NovelToon NovelToon
Bencana Gaun Pengantin

Bencana Gaun Pengantin

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Nikahmuda / Nikah Kontrak / Pengantin Pengganti Konglomerat / Pelakor jahat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Eouny Jeje

Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.

Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.

Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.

Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Panggung yang dibuat instan

Anna meraih tangan Anthony, jemarinya terasa sedingin es. Ada ketakutan yang merayap di dadanya, mengingat bagaimana Rina pernah mencuri dan mengakui kerja kerasnya sebagai miliknya sendiri. Namun, yang membuatnya lebih hancur adalah bagaimana Anthony membiarkan semua itu terjadi—seolah tak ada yang salah.

"Kenapa kau membiarkan ini?" suara Anna bergetar, matanya penuh dengan bara kemarahan yang tertahan.

Anthony menatapnya, sorot matanya tenang, namun ada kilatan tajam di sana. "Apa yang kau bicarakan, Anna?"

“Aku tidak mau menjadi pencuri,” gumamnya. “Aku tidak ingin memiliki sesuatu yang bukan milikku.”

Anthony menghela napas. Ini adalah respons yang sudah ia duga. Dugaan Ethan benar—Anna bukan tipe yang ingin mengambil jalan pintas. Gadis itu tidak menginginkan kesuksesan instan.

Anthony tersenyum miring. “Tapi bukankah ini karyamu sendiri? Kau hanya lupa.” Ia melirik ke arah runway, memperhatikan setiap model yang melenggang anggun dengan gaun yang memesona. “Lihatlah baik-baik. Perhatikan. Tidakkah kau ingat sketsa-sketsa yang pernah kau buat? Yang kau biarkan begitu saja, tertimbun di antara lembaran-lembaran lamamu?”

Anna menahan napas. Matanya mengikuti setiap lipatan kain, setiap detail sulaman, setiap goresan yang terasa begitu familiar. Dadanya berdebar tak karuan. Ini… ini semua miliknya. Sketsa-sketsa yang pernah ia gambar dalam sepi, yang tak pernah ia wujudkan.

Anthony berbisik di telinganya, “Tidak ada yang menyontek, Anna. Ethan hanya mengeluarkannya dari kertas. Ia hanya menghidupkan kembali imajinasimu yang kau tinggalkan.”

Anna terkesiap. Ia ingin marah, ingin menolak semua ini. Tapi di sisi lain, ada rasa haru yang mengalir dalam nadinya. Karyanya… nyata. Ia bisa menyentuhnya, bisa melihatnya bergerak dengan anggun di atas panggung. Namun, ada ketakutan lain yang kini menggigit hatinya—apa maksud Ethan melakukan ini? Apa ia harus membayar sesuatu? Apakah ini berarti ia berhutang?

Matanya berkabut. Tangannya mengepal. Ia tak ingin terjebak dalam permainan ini.

“Tapi aku tidak pernah menjadi muridmu,” protes Anna, suaranya sedikit bergetar.

Anthony menahan tawa. Matanya berbinar penuh teka-teki, seperti sudah lama menunggu pertanyaan itu muncul. Dengan nada penuh kemenangan, ia berkata, “Bukankah kau selalu mengaku sebagai penggemarku? Kau belajar dariku, meniru caraku. Bukankah itu mirip seperti seorang murid?”

Anna membeku. Ada kebenaran di balik kata-kata itu, namun juga terasa seperti jebakan.

Ia hendak membuka mulut, tapi Anthony lebih cepat.

“Jangan bertanya lagi,” bisiknya, nada suaranya lebih rendah, namun menusuk. “Ini panggung fashion, Anna. Di sini, tak ada suara—hanya keindahan yang berbicara. Kau selalu ingin berdiskusi, seolah ini ruang kelas. Tapi ini bukan tempat untuk bertanya. Ini panggung, dan di atas panggung…” Anthony menatapnya dengan senyum yang sulit diartikan.

“Hanya mereka yang berani melangkah yang akan diingat.”

Anna terdiam, hatinya masih dipenuhi berbagai perasaan yang bertabrakan. Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, alunan musik runway berubah. Tempo yang tadinya cepat dan menghentak kini melambat, mengalun dengan elegan, seolah memberi ruang bagi sesuatu yang lebih besar untuk terjadi.

Di atas panggung, para model mulai bergerak. Mereka membelah diri, berbaris rapi di sisi kiri dan kanan, menciptakan jalur kosong di tengah runway. Isyarat yang jelas—ini adalah momen yang telah ditunggu-tunggu. Saatnya Anthony dan Anna melangkah ke depan, menerima sorak sorai, merayakan kemenangan yang tak pernah ia bayangkan.

Anna menahan napas. Tubuhnya masih ragu. Namun, dari sudut matanya, ia melihat Anthony melirik ke arahnya—tatapan itu tegas, penuh keyakinan. Bibirnya bergerak tanpa suara, tapi Anna bisa membaca pesan itu dengan jelas:

Saatnya melangkah.

Tak ada lagi ruang untuk mundur. Tak ada lagi waktu untuk ragu.

Satu.

Anna merasakan lututnya sedikit gemetar, tapi ia menggigit bibir, menahannya.

Dua.

Suasana begitu hening sesaat, seolah dunia menunggu detik ini terjadi.

Ti… ga.

Di hitungan ketiga, mereka melangkah. Bersama.

Anthony berjalan dengan percaya diri, langkahnya mantap, elegan—seperti seorang raja yang sudah terbiasa menguasai panggung. Dan tanpa sadar, Anna mengikutinya. Kakinya bergerak seirama, seakan sejak dulu ia telah terbiasa berjalan di runway. Ia bukan model, tapi malam ini, ia melenggok layaknya satu.

Sorak-sorai membahana di sekeliling mereka. Tepuk tangan, teriakan kagum, kamera yang berkedip tanpa henti. Anna sesekali melambai, tersenyum kepada para penonton, merasa seperti berada dalam mimpi yang tak pernah ia impikan.

Dari sisi kiri dan kanan, beberapa tangan terulur, menyodorkan banquet bunga sebagai tanda apresiasi. Anna melihat Anthony mengambil salah satu secara acak, dan tanpa berpikir panjang, ia pun mengikuti—meraih satu di antara sekian banyak yang ditawarkan kepadanya.

Dan akhirnya, mereka sampai di ujung runway.

Lampu sorot menyala terang, membanjiri mereka dalam cahaya putih yang menyilaukan. Anna berdiri di sana, dengan bunga di tangannya, dadanya naik turun menahan emosi yang hampir meluap.

Di bawah cahaya itu, di tengah lautan tepuk tangan dan sorakan, ia akhirnya menyadari—ini adalah panggungnya. Ini adalah hasil dari goresannya. Dan untuk pertama kalinya, ia tidak lagi ingin lari.

Anna mengedarkan pandangannya, membiarkan matanya menelusuri lautan manusia di hadapannya, hingga akhirnya terhenti pada satu sosok di barisan VIP.

Ethan Ruan.

Ia duduk dengan tenang, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun, tapi matanya—mata itu seperti jurang yang dalam, menghisap setiap keberanian yang tersisa dalam diri Anna.

Di tangannya, ada sebuah banquet bunga.

Jantung Anna mencelos. Napasnya tercekat. Bunga itu seharusnya melambangkan perayaan. Tapi mengapa justru berada di tangan Ethan? Apa itu sebuah simbol? Sebuah tanda bahwa semua ini sebenarnya bukan miliknya? Bahwa panggung ini—cahaya yang kini menerangi wajahnya—adalah sesuatu yang harus ia bayar mahal?

Dada Anna berdegup kencang. Ia tidak tahu mengapa melihat Ethan duduk di sana membuatnya begitu gelisah. Apakah ini soal tagihan yang belum dibayar? Hutang yang belum lunas? Ataukah ada sesuatu yang lebih mengganggu di balik tatapan itu?

Ia berusaha mengalihkan pandangan.

Namun, Ethan tidak.

Tatapannya tetap terkunci pada Anna.

Dan saat itu terjadi, sebuah desiran aneh menyusup ke dalam dirinya.

Itu bukan perasaan biasa.

Sejak pertama kali bertemu, Ethan mengenal Anna sebagai si penabrak maut—perempuan sembrono yang mengubah hidupnya dalam sekejap. Tapi malam ini, sosok yang berdiri di atas panggung itu bukan wanita yang dulu ia kenal. Anna yang kini ada di hadapannya… memukau. Berbeda. Bahkan, cukup untuk membuatnya kehilangan fokus dan lupa untuk berkedip.

Sejenak, ia merasakan sesuatu yang bergetar dalam dirinya.

Namun, ia segera mengenyahkan pikiran itu. Tidak. Ini bukan kekaguman. Ini bukan keajaiban. Ini hanya kejutan sesaat.

Sementara itu, Anna merasa seperti kelinci liar yang sadar dirinya telah menjadi buruan. Ia terus menghindari tatapan Ethan, membiarkan matanya mencari-cari tempat perlindungan, hingga akhirnya ia menemukannya.

Rina Wei.

Wanita itu berdiri di barisan depan, di samping Menteri Ekonomi, Wei Jian. Tepuk tangannya lemah, wajahnya pucat, bibirnya sedikit terbuka seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan.

Anna menegang.

Jadi, inikah yang disebut keadilan? Pencuri itu kini berdiri di bawah panggung, menatap orang yang telah ia rampok berdiri lebih tinggi darinya?

Ironis.

Seharusnya Anna merasa puas. Seharusnya ia bisa tertawa dan menganggap ini sebagai kemenangan. Tapi sesuatu menghentikannya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar amarah.

Bukankah panggung ini… adalah pemberian Ethan?

Sekelebat pemikiran itu menamparnya.

Jika ini adalah miliknya, mengapa terasa seperti utang? Jika ini adalah kemenangannya, mengapa rasanya seperti perangkap?

Sorotan lampu terang menyinari wajahnya, seakan mengukuhkannya sebagai bintang malam ini. Namun di sudut panggung, seorang pria di kursi roda masih menatapnya.

Siapa yang sebenarnya berhutang kepada siapa?

Dan yang lebih menyesakkan—sanggupkah ia menerima semuanya… tanpa tahu harga yang harus ia bayar?

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

1
Taris
bagus
Taris
bacanya sambil deg2an, tarik nafas, tegang n ngos2an /Gosh/
Serenarara
Susan, yg kamu lakukan ke Ethan itu...jahattt! /Panic/
IamEsthe
jangan birahi dong. seolah seperti hewan. bisa diganti katanya /Sweat/.
IamEsthe
Saran, ini di font Bold aja.
IamEsthe
kata 'Fashion House' dan 'clover clothes' gunakan font italic sebagai bahasa asing/daerah.


Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!