Skaya merupakan siswi kelas XII yang di kenal sebagai siswi berprestasi, cantik, dan ramah. Banyak lelaki yang menyukai Skaya, tetapi hatinya justru terpesona oleh seseorang yang tidak pernah meliriknya sama sekali, lelaki dingin yang terkenal sebagai anggota geng motor yang disengani di kota nya.
Darren bukan tipe yang mudah didekat. Ia selalu bersikap dingin, bicara seperlunya, dan tidak tertarik oleh gosip yang ada di sekitarnya. Namun Skaya tidak peduli dengan itu malah yang ada ia selalu terpesona melihat Darren.
Suatu hari tanpa sengaja Skaya mengetahui rahasia Darren, ternyata semuanya tentang masalalu yang terjadi di kehidupan Darren, masalalu yang begitu menyakitkan dan di penuhi oleh janji yang tidak akan ia ingkar sampai kapanpun. Skaya sadar waktu begitu singkat untuk mendekati Darren.
Ditengah fikiran itu, Skaya berusaha mendekati Darren dengan caranya sendiri. Apakah usahanya akan berhasil? Ataukah waktu yang terbatas di sekolah akan membuat cinta itu hanya menjadi kisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azra amalina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka Lama yang Belum Sembuh
Meskipun masalah Skaya telah selesai, ada satu hal yang masih menggantung di udara. Darren dan dendamnya. Setelah kejadian dengan Vano dan Reno, Darren mulai menjauh. Dia tidak lagi muncul di markas seperti biasa, dan bahkan saat Skaya mencoba menghubunginya, pesan-pesannya tidak pernah dibalas.
Hingga suatu malam, Skaya akhirnya menemukannya di sebuah tempat yang tidak asing - kuburan Rama. Darren duduk diam di depan makam saudara kembarnya, tangannya mengepal.
Skaya melangkah mendekat, suara langkah kakinya terdengar di antara keheningan malam. "Darren," panggilnya pelan.
Darren tidak langsung merespons. Hanya setelah beberapa saat, dia menghela napas dalam dan berkata, "Gue masih belum selesai."
Dendam yang Belum Tuntas
Skaya duduk di sampingnya, melihat nama Rama Pratama yang terukir di batu nisan. "Lo udah dapet petunjuk tentang siapa yang nge bunuh Rama?" tanya Skaya hati-hati.
Darren terdiam lama sebelum akhirnya menjawab, "Belum. Tapi gue tahu, orang itu masih di luar sana." Matanya penuh dengan amarah yang belum padam.
"Lo enggak takut kalau lo terus nyari jawaban, lo bakal terluka?" tanya Skaya.
Darren tertawa kecil, tapi itu bukan tawa bahagia. "Gue lebih takut kalau gue berhenti dan enggak pernah tahu siapa yang sebenernya membunuh dia."
Hati Skaya mencelos. Dia mengerti perasaan Daren, karena dia pernah berada di posisi yang sama. Tapi dia juga tahu, kadang mencari kebenaran berarti siap kehilangan segalanya.
Jalan yang Harus Ditempuh
Skaya menatap Darren lama. Ada bagian dalam dirinya yang ingin menghentikannya, ingin mengatakan bahwa dia harus melepaskan masa lalu. Tapi dia tidak bisa. Karena dia tahu, beberapa luka tidak akan sembuh sebelum kebenaran terungkap.
Jadi, alih-alih mencegah, dia hanya berkata, "Kalau lo butuh bantuan, gue di sini."
Darren menoleh, ekspresinya sedikit melunak. "Ini bukan pertarungan lo, Skaya."
Skaya tersenyum tipis. "Gue yang akan nentuin itu."
Langkah Pertama ke Arah Kebenaran
Beberapa hari setelah percakapan mereka di kuburan Rama, Darren mulai bergerak. Dia kembali menyelidiki orang-orang yang terlibat dalam kejadian malam itu, siapa saja yang ada di lokasi, siapa yang mungkin menyimpan rahasia, dan siapa yang sebenarnya menarik pelatuk yang merenggut nyawa saudara kembarnya. Dan saat dia menggali lebih dalam... Dia menemukan sesuatu yang tidak dia duga. Sebuah nama. Nama seseorang yang seharusnya sudah lama menghilang.
Jejak yang Tertinggal
Nama itu membakar di ingatan Darren seperti luka lama yang terbuka kembali. Orang itu seharusnya sudah lama hilang. Tapi sekarang, dia menemukan jejaknya.
