Rara Maharani Putri, seorang wanita muda yang tumbuh dalam keluarga miskin dan penuh tekanan, hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rendra Wijaya, yang keras dan egois. Rendra menjual Rara kepada seorang pengusaha kaya untuk melunasi utangnya, namun Rara melarikan diri dan bertemu dengan Bayu Aditya Kusuma, seorang pria muda yang ceria dan penuh semangat, yang menjadi cahaya dalam hidupnya yang gelap.
Namun Cahaya tersebut kembali hilang ketika rara bertemu Arga Dwijaya Kusuma kakak dari Bayu yang memiliki sifat dingin dan tertutup. Meskipun Arga tampak tak peduli pada dunia sekitarnya, sebuah kecelakaan yang melibatkan Rara mempertemukan mereka lebih dekat. Arga membawa Rara ke rumah sakit, dