"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Bri merapikan tamannya pagi itu, dengan mengunting beberapa daun yang telah kuning serta menyirami semua bunga dan rumput yang tumbuh dengan sehat di pekarangan depan. Setelah mengurus taman kecilnya dia kembali masuk ke dalam dan membawa beberapa kantong plastik hitam keluar rumah untuk dibuang.
Ketika sampai di depan ia melihat bahwa sang tetangga belum mengembalikan benda itu kembali ke tempatnya, tong sampahnya masih berada di areanya. Bri bergegas meninggalkan sampah miliknya di depan pagarnya dan berjalan menuju rumah tetangganya itu.
Ketika hendak memencet bel tangannya terhenti dan melihat pria itu keluar dari rumahnya dengan penampilan yang sudah rapi sambil menenteng tas di pundaknya.
"Permisi," ucap Bri sambil mengintip dari balik pagar.
Pria itu berbalik ke arahnya dan menatapnya lekat-lekat, matanya melotot tampak kaget namun tidak begitu yakin dengan apa yang dilihatnya. Dia meninggalkan tasnya di motor dan menghampiri wanita itu. Bri menatap pria itu lama, dengan kening berkerut dia seperti sedang mengingat sesuatu. Gadis itu, seseorang yang amat dikenalnya—Briana Lestari.
"Bri?" tanya Raga yang tampak tidak yakin.
Gadit itu tampak sama dari yang terakhir kali dia ingat. Jelas lebih tinggi dari sepuluh tahun yang lalu. Rambut panjangnya tetap sama, hitam memukau dan panjang hampir menyentuh pinggangnya, bagian ujungnya agak mengikal. Rambut itu berkibar diterpa semilir angin yang menerpa wajahnya yang putih dengan sedikit semburat merah jambu yang tercetak dipipinya. Wajahnya masih sama menunjukkan ekspresi tangguh namun tetap cantik mempesona. Ya, dia akui wanita itu tetap sama namun kini semakin cantik. Napas Raga tercekat ketika mendengar suara itu lagi, suara yang dulu selalu ia dengar dan membuatnya kesal.
Bri terkejut mendengar namanya disebut, ternyata benar apa yang ada dipikirannya, "Ternyata kau. Si pria brengsek itu." Raga tertawa sinis menatapnya.
"Seingatku tidak ada nama brengsek di akta lahirku. Atau kau mungkin sudah tidak ingat lagi namaku. Oh, aku jadi sedih," ucapnya diiringi dengan nada mengejek.
"Wah. Aku pikir kau sudah pindah. Sayang sekali aku harus melihatmu lagi di sini," balas Bri tak mau kalah.
Raga bersandar pada pagar yang kini sudah terbuka lebar, "Jika kau senang telah melihatku katakan saja, jangan sungkan." Pria itu memandangi Bri dari atas hingga ke bawah hanya untuk memastikan dia adalah orang yang sama dengan anak perempuan dulu yang pernah dikenalnya.
Bri mendengus pelan dan menatap Raga jijik, "Kau masih brengsek seperti dulu ya. Katanya seseorang semakin tua semakin dewasa dan bijak tapi kurasa itu berlaku untukmu."
"Tentu saja. Aku makin tua makin mempesona itu yang tepat," ucap Raga dengan tingkat percaya diri yang tidak bisa dimengerti oleh Bri.
"Jika aku tau kau yang menempati rumah itu pasti aku akan membuatkan pesta penyambutan yang meriah." Bri sudah akan mencolok matanya ketika seekor kucing tiba-tiba mengeong di kakinya. Dia yang kaget langsung mengusir kucing tersebut.
Raga yang melihat hal itu panik dan langsung menggendong Biu. "Hati-hati dengan tanganmu. Jangan pernah menyentuhnya," ucapnya sambil mengelus Biu yang bergelung manja.
"Tenang saja aku tidak tertarik mahluk berbulu itu." Bri hendak pergi meninggalkan pria itu kemudian teringat dengan tujuan awalnya.
Dia berbalik sambil menunjuk pria itu dengan arogan, "Aku tidak tau kau sengaja atau tidak. Tapi jika nanti sore aku melihat tong sampahmu masih ditempat yang sama, aku berjanji akan membuatmu menyesal." Bri melemparkan tatapan tajam sebelum memutuskan untuk pergi dari hadapan pria itu.