Darren menggenggam selembar kertas dengan alamat yang dia dapatkan dari sumbernya. Sebuah tempat di pinggiran kota. Tidak banyak yang tahu siapa pemiliknya, tapi dari yang dia dengar, tempat itu sering dijadikan persembunyian bagi orang-orang yang ingin menghilang dari dunia luar.
Dan mungkin, itu tempat jawaban yang dia cari selama ini. Tanpa ragu, dia mengambil helmnya dan melaju ke sana.
Wajah dari Masa Lalu
Malam itu, Darren berdiri di depan sebuah rumah kecil yang terlihat hampir terbengkalai. Udara dingin menusuk, tapi tubuhnya terasa panas oleh amarah yang mendidih di dalam dirinya.
Saat dia mengetuk pintu, tidak ada jawaban. Dia mengetuk lagi, lebih keras dari sebelumnya. Sampai akhirnya, pintu itu terbuka sedikit. Dan di baliknya, seorang pria muncul. Seseorang yang seharusnya sudah lama mati. Jantung Darren hampir berhenti.
Dia mengenali wajah itu, sama seperti malam itu, saat Rama tewas.
"Kau... masih hidup?" suara Darren hampir bergetar.
Pria itu menatapnya lama, sebelum akhirnya menghela napas. "Sepertinya sudah waktunya kau tahu yang sebenarnya."
--------
Kebenaran yang Pahit
Darren mengepalkan tangannya, tubuhnya tegang seperti kawat yang siap putus kapan saja. Pria itu, yang seharusnya sudah mati, hanya berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi lelah.
"Masuk," katanya akhirnya.
Darren tidak langsung menurut. Ada bagian dalam dirinya yang ingin menghajar pria itu di tempat, menuntut jawaban dengan kekerasan. Tapi di sisi lain, dia tahu, ini kesempatan untuk mendapatkan kebenaran. Jadi, dengan napas panjang, dia masuk ke dalam rumah itu.
-------
Siapa yang Menghianati?
Di dalam ruangan yang remang-remang, pria itu duduk di kursi tua, sementara Darren berdiri, menunggu.
"Lo tahu kenapa gue nyari lo?" suara Darren tajam.
Pria itu menatapnya, lalu mengangguk. "Karena lo pikir gue yang bunuh saudara kembar lo."
Darah Darren mendidih. "Bukan cuma gue pikir, semua bukti nunjuk ke lo!"
Pria itu tersenyum tipis, tapi itu bukan senyuman bahagia. "Itu karena seseorang ingin lo percaya kalau gue pelakunya."
Darren mengernyit. "Apa maksud lo?"
Pria itu menarik napas panjang. "Pembunuh sebenarnya bukan gue. Tapi seseorang yang lebih dekat dari yang lo kira."
"Seseorang yang lo percaya."
"Seseorang dari geng lo sendiri."
Dunia Darren seakan berhenti berputar. Pengkhianatan ada di dalam lingkarannya sendiri.
------
Pengkhianat di Antara Kita
Darren merasakan dadanya sesak. Kata-kata pria itu terus berputar di kepalanya. "Seseorang dari geng lo sendiri." Tidak mungkin. Tidak mungkin ada orang di lingkarannya yang sanggup menghabisi Rama. Tapi jika benar.... Maka selama ini dia sudah percaya pada orang yang salah.
Darren mengepalkan tangannya. "Siapa? Siapa di antara mereka yang ngelakuin ini?"
Pria itu menggeleng. "Gue gak bisa ngasih tahu lo langsung."
Darren mendesis. "Kenapa?"
Pria itu menatapnya dengan mata tajam. "Karena lo harus nyari sendiri. Lo harus lihat dengan mata kepala lo sendiri, siapa yang sebenernya ada di belakang semua ini."
Darren merasakan kemarahan yang membara. Dia ingin memaksa pria itu bicara. Tapi di sisi lain... Pria itu benar. Jika memang ada pengkhianat, dia harus mencari tahu sendiri.
------
Mencari Petunjuk
Malam itu, Darren kembali ke markas gengnya dengan pikiran yang penuh. Dia mulai mengamati satu per satu temannya, memperhatikan bahasa tubuh, cara mereka berbicara, dan reaksi mereka saat dia membahas kematian Rama. Dan untuk pertama kalinya.... Dia mulai melihat sesuatu yang selama ini dia lewatkan. Ada seseorang yang selalu menghindari topik tentang kematian Rama.
Seseorang yang selalu menenangkan Darren, tapi tidak pernah membantu mencari pelakunya. Seseorang yang selama ini paling dia percaya. Dada Darren semakin berat. Apakah mungkin... Dia telah dikhianati oleh orang yang selama ini dia anggap saudara sendiri?
-------
Pengkhianatan yang Terungkap
Daren tidak mau menunggu lebih lama. Dengan langkah tegas, dia mendatangi seseorang yang selama ini paling dia percayai, seseorang yang ternyata mungkin menyimpan rahasia terbesar. Gio.
Saat itu, Gio sedang duduk di garasi markas, mengutak-atik motornya. Saat melihat Darren mendekat, dia tersenyum kecil. "Lo kenapa? Mukanya kayak mau nelen orang."
Darren tidak menjawab. Dia berhenti tepat di depan Gio, menatapnya tajam. "Lo ada di mana malam saat Rama dibunuh?"
Gio mengangkat alis, jelas tidak menyangka pertanyaan itu. "Lo serius nanya itu sekarang?"
"Jawab." Suara Darren terdengar lebih gelap.
Gio meletakkan kunci inggris yang ada di tangannya. "Gue udah pernah bilang, gue gak ada di TKP. Lo juga tahu itu."
"Benar?" Darren melangkah lebih dekat, suaranya tajam. "Kenapa lo gak pernah bantu gue nyari pembunuhnya? Kenapa lo selalu menghindari topik tentang Rama?"
Gio mendengus. "Karena gue capek, Darren! Lo terus-terusan nyari sesuatu yang gak akan bisa balikin Rama!"
"Atau karena lo takut gue bakal nemuin sesuatu yang bisa ngebalikin lo?"
Mata Gio menegang. Dan saat itu, Darren tahu dia benar. Gio menyembunyikan sesuatu.Atau lebih buruk lagi... Gio adalah orang yang selama ini dia cari.
-----
Pengakuan yang Menyakitkan
Darren melihat mata Gio berubah. Bukan marah. Bukan bingung. Tapi ketakutan. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk Darren menyadari kebenaran yang selama ini dia tolak mentah-mentah.
"Lo…" suara Darren bergetar, rahangnya mengeras. "Lo yang bunuh Rama?"
Gio tidak langsung menjawab. Napasnya berat, seperti sedang mencari alasan, atau keberanian. Akhirnya, dia menundukkan kepala, tidak menyangkal.
Darren merasakan dadanya sesak. Dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Saudara yang selama ini dia percaya.... Orang yang selalu ada di sisinya.... Adalah orang yang telah menghancurkan separuh jiwanya.
"Kenapa?" Itu satu-satunya kata yang bisa keluar dari mulut Darren.
Gio menatapnya, matanya dipenuhi rasa bersalah. "Itu… kecelakaan."
Darren tertawa kecil, tapi tawa itu penuh dengan kepedihan. "Kecelakaan?"
Gio mengangguk lemah. "Malam itu… gue ada di sana. Tapi gue gak ada niat buat bunuh Rama. Gue cuma.. " Dia menelan ludah, suaranya pecah. "Gue cuma pengen kasih pelajaran."
Jari-jari Darren mengepal begitu kuat sampai terasa sakit. "Pelajaran? Lo nge bunuh saudara gue cuma buat ngasih dia pelajaran?!"
Gio menggeleng. "Gue gak tahu dia bakal mati. Gue cuma... Gue cuma mau bikin dia takut. Tapi keadaan jadi di luar kendali. Gue gak bisa menghentikannya, Darren."
Mata Darren memerah. "Jadi lo diem aja? Lo biarin gue nyari pembunuhnya, sementara lo sendiri yang nge bunuh dia?"
Gio memejamkan mata. "Gue takut."
"TAKUT?" Suara Darren meledak, tangannya sudah siap menghantam wajah Gio. "LO GAK TAKUT PAS NGEHABISIN RAMA, TAPI LO TAKUT PAS GUE CARI KEBENARAN?"
Gio tidak melawan. Dia hanya duduk di sana, menerima semua amarah yang akhirnya meledak.
Air mata yang selama ini tertahan di mata Reksa akhirnya jatuh.
Dia telah berjuang mencari keadilan… hanya untuk menemukan bahwa pengkhianatan datang dari orang yang paling dia anggap saudara.