Pernikahannya dengan Serka Dilmar Prasetya baru saja seminggu yang lalu digelar. Namun, sikap suaminya justru terasa dingin.
Vanya menduga, semua hanya karena Satgas. Kali ini suaminya harus menjalankan Satgas ke wilayah perbatasan Papua dan Timor Leste, setelah beberapa bulan yang lalu ia baru saja kembali dari Kongo.
"Van, apakah kamu tidak tahu kalau suami kamu rela menerima Satgas kembali hanya demi seorang mantan kekasih?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Mengobati Dilmar
Vanya sudah berada di rumahnya kembali. Dia buru-buru menuju kamar dan berpura-pura tidur. Jantungnya sejak kepulangan dari rumah mertuanya secara diam-diam, tidak berhenti berdetak lebih cepat.
Perasaan benci terhadap Dilmar saat ini berubah menjadi iba. Sejahat-jahatnya Dilmar pernah menduakan cintanya, akan tetapi ketika melihat Dilmar ditinju dan di tampar mukanya beberapa kali sampai berdarah oleh papa mertuanya, hati siapa yang tidak terenyuh? Vanya merasa ngeri, Vanya merasa khawatir dengan keadaan Dilmar. Bagaimana perut atau wajah dan gigi Dilmar. Vanya takut Dilmar kenapa-kenapa.
Terbayang jika gigi Dilmar tanggal karena tamparan keras sang papa mertua tadi, betapa malunya nanti saat Dilmar pergi ke kantor. Dilmar masih muda, tidak akan terlihat bagus kalau giginya saja sudah ompong.
"Ya Allah, kenapa harus seperti ini akhirnya? Sepertinya Kak Deby yang telah menceritakan semua pada Papa Harun. Lalu, aku harus bagaimana selain pura-pura tidak tahu kalau Bang Dilmar menerima amukan Papa Harun?" gumam Vanya dilanda bingung.
Sebelum kejadian amukan sang papa mertua terjadi, awalnya Vanya egois, ingin memutuskan pergi meninggalkan Dilmar. Biarkan saja dia dianggap istri yang tidak berguna agar Dilmar bisa dengan mudah menceraikannya. Namun, dalam keadaan Dilmar seperti ini, tegakah dirinya pergi dan meninggalkan Dilmar? Sementara sejak dulu, cintanya kepada Dilmar begitu tulus?
"Aku harus bagaimana? Dalam keadaan begini, pantaskah aku pergi dan membiarkan Bang Dilmar kesakitan? Tapi, bukankah aku ingin mempermudah perceraian dengan Bang Dilmar? Atau aku gunakan saja kesempatan ini untuk pergi dan meninggalkan Bang Dilmar, biar dia tahu rasa?" Vanya menjadi sangat bingung memutuskan mana yang lebih baik dia ambil.
"Ting."
Bunyi notifikasi WA di Hp Vanya berbunyi. Vanya segera membuka pesan WA dan melihat siapa yang mengirimkan pesan. Ternyata Deby, kakak iparnya.
"Van, papa tadi menyuruh Dilmar ke rumah. Kakak terpaksa memberitahukan papa atas foto-foto dan kelakuan Dilmar saat di Papua. Kakak memberitahu papa, supaya Dilmar mendapat pelajaran dari papa agar Dilmar jera. Kakak tahu mungkin cara ini salah, karena kakak sudah tahu resikonya akan seperti apa jika masalah Dilmar saat di Papua sampai ke telinga papa. Kata mama, Dilmar babak belur dan berdarah-darah karena dibogem papa. Kakak mohon rawat dia, ya. Walaupun hati kamu masih sakit atas perlakuan Dilmar, kakak minta tolong rawat dia. Kakak sebenarnya sayang sama dia, karena dia adik satu-satunya kakak." 🙏
Vanya sudah membaca pesan WA dari Deby. Pertanyaan maupun kebingungannya tadi mau memutuskan apa, akhirnya terjawab. Mungkin inilah saatnya Vanya tunjukkan baktinya pada Dilmar, mengurus dia yang sakit karena dibogem sang papa mertua. Vanya akan lihat, apakah setelah Dilmar dirawat olehnya dengan penuh rasa tulus, Dilmar masih mengkhianatinya? Maka, jangan salahkan jika dia saat itu menyerah.
"Baiklah, kali ini aku akan merawat Bang Dilmar dengan sebaik-baiknya. Semoga saja ketulusanku, dibalas dengan kebaikan juga olehnya. Aku ingin tahu setelah sembuh, apakah Bang Dilmar akan menunjukkan perasaan cinta yang tulus padaku atau tidak?" gumam Vanya menimbang-nimbang.
Deru motor GL milik Dilmar terdengar di depan rumah. Vanya merapikan tubuhnya di atas ranjang dengan selimut dan berpura-pura tidur.
"Brugggghhhh."
"Brakkkk."
Suara tubuh membentur pintu dan suara benda seperti helm jatuh, terdengar dari dalam kamar, Vanya terperanjat dan berpikir pasti itu suara Dilmar. Jantungnya semakin berdegup kencang. Vanya bangkit lalu menduduki ranjang dengan kaki menjuntai. Vanya kembali bingung harus berbuat apa, dibiarkan dulu sampai menunggu Dilmar meminta bantuannya atau disamperin saja?
"Lebih baik ditunggu saja, siapa tahu Bang Dilmar memangil," pikirnya sembari menunggu reaksi Dilmar selanjutnya.
Semenit dua menit sampai lima menit, Dilmar tidak ada memanggil. Vanya jadi gelisah dan khawatir. Akhirnya Vanya memutuskan keluar kamar dan melihat kondisi Dilmar yang sebenarnya seperti apa.
Vanya keluar dari kamar lalu berjalan mengendap menuju ruang tamu. Setelah tiba di sana, Vanya seketika melongo melihat kondisi Dilmar yang sungguh memprihatinkan. Wajah Dilmar bengap dengan darah kental di sudut bibir.
Seketika rasa prihatin itu memenuhi dadanya. Bagaimana bisa dia meninggalkan Dilmar dalam kondisi seperti ini? Hatinya meringis dan merasa iba, Dilmar yang sangat dicintai sekaligus dibenci saat ini sedang membutuhkan bantuannya.
"Bang Dilmar, Abang. Abang kenapa?" Vanya meraih kepala Dilmar yang tersungkur di lantai. Lalu ia mengangkat dan membalikkan tubuh Dilmar agar menghadap ke atas. Setelah terangkat, kepala Dilmar ia letak di pahanya.
"Shhhhhh."
Desis kesakitan terdengar dari bibir Dilmar, wajahnya meringis menahan sakit. Mata Dilmar memejam saking menahan rasa sakit dan perihnya di sekujur wajah.
Melihat Dilmar seperti itu, hati Vanya ikut terenyuh. Ia bertekad akan mengobati Dilmar dengan sungguh-sungguh, terlebih kali ini Dilmar seakan tidak berdaya, lalu kalau dia tidak peduli, dengan siapa Dilmar akan meminta bantuan, kecuali di rumah ini ada jasa ART. Meskipun ada jasa ART, tidak lucu rasanya disaat suami sakit, ia tega meninggalkannya. Karena Vanya masih punya hati nurani.
"Abang, kita ke ruang tengah. Biar tubuh Abang Vanya angkat. Abang masih bisa jalan, kan?" tanya Vanya sembari mengusap wajah Dilmar perlahan.
Dilmar tidak menjawab, ia hanya memperlihatkan rasa sakit sejak tadi dan meringis.
"Awwhhhh," raungnya memegangi perut. Mata Vanya mengikuti tangan Dilmar yang memegangi perut, Vanya berpikir jangan-jangan perut Dilmar kenapa-kenapa. Sungguh papanya Dilmar terlalu jika perut Dilmar sampai bocor atau terjadi hal fatal lainnya, begitu pikiran Vanya.
"Sakit, wajahku, shshshhhh," ucapnya berdesis saking sakitnya.
Vanya segera berupaya mengangkat tubuh Dilmar yang berat. Untungnya Dilmar masih bisa berjalan, hanya saja tangannya sejak tadi memegangi perutnya yang terlihat sakit.
Perlahan Dilmar dibawa berjalan menuju ruang tengah yang sudah terpasang karpet berbulu tebal. Vanya membawa tubuh Dilmar turun, kemudian dia baringkan perlahan dengan kepala bertumpu bantal.
"Abang tunggu di sini, Vanya akan ambilkan kompres dan alat-alat P3K untuk mengobati luka Abang," ujar Vanya. Dilmar tidak menjawab. Yang dia rasakan hanyalah rasa sakit dan perih di wajah dan perutnya.
"Akhhhhh, aduhhh." Dilmar meringis-ringis saat wajahnya terkena gesekan tangannya kirinya.
Vanya sudah tida di ruang tengah dengan perlengkapan P3K dan baskom berisi air hangat serta handuk kecil untuk mengompres.
Perlahan Vanya mulai membersihkan luka di wajah Dilmar, meskipun Dilmar berteriak-teriak kesakitan. Tapi Vanya harus lakukan, sebab kalau tidak, wajah Dilmar akan membengkak lama jika tidak dibersihkan dan diberi obat dengan segera.
Akhirnya wajah Dilmar sudah selesai dibersihkan, lalu Vanya mengoleskan salep pereda nyeri di wajah Dilmar yang fungsinya mendinginkan atau menenangkan kondisi wajah Dilmar yang menegang akibat tamparan keras sang papa mertua.
"Semoga kejadian yang menimpa Abang ini, bisa membuat Abang sadar dan kembali kepada pemilik hati yang sebenarnya," batin Vanya berdoa.
nyesel atau marah sama Vanya....
lha gmn tidak ..ms Vanya masih kepikiran takut kalau gigi Dilmar ompong ...😁
𝗅𝖺𝗇𝗃𝗎𝗍 𝗒𝖺 𝗄𝖺