Sementara Raga yang tersenyum menganggap hal itu sangat lucu dan menggelikan, dia merasa seperti kembali ke masa dulu.
"Kau tau, sepertinya hari-hari kita akan lebih seru mulai hari ini," bisiknya pada Biu yang menatapnya seolah mengerti apa yang dibicarakan oleh sang majikan.
***
Siang itu Bri menikmati makanannya di sebuah restoran padang favoritnya bersama dua rekan kerjanya yang lain, dia mesan seporsi nasi lengkap dengan ayam bakar, gulai sayur nangka, perkedel kentang dan sedikit sambal cabai hijau.
Dia makan dengan lahap karena pagi tadi dia tidak sempat sarapan dan hanya minum teh hangat di kantornya. Bri merasa harinya dia jalani dengan terburu-buru, dia kewalahan karena biasanya tidak seperti itu. Dia memikirkan kembali kejadian tadi pagi dan setuju kalau memang itu semua karena ulah tetangganya.
Raga sudah tumbuh menjadi sosok pria dewasa. Perawakannya tegas dengan tubuh yang tidak bisa dibilang kurus namun tidak juga sangat atletis, mungkin semua pas pada tempatnya menurut Bri. Rambutnya hitam bergelombang dengan potongan yang tidak pendenk ataupun terlalu panjang. Wajahnya masih sama, ada senyuman nakal di sana dan kerlingan mata jahilnya, Raga masij tetap tampan—tidak ada yang berubah kecuali garis wajahnya menjadi lebij tegas, dulu sewakru sekolah memang pria itu menjadi salah satu incaran teman-temannya ataupun kakak kelas, tapi jelas Bri tidak mengerti alasannya. Suara pria itu jauh lebih berat daripada yang dia ingat. Bri teringat waktu oertama kali mendengatlr pria itu menyebutkan namanya tadi, dia langsung bergidik mendengar suara berat itu. Setelah beberapa tajun berlalu dia tidak menyangka akan bertemu lagi dengannya.
***
Malam tiba dengan sangat cepat, Raga telah sampai di rumah dan kini sedang bermain-main dengan kucing kesayangannya di teras depan.
Didengarnya suara mobil yang barusan tiba, dia masih sibuk bermain dengan Biu kemudian terdengar lagi suara pagar dibuka.
Bri turun dari mobilnya dengan menenteng tasnya dan sebuah map plastik.
"Aku penasaran kenapa kau mengganti warna pintumu? Apa ada sesuatu dengan warna merah? Kurasa itu terlalu mencolok," ucap Raga yang tiba-tiba muncul dari balik tembok pembatas rumah yang hanya setinggi pinggangnya.
"Itu bukan urusanmu," seru Bri dengan kesal melihat kehadiran pria yang tidak diharapkannya.
"Tapi itu mengganggu, tiap kali aku keluar warna itu menyita seluruh perhatianku." Raga menyilangkan tangannya keatas tembok tersebut dan bersender dengan malas.
"Kau sengaja memancing emosiku ya?" tanya Bri mulai emosi.
"Apakah berhasil?" Raga tampak menikmati pertengkaran kecil mereka.
"Aku benar-benar ingin membunuhnya," ucap Bri pada dirinya sendiri.
"Apa? Kau bilang aku tampan? Wah! Terima kasih, akhirnya kau mengakuinya juga. Aku sudah menunggu dari dulu sekali. Kau terlalu gengsi untuk mengatakannya," ucap Raga sembari mengamati perubahan ekspresi dari wajah Bri yang menyenangkan dipikirannya.
"Dasar gila!"
"Sampai jumpa lagi tetangga," ucap Raga sambil melemparkan kedipan nakal pada Bri yang sudah muak dan memutuskan untuk bergegas masuk ke dalam rumahnya meninggalkan arena pertikaian itu.
Bri masuk ke rumah sambil menghentakkan kaki dengan kesal. Dia tidak menyangka bahwa hidupnya yang kini dirasanya sudah tenang bisa berubah menjadi penuh keributan akbita bertemu dengan musuh lamanya itu.
Bhagawanta Raga, nama yang akan selalu diingatnya bukan karena kenangan baik yang ia miliki tentangnya namun pria itu yang memberikannya mimpi buruk semasa dia kecil dulu.