NovelToon NovelToon
Loud But Loved

Loud But Loved

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Addinia

Alena adalah seorang gadis ceria yang selalu berbicara keras dan mencari cinta di setiap sudut kehidupan. Dia tidak memiliki teman di sekolah karena semua orang menganggapnya berisik. Alena bertekad untuk menemukan cinta sejati, meski sering kali menjadi sasaran cemoohan karena sering terlibat dalam hubungan singkat dengan pacar orang lain.

Kael adalah ketua geng yang dikenal badboy. Tapi siapa sangka pentolan sekolah ini termasuk dari jajaran orang terpintar disekolah. Kael adalah tipe orang yang jarang menunjukkan perasaan, bahkan kepada mereka yang dekat dengannya. Dia selalu berpura-pura tidak peduli dan terlihat tidak tertarik pada masalah orang lain. Namun, dalam hati, Kael sebenarnya sangat melindungi orang yang dia pedulikan, termasuk gadis itu.

Pertemuan tak terduga itu membuatnya penasaran dengan gadis berisik yang hampir dia tabrak itu.

"cewek imut kayak lo, ga cocok marah-marah."

"minggir lo!"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Addinia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Seharian sama papa

Alena duduk di kursi penumpang mobil sedan hitam. Tangannya memegang tas kecil di pangkuannya, sementara pandangannya tertuju ke luar jendela. Jalanan terlihat sepi karena masih pagi. Di sebelahnya, sang Papa mencoba memecahkan keheningan.

"Gimana sekolah kamu?"

"Biasa aja, pa."

Sang ayah melirik Alena sejenak, merasa ada tembok yang sulit ditembus di antara mereka. Tapi ia tetap berusaha tersenyum, mencoba melanjutkan percakapan.

"Papa denger nilai kamu udah meningkat ya? Mama pasti bangga sama kamu."

Alena menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang ingin ia katakan. Tapi ia memilih untuk diam. Suasana di dalam mobil terasa canggung. Sang ayah menarik napas panjang, mencoba mencari topik lain.

"Papa jadi inget. Dulu waktu kamu kecil, kita sering ke mall, beli es krim. Kamu selalu pilih rasa stroberi. Sekarang masih suka stroberi, nggak?"

"Sekarang aku lebih suka cokelat."

Sang ayah tersenyum kecil, meski jawabannya singkat, itu cukup untuk membuatnya merasa sedikit lebih dekat. Alena kembali memalingkan wajah ke jendela. Mobil terus melaju hingga akhirnya mereka tiba di mall.

Mobil berhenti di area parkir. Alena turun dengan perlahan, memandang ke arah gedung mall yang masih terlihat lengang. Sang ayah berjalan di sebelahnya, mencoba mencairkan suasana dengan tersenyum hangat.

"Ayo, kita sarapan dulu. Ada tempat kopi di lantai atas yang enak."

Alena hanya mengangguk pelan, mengikutinya masuk ke dalam mall. Meski ada sedikit kecanggungan, ia mulai merasakan sedikit kenyamanan dari usaha sang ayah untuk mendekatinya.

Sampai di tempat itu. Alena dan papanya duduk di sebuah meja dekat jendela, dengan pemandangan kota yang mulai sibuk. Alena memesan makanan sederhana—nasi goreng dengan jus jeruk, sementara papanya memilih kopi hitam dan roti panggang. Meski suasananya tenang, Alena merasakan hawa yang membuatnya sedikit tidak nyaman. Ia makan dalam diam, sementara papanya terus tersenyum, berusaha membuat suasana lebih cair.

"Kamu masih suka bikin puisi, nggak?"

Alena menggeleng pelan tanpa menoleh. Sendok di tangannya tetap bergerak, meski ia terlihat lebih fokus pada makanannya daripada percakapan.

"Loh kenapa? Papa suka semua puisi yang kamu bikin."

"Terakhir kali aku buat puisi waktu lomba di sekolah, dan pulangnya aku sama mama liat papa sama tante itu di cafe."

Alena menatap papanya sejenak, lalu kembali menunduk, melanjutkan makannya. Sang papa terdiam seribu bahasa.

"Tapi udah lewat."

"Alena... Papa salah,"

Alena menghentikan gerakan tangannya. Ia terdiam beberapa saat, lalu mengangkat wajahnya sedikit, menatap papanya dengan ekspresi datar.

"Udah lewat juga, papa udah bahagia kan?"

Pertanyaan itu membuat suasana di meja menjadi hening. Sang ayah terdiam, menatap Alena dengan tatapan penuh penyesalan. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab.

"Papa selalu di hantui rasa bersalah selama ini, Le. Tapi sekarang papa mau memperbaiki semuanya, walaupun cuma sama kamu. Papa pingin selalu ada buat kamu."

Alena menatap papanya cukup lama, mencoba mencari ketulusan dalam kata-katanya. Meski masih ada keraguan di hatinya, ia akhirnya mengangguk pelan dan kembali makan.

Papa tersenyum, mencoba mencairkan suasana lagi. "Nasi gorengnya enak, nggak? Kalau nggak suka, kita bisa cari tempat lain."

"Enak."

Sang Papa tersenyum lega melihat Alena yang perlahan mulai merespon lebih banyak. Ia terus mengajaknya berbicara tentang hal-hal kecil, seperti sekolah, teman-teman, dan hobi Alena. Meski perlahan, percakapan mereka mulai mengalir lebih lancar.

...----------------...

Setelah sarapan, Alena dan Papanya berjalan di dalam mall, melewati deretan toko-toko mewah. Sang ayah tampak bersemangat, sementara Alena terlihat sedikit canggung. Mereka berhenti di depan sebuah toko branded dengan desain elegan.

"Masuk yuk. Pilih apa aja yang kamu suka. Tas, sepatu, atau mungkin jaket?"

Alena memandang toko itu sejenak, lalu menggeleng cepat. Wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan.

"Enggak, Pa. Aku nggak butuh apa-apa dari sini."

Papanya terlihat kecewa, mencoba membujuk Alena. "Bukan soal butuh, Ale. Anggap aja ini hadiah dari Papa. Kamu kan jarang nerima hadiah dari Papa dulu."

Alena menggigit bibirnya, merasa semakin risih. Ia tahu sang ayah mencoba memperbaiki hubungan mereka, tapi ini terasa salah. Melihat ekspresi sedih di wajah papanya, Alena menghela napas panjang, mencoba mencari cara untuk menolak tanpa menyakiti perasaan ayahnya.

"Aku mau boneka, tapi papa sendiri yang pilihin buat aku."

"Boneka? Boleh, sayang. Ayo kita cari toko boneka."

Mereka masuk ke sebuah toko boneka yang penuh dengan warna-warni dan berbagai pilihan boneka. Alena berjalan di belakang papanya, memperhatikan bagaimana ayahnya dengan antusias mulai memilih boneka. Sang ayah tampak sangat serius, mengamati satu per satu boneka di rak.

Papa mengambil sebuah boneka kelinci. "Gimana kalo ini? Lucu, kan?"

Alena menggeleng pelan. "Biasa aja."

Sang ayah tidak menyerah. Ia terus mencari, matanya memindai setiap sudut toko dengan teliti. Hingga akhirnya, ia berhenti di depan sebuah rak, lalu tersenyum kecil. Tangannya mengambil sebuah boneka karakter Shinchan yang sedang tersenyum lebar.

Papa sambil mengangkat boneka itu, menoleh ke Alena. "Gimana kalo ini? Kamu masih suka shinchan, kan?"

Alena tertegun. Matanya membesar sedikit saat melihat boneka itu. Shinchan adalah karakter favoritnya sejak kecil, sesuatu yang dulu sering ia tonton bersama papanya. Hatinya menghangat, merasa tersentuh karena papanya masih mengingat hal itu.

Alena berusaha menyembunyikan senyum kecilnya.

"Boleh."

