Akan selalu ada cahaya selepas kegelapan menyapa. Duka memang sudah menjadi kawan akrab manusia. Tak usah terlalu berfokus pada gelapnya, cukup lihat secercah cahaya yang bersinar di depan netra.
Hidup tak selalu mudah, tidak juga selamanya susah. Keduanya hadir secara bergantian, berputar, dan akan berhenti saat takdir memerintahkan.
Percayalah, selepas gulita datang akan ada setitik harapan dan sumber penerangan. Allah sudah menjanjikan, bersama kesulitan ada kemudahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps. 23
...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...
..."Menjadi wanita yang tegar tidaklah gampang, tapi juga bukan suatu ketidakmungkinan."...
...—🖤—...
PARA tamu undangan dibuat terkagum-kagum dengan dekorasi yang mewah serta megah. Pernikahan Angga dan Shareefa memang diadakan secara besar-besaran, dengan jumlah tamu ribuan. Sedangkan Nayya hanya bisa diam di pojokan, menyaksikan sang mantan tengah mengucap ijab kabul.
Dua hari lalu kenyataan Zayyan yang ternyata sudah beristri memukul telak dirinya, sekarang ditambah pula dengan pernikahan Angga yang dihelat di resort milik sang ayah. Ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga.
"Mending makan, Nay, daripada galau nggak jelas. Mantan biarlah menjadi mantan, nggak usah lo kenang," oceh Syaki yang tengah asik menikmati hidangan makanan.
"Otak lo isinya makanan semua. Nggak ada empati-empatinya lo sama temen sendiri!" Nayya lalu bergegas pergi.
"Mbak Nayya."
Nayya celingukan mencari seseorang yang memanggilnya. Sampai akhirnya mata dia menemukan Zalfa yang tengah duduk nyaman di kursi roda, di sampingnya ada Harini juga.
"Kok bisa di sini?" tanya Nayya saat sudah menghampiri keduanya.
"Diundang Mas Dokter," sahut Harini antusias.
"Angga maksud Ibu?"
Harini mengangguk semangat.
"Dokter Angga yang sudah merawat saya selama koma, Ibu mengenal baik beliau, Mas Zayyan juga berteman baik dengan Dokter Angga. Makanya kami ada di sini," terang Zalfa.
Nayya hanya ber'oh' ria.
"Nak Nayya kenal Mas Dokter juga?"
Nayya sedikit meringis. "Mantan, Bu."
Harini dan Zalfa saling berpandangan, dengan penuh rasa sesal Harini mengucapkan permohonan maaf.
"Mas Zayyan kok belum ke sini yah, Bu? Apa pekerjaannya nggak bisa ditinggalkan?"
"Zayyan lagi sibuk di dapur, dia, kan yang jadi Kepala Chef untuk acara wedding ini."
Zalfa manggut-manggut.
"Mau ketemu Zayyan? Gue bisa antar lo ke sana," tawar Nayya seramah mungkin. Tidak ada alasan untuk membenci Zalfa, dia mencoba untuk mengikhlaskan dan berdamai dengan kenyataan.
"Boleh memangnya?"
"Gue anak pemilik resort kalau perlu lo ingat. Apa pun bebas gue lakukan," jawabnya.
"Nggak usah, Mbak, terima kasih. Saya takut mengganggu pekerjaan Mas Zayyan," putus Zalfa setelah menimbang-nimbang.
"Okeyy."
"Resort-nya luas yah, Nak, bagus juga," cetus Harini terkagum-kagum.
"Papa emang nggak pernah main-main kalau bangun bisnis, Bu. Semua detail kecilnya diperhatikan," jelas Nayya apa adanya.
"Masyaallah," ungkap Zalfa.
"Saya pamit dulu, ada beberapa hal yang harus diurus. Di sini saya bukan tamu, tapi tim penyelenggara acara," katanya seraya terkekeh pelan.
Harini dan Zalfa hanya tersenyum dan mengangguk maklum.
"Mbak Nayya baik dan ramah, nggak judes kayak yang Mas Zayyan bilang. Ya, meskipun cara ngomongnya agak tinggi dan gaul," komentar Zalfa.
"Judesnya sama Zayyan doang kali, Fa. Mau bagaimana pun Zayyan, kan kerja sama Nak Nayya," sahut sang mertua.
"Iya mungkin juga, supaya Mas Zayyan segan dan nggak semena-mena," katanya.
"Mau makan apa? Ibu ambilin," tanya Harini.
"Apa aja terserah Ibu, kepala aku kok pusing yah, Bu?"
Harini sedikit panik, dia langsung memegang kening sang menantu. "Nggak panas kok, kamu kenapa? Laper kali, makan yah."
"Akhir-akhir ini emang suka ngerasa tiba-tiba pusing," keluh Zalfa.
"Zayyan tahu nggak? Ibu takut kamu kenapa-kenapa."
Zalfa menggeleng pelan. "Aku nggak mau buat Mas Zayyan khawatir."
"Ya udah nanti kalau kita terapi lagi, bilang sama terapis kamu. Sebutin keluhan apa aja yang kamu rasa," saran Harini.
Zalfa memang rutin melakukan terapi, setiap tiga kali dalam seminggu di rumah sakit. Dan Harini yang selalu setia menemani.
Harini bersimpuh di depan kursi roda Zalfa. "Kamu itu kalau ada apa-apa bilang sama Zayyan, apalagi ini menyangkut kesehatan kamu. Dengan kamu menyembunyikan apa yang dirasa, justru akan membuat panik Zayyan. Kamu tahu, kan Putra Ibu itu sayang banget sama kamu. Dia mau kamu pulih lagi."
Zalfa menunduk dalam. "Maafin aku yah, Bu."
Harini bangkit dan mengelus puncak kepala Zalfa. "Lain kali jangan diulangi lagi, kalau emang nggak mau cerita sama Zayyan bilang sama Ibu. Nggak usah dipendam sendiri."
"Iya, Bu."
"Ya udah mending kita pulang, istirahat supaya pusingnya hilang. Ibu takut kamu kenapa-kenapa, atau mau ke rumah sakit?"
"Pulang aja, Bu, besok juga, kan ke rumah sakit buat terapi. Biar nanti sekalian," tolak Zalfa halus.
"Ibu mau setor muka dulu sama Mas Dokter, kamu tunggu di sini. Antriannya panjang, Ibu nggak yakin bisa bawa kamu ke pelaminan. Nggak papa, kan di sini dulu sebentar?" seloroh Harini, berat hati sebenarnya meninggalkan sang menantu.
"Aku tunggu di sini aja," singkatnya.
Zalfa menatap ke sekeliling, semua orang yang di sini sangatlah asing. Dia berusaha untuk mengabaikan rasa pusing yang kembali mendera. Berdzikir sebanyak-banyaknya, semoga bisa sedikit mengalihkan rasa sakit.
"Ice cream spesial untuk Tuan Putri," kata Zayyan yang baru saja datang dengan masih menggunakan seragam kerja.
Zalfa terkekeh pelan lalu mengambilnya. "Mas ini ngagetin aku aja."
"Mas mau ajak kamu keliling resort sebentar," ajaknya lalu mendorong kursi roda Zalfa.
"Aku belum izin sama Ibu, kalau nyariin gimana?" tanya Zalfa seraya mendongak.
"Tenang aja, Ibu udah Mas titipkan sama Mas Syaki."
"Kerjaan Mas gimana? Kata Mbak Nayya Mas sibuk?" cetus Zalfa di tengah kegiatan mereka yang tengah berkeliling.
"Mas ambil jam istirahat duluan, sengaja buat nemenin kamu. Pasti bosan, kan kalau cuma lihat orang yang lagi salaman. Mending jalan-jalan sama Mas," sahutnya begitu antusias.
"Jam makan Mas kepotong dong, makannya gimana? Jangan sampai lupa makan, sakit nanti."
Zayyan mengelus sayang puncak kepala sang istri. "Makan, Mas kilat, lima menit juga selesai."
Zayyan menghentikan kursi rodanya di taman belakang resort. Pemandangan yang asri dan hijau membuat udara terasa sangat adem. Di bawah lindungan pohon rindang mereka duduk berdampingan.
"Kalau sore sebelum magrib, sesekali Mas suka ke sini sebentar. Sunset-nya bagus," katanya memulai bercerita.
"Apalagi pas kamu koma, Mas cuma bisa bengong sendirian di sini," imbuhnya.
Zalfa merebahkan kepalanya di bahu Zayyan, dia bergelayut di lengan sang suami. "Kaki aku nggak kunjung sembuh, masih mati rasa. Mas nggak malu gitu punya istri lumpuh kayak aku?"
Zayyan mengecup puncak kepala sang istri lembut. "Ngapain Mas mikirin apa kata orang? Mereka nggak tahu apa-apa, Mas juga nggak nyusahin hidup mereka. Kalau mereka mau berkomentar, ya silakan, asal jangan ikut campur sama kehidupan kita."
"Kalau aku nggak sembuh-sembuh gimana?"
"Kok malah jadi pesimis? Optimis dong, bismilah in syaa allah sembuh."
"Kelumpuhan yang aku alami ini parah, Mas, bisa terjadi sementara bahkan selamanya. Dari panggul ke bawah mati rasa, nggak bisa sedikit pun digerakkan. Padahal aku udah rutin terapi. Mas akan semakin buang-buang waktu kalau terus bersama aku," lirihnya.
Zayyan merengkuh Zalfa dari samping. "Kita nggak boleh berprasangka buruk sama Allah. Nggak ada, yang gak mungkin. In syaa allah sembuh."
...🖤SEE YOU NEXT CHAPTER🖤...
love sekebon🥰