"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Good news?
Tari terbangun dari tidurnya ketika suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Tubuhnya masih terasa lemas, kepalanya terasa pusing, tapi ia tetap mencoba bangkit.
Tari memegangi kepalanya yang berdenyut karena tiba-tiba terbangun.
'Nenek sialan, pagi-pagi begini maunya apa sih' Pikirnya kesal.
Ketukan itu semakin keras. "Tari, Ibu masuk ya," suara Ibu Sely terdengar dari balik pintu sebelum akhirnya pintu kamar terbuka perlahan.
Tari mengerjap beberapa kali, melihat Ibu Sely berdiri di ambang pintu dengan wajah serius, tangannya memegang sesuatu. "Ibu?" suara Tari terdengar lemah.
Sely melangkah masuk, mendekat ke sisi kasur. "Tari, Ibu tahu kamu lagi nggak enak badan. Tapi kali ini Ibu ada firasat bagus, mungkin ini bukan cuma sakit biasa," ucapnya sambil menunjukkan benda di tangannya.
Tari memperhatikan benda itu dengan bingung. Sebuah alat test pack?
"Tari, Ibu mau kamu coba test, alat yang ibu bawa ini adalah yang terbaik"
Tari menggeleng lemah, mencoba menolak. Jantung nya sudah berdetak dengan keras saat ini, apalagi ia baru teringat bahwa ia belum menstruasi untuk bulan ini. "Bu, aku rasa nggak perlu. Paling aku cuma kecapean aja."
Namun, Sely tidak mengindahkan penolakannya. "Tari kan nggak ada salahnya mencoba? Ini cuma buat memastikan saja."
Tari membuka mulut untuk menjawab, tapi Ibu Sely memotongnya. "Ibu nggak mau dengar alasan lagi. Sekarang coba saja. Kalau nggak ada apa-apa, ya sudah. Tapi kalau ada... ini kabar baik untuk keluarga kita kan?"
Karena rasanya Tari tidak memiliki tenaga lagi untuk berdebat, akhirnya ia menyerah. Ia berpikir positif bahwa tak mungkin ia hamil, lagipula ia sedang sakit saat ini.
ia mengambil alat test pack dari tangan mertuanya. "Baik Bu," gumamnya.
'Sialan! orang lagi sakit juga'
"Bagus. Ayo, sekarang ke kamar mandi," Ibu Sely membantu Tari bangun dan mengantarnya berjalan menuju kamar mandi yang ada tepat di hadapan mereka.
Dengan langkah perlahan, Tari masuk ke kamar mandi dan menutup pintu. Di balik pintu, ia menggenggam alat itu dengan tangan gemetar. "Ya Tuhan, kenapa aku sial sekali sampai punya Ibu mertua seperti nenek ini" Gumamnya lirih
Beberapa menit kemudian, Tari melihat hasilnya. Dua garis merah muncul dengan jelas di alat itu. Napasnya sontak tercekat, tubuhnya terasa membeku.
Ketukan di pintu kamar mandi terdengar lagi, kali ini lebih cepat. "Tari, bagaimana hasilnya?" suara Ibu Sely terdengar tak sabar.
Tari tidak menjawab, masih terpaku menatap alat di tangannya. Tangannya terus bergetar memegangi testpack di tangannya.
"Tari, buka pintunya," Sebelum Tari sempat bereaksi, pintu kamar mandi di buka dengan keras.
Sely masuk, pandangannya langsung tertuju pada alat di tangan Tari. Ia mengambilnya dengan cepat. "Dua garis! Tari, kamu hamil!" serunya dengan penuh semangat.
Tari hanya bisa berdiri terpaku, wajahnya pucat. Namun Ibu Sely tidak menyadari ekspresi Tari yang penuh kecemasan.
"Ibu sudah bilang kan, ibu punya firasat yang bagus!... YUDHA!" katanya sambil berlari keluar kamar mandi, memanggil putranya dengan suara penuh antusias.
"Yudha! Yudha! Ke sini cepat!" seru Ibu Sely, meninggalkan Tari yang masih berdiri kaku di kamar mandi, dengan tangan gemetar dan mata yang mulai berair.
Tari hanya bisa diam, tubuhnya terasa lemas. Ia ingin berkata sesuatu, tapi tenggorokannya tercekat. Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang. Namun air mata itu bukanlah air mata kebahagiaan, melainkan ketakutan.
Langkah kaki Yudha terdengar mendekat. Pintu kamar terbuka, dan ia masuk dengan ekspresi bingung. "Ada apa, Bu? Kenapa teriak-teriak?" tanyanya sambil melangkah masuk.
Ibu Sely keluar dari kamar mandi sambil memberikan alat test pack itu ke tangan putra nya. "Tari hamil Yudha! Kau akan menjadi seorang ayah!"
Yudha terdiam. Matanya beralih dari ibunya ke Tari yang berdiri kaku di dalam kamar mandi. "Tari..." ia memanggil perlahan, perlahan masuk mendekati Tari. Wajahnya menunjukkan campuran keterkejutan dan kebahagiaan yang nyata. "Apa benar?"
Tari mengangguk pelan, meski air matanya mulai mengalir di pipinya. "Maaf... aku nggak tau harus bilang apa." Pikirannya kosong saat ini, otaknya masih memproses kejadian ini.
Yudha mendekat, perlahan merengkuh tubuh istrinya yang bergetar. "Tenang Tari, kita akan melewati ini berdua dan lagi Ini kabar yang sangat baik,"
Tari tidak merespon hanya menatap lurus ke depan.
Ibu Sely, yang masih berseri-seri, memotong keheningan. "Kabar ini harus segera di sebarkan ke keluarga kita! Ibu akan beritahu ayahmu, Yudha."
Namun, Tari tiba-tiba memegang tangan Yudha dengan erat, membuat pria itu menatapnya kembali. "Yudha, kita harus bicara," bisiknya, hampir tak terdengar oleh Ibu Sely yang terlalu sibuk merayakan berita itu.
Yudha mengangguk perlahan, menyadari tatapan dingin dalam mata Tari. "Oke, nanti kita bicara."
Sementara itu, Ibu Sely sudah mulai sibuk dengan ponselnya, menghubungi anggota keluarga untuk menyampaikan berita tersebut.
Tari merasa dunianya berputar semakin cepat, dan rasa sesak di dadanya semakin kuat. Semua ini terjadi terlalu cepat, dan ia tidak tahu bagaimana menghadapi semuanya. Terlebih, bayang-bayang Riana mulai melingkari pikirannya.
————
Yudha menutup pintu kamarnya perlahan, ia berjalan menuju Tari yang duduk di sofa termenung menatap keluar jendela.
"Hei" Panggil Yudha, ia menepuk pelan bahu Tari, menyadarkan wanita itu dari lamunannya.
Yudha berjalan ke depan dan duduk di lantai tepat di hadapan Tari.
"Aku sudah berpikir Yudha, soal kehamilan ini tidak mungkin lagi untuk menutupi nya dari Riana. Jadi aku sudah membuat rencana yang matang, setelah aku melahirkan anak ini. Kalian berdua lah yang akan menjadi orang tuanya, lal-"
"Kau sudah selesai bicara!" Yudha bicara dengan nada tinggi, penuh amarah. Menatap tajam pada Tari yang terkejut.
"Apa kau dengar apa yang kau katakan, bagaimana mungkin kau merencanakan hal seperti itu pada anak kita yang bahkan belum berusia satu bulan di perutmu,"
"Lalu apa yang harus kulakukan, apa aku harus menjadi istri keduamu selamanya, kau pikir Riana akan menerima nya dengan wajah bahagia" Nada tinggi Tari tidak kalah kerasnya dengan Yudha, jika menyangkut soal Riana, Tari tidak ingin kalah jika ia bisa.
Yudha mencengkram erat pergelangan kaki Tari yang sedang dipegangnya, Tari meringis karena nya.
"Sebelumnya aku nggak yakin, tapi sekarang aku tau kita punya perasaan yang sama. Entah kau setuju atau nggak, aku nggak akan pernah bercerai darimu. Kita akan membesarkan anak kita berdua, dengan kau sebagai ibunya" Ujar Yudha dengan wajah mengeras, tatapan nya tajam, seolah tidak ingin dibantah.
"Ya aku akui, aku memang punya perasaan padamu. Aku nggak akan mengelaknya lagi, tapi menjadi istri keduamu, suami dari sahabatku sendiri adalah persoalan lain. Jauhkan pemikiran mu itu, aku akan jelaskan pada Riana dengan baik," Tari menatap Yudha tak kalah tajamnya, ia sudah berpikir keras sejak tadi. Apa yang harus ia lakukan sekarang, dan ia sudah mendapatkan solusi paling aman yang bisa di ambilnya.
"Hei" Kali ini Yudha berkata dengan nada dan tatapan yang lembut. Berharap akan meluluhkan hati wanita ini.
"Apa kau sebegitu menyayangi Riana? Apa aku tidak berarti untukmu sama sekali?, sampai kau terus mengabaikan aku" Mata Yudha mulai digenangi oleh air mata.
"Aku pun sudah banyak berpikir, dan hasilnya tetap sama. Aku nggak ingin kehilanganmu Tari, ini bukan hanya soal karena kehamilanmu saja. Tolong lihatlah aku dan pilih lah aku sekali saja Tari" Yudha berkata dengan lirih, bulir air mata mulai turun membasahi pipinya.
Tari hanya terdiam dengan ekspresi sendu melihat Yudha saat ini, ia tidak mengerti apa yang menyebabkan pria ini begitu tidak ingin kehilangan dirinya. Bukankah sebelum ada Tari, Yudha sangat mencintai Riana. Pasangan suami istri ini saling mencintai bukan?
Waktu yang ia habiskan bersama Yudha, tidak sebanding dengan kebersamaan pria itu dengan Riana. Apa Yudha tidak memikirkan perasaan Riana saat ia memohon padanya seperti ini.