Sang ayah tersenyum puas, lalu membawa boneka itu ke kasir. Alena mengikuti dari belakang, diam-diam mencuri pandang ke arah boneka itu. Ada perasaan senang di hatinya, meskipun ia tidak menunjukkannya secara langsung.

...----------------...

Sementara itu, Ghost Riders duduk melingkar di ruang belakang cafe milik Luka. Mereka seharusnya mulai sesi belajar bersama, tapi suasana terasa berbeda. Alena, yang biasanya tepat waktu, belum juga datang. Kael terlihat gelisah.

"Mungkin Alena sibuk, El." Ucap Luka sambil mengunyah keripik.

"Yap, mungkin juga dia nggak mau belajar hari ini." Sahut bayu.

Ezra membuka ponselnya, menatap Kael. "Lo udah coba hubungin dia?"

"Gue nggak punya nomor dia."

Semua terdiam sejenak, lalu Luka tertawa terbahak-bahak.

"Yang bener aja lo, bilang suka dari nggak ada nomornya."

Kael mengabaikan Luka, langsung membuka grup kelas di ponselnya. Kael mengscroll grup kelas dengan cepat, mencari nama Alena. Setelah menemukannya, ia mencatat nomor tersebut, lalu langsung menelepon. Tapi, panggilannya tidak diangkat.

"Nggak di angkat."

"Yaudah, mungkin Alena emang lagi sibuk." Ucap Ronan.

Leo menyandarkan diri di sofa. "Lagi juga ini hari minggu. Bukan hari belajar."

Kael terus mencoba menghubungi Alena. Sedangkan yang lain saling bertukar pandang, menyadari bahwa Kael terlihat lebih khawatir daripada biasanya. Luka melempar bantal kecil ke arah Kael, membuatnya berhenti menelepon sejenak.

"Dia nggak ngangkat Telpon, itu tanda dia nggak mau diganggu. Tunggu aja dia pasti ngabarin kita, itu pun kalo dia inget sih."

Kael mendesah berat, lalu akhirnya duduk dengan enggan. Tapi tatapannya tetap tertuju ke layar ponselnya, berharap ada kabar dari Alena.

...----------------...

Alena turun dari mobil papanya di lokasi yang cukup jauh dari rumahnya. Ia melambaikan tangan sebelum mobil itu pergi. Di tangannya, boneka Shinchan yang baru saja diberikan papanya erat ia peluk. Angin malam yang sejuk membuatnya sedikit merapatkan jaket, langkah kakinya tenang menyusuri jalan kecil yang sepi menuju rumah.

Sesekali Alena menunduk memandangi boneka itu, senyum kecil terukir di wajahnya. Meski hari ini melelahkan, ada perasaan hangat yang ia rasakan karena bisa menghabiskan waktu bersama papanya.

"Masih ingat Shinchan..."

Alena sampai di rumahnya. Rumah itu terlihat tenang dari luar, dengan lampu depan yang menyala. Ia membuka pintu perlahan, berusaha tidak membuat suara. Tapi langkahnya langsung terhenti ketika mamanya tiba-tiba muncul dari ruang tamu dengan ekspresi panik.

"Ale! Kamu dari mana aja seharian? Mama telpon nggak kamu angkat!"

Alena terkejut, tapi dengan cepat menyembunyikan kegugupannya. Ia menatap mamanya dengan ekspresi datar, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.

"Ale lupa bawa hp, Ma. Tadi Ale, belajar bareng temen-temen."

Sang mama terlihat menghela napas lega. Wajahnya yang awalnya tegang perlahan melunak, meski masih ada sedikit kekhawatiran di matanya.

"Belajar sampe malem begini, dan nggak ngabarin Mama."

"Maafin Ale, Ma."

Sang mama memperhatikan boneka di tangan Alena, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya mengangguk kecil dan menyentuh lengan Alena dengan lembut.

"Yaudah, lain kali jangan bikin mama khawatir. Sana mandi dan istirahat."

Alena mengangguk pelan, lalu berjalan menuju kamarnya dengan boneka Shinchan masih dalam pelukan. Begitu pintu kamarnya tertutup, ia meletakkan boneka itu di meja samping tempat tidur dan menatapnya sejenak.

"Makasih, Pa. Hari ini... nggak seburuk yang Ale bayangin."

...----------------...

Alena baru selesai mandi, rambutnya masih basah dan terurai. Ia mengenakan piyama sederhana dan tampak lebih segar. Begitu ia keluar dari kamar mandi, suara ponselnya terus berbunyi dari meja dekat tempat tidur. Ia berjalan mendekat dan melihat ada panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal.

Alena menatap layar ponselnya. Ragu sejenak, ia akhirnya mengangkat telepon itu. Namun, begitu suara di seberang terdengar, matanya sedikit melebar. Suara itu sangat ia kenal—suara yang biasanya membuatnya kesal. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda dalam nadanya.

"Alena, Akhirnya lo angkat juga."

Alena langsung menghela napas panjang, merasa campuran kesal dan bingung.

"Kael?"

Kael tertawa kecil. "Iya, lo hafal suara gue ternyata."

"Suara lo terlalu nyebelin, makanya gue hafal."

"Masa sih?"

"Nggak usah mulai! Ngapain lo telfon gue?"

"Ngapain kata lo? lo hilang seharian, nggak ada kabar. Gue dan anak-anak nungguin lo."

Alena terdiam sejenak.

"Sorry.., gue lupa bilang."

"Kemana?" Suara itu terdengar lembut di pendengaran Alena.

Gadis itu tersenyum tipis, sampai akhirnya menyadarinya. "Ada urusan! Emangnya harus laporan sama lo?!"

Kael tertawa kecil. "Nggak juga, tapi... Mereka semua khawatir, kecuali gue."

"Halah!"

"Maksudnya mereka khawatir tapi di atas itu masih ada gue yang lebih khawatir. Kayak, misalnya. Khawatir mereka 20%, nah gue sisanya."

Alena terkejut mendengar itu. Ia mengalihkan pandangan ke arah boneka Shinchan di meja, mencoba menyembunyikan senyumnya

"Kaget kan lo?!"

"Nggak usah sok tau!"

"Baper kan lo pasti?"

Alena melotot. "Apa kata lo?! baper? sama lo?"

Di ujung sana, Kael tertawa terbahak-bahak.

"Gue tutup!"

"Eh, KittyCat! Tunggu dulu!"

"Kenapa lagi?"

"Simpen nomor gue ya, namain Kael ganteng!"

"Ogah!"

Alena menutup telepon dan meletakkan ponselnya di meja. Ia menatap layar ponsel sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke boneka Shinchan yang masih tersenyum di meja. Sebuah perasaan aneh muncul di hatinya, campuran antara kesal dan hangat.

"Kael... bisa nggak lo berhenti bikin gue mikir macem-macem?"

1
Muhammad Rizkan
lanjut thorr
Fatimah Imah
semangat y kkk
Fatimah Imah
ok.q suka m alur cerita anak remaja yg seru dan keren
Addinia Azzahra: terima kasih banyak ya kak 💗✨
total 1 replies
IamEsthe
'sorry' ganti ke font italic atau pakai kata serapan jadi 'sori'
Addinia Azzahra: baik kakkk.. terima kasih yaaa 💗💗
total 1 replies
IamEsthe
Kata 'Menuding' karena bukan awal kalimat jadi 'menuding' dan 'riko' jika dia mengarah pada nama seseorang harusnya diawali huruf kapital. 'Riko'
yanah~
mampir kak 🤗 semangat 💪
Yoona
mampir
🍒⃞⃟🦅♕⃟ Ƙҽƚυα MTᴺᵀ【﷽】
Semangat ya, Jan kayak gua yang malas nulis /Determined/
Addinia Azzahra: hihihi okeeeyyy, kamu juga semangatttt
total 1 replies
🍒⃞⃟🦅♕⃟ Ƙҽƚυα MTᴺᵀ【﷽】
mampir
Yoona
semangat💞💞
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!