tahu bahwa Araf tidak mengerti bagaimana rasanya dihancurkan oleh seseorang seperti Luna.
Dengan tangan gemetar, Cintia mengambil salah satu foto itu dan menatapnya dengan saksama. Di foto itu, Luna terlihat jauh dari sosok wanita sukses yang ia kenal sekarang. Luna terlihat rapuh, terluka, dan penuh kesedihan.
“Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, Luna?” bisik Cintia pada dirinya sendiri.
---
Keesokan harinya, Cintia kembali bertemu dengan Luna. Kali ini mereka bertemu di sebuah kafe kecil di Tamansari, tempat Luna mengundangnya untuk berbicara lebih lanjut.
“Terima kasih sudah mau datang,” kata Luna ketika Cintia duduk di hadapannya.
“Aku nggak datang untuk mendengar ceramah permintaan maaf kamu,” balas Cintia dingin.
Luna tersenyum kecil. “Aku tahu. Aku cuma ingin bicara. Aku ingin menjelaskan sesuatu.”
Cintia menatap Luna dengan penuh kecurigaan. “Apa yang mau kamu jelaskan?”
Luna menghela napas. “Aku tahu aku kelihatan seperti orang yang sempurna sekarang. Tapi hidupku jauh dari sempurna, Cintia. Aku juga punya luka dan kesalahan yang harus aku tanggung.”
Cintia hampir tertawa mendengar itu. “Oh, jadi sekarang kamu mau bilang kamu juga korban?”
“Bukan itu maksudku,” Luna menjawab cepat. “Aku cuma mau bilang... aku tahu aku salah. Aku tahu aku menyakiti kamu, dan aku nggak akan pernah bisa menghapus itu. Tapi aku juga ingin kamu tahu bahwa aku bukan orang yang kamu pikirkan.”
Cintia menatap Luna dengan penuh keraguan. Ia tidak tahu apakah ia harus percaya pada gadis itu atau tidak.
“Cintia,” kata Luna akhirnya. “Aku nggak tahu apa yang kamu rencanakan, tapi aku harap apa pun itu, kamu nggak akan melakukan sesuatu yang akan kamu sesali nanti.”
Kalimat itu membuat Cintia terdiam. Ia ingin membalas, tetapi tidak ada kata yang keluar dari mulutnya.
“Aku cuma ingin kita berdamai,” lanjut Luna. “Aku tahu itu mungkin sulit untuk kamu, tapi aku harap kamu bisa memaafkan aku suatu hari nanti.”
tetel semangat ya Cintia
jadi Mak yg merasa takut tauuu
ambil hikmah dari kejadian dlu. it yg membuat km bertahan smpe skg
sebenarnya Cintia mimpi mu adakah gambaran yg terjadi kelak,rasa luka yg membawa dendam dan rasa dendam yg akan membawa celaka
apa sakit thor
mampir juga ya di cerita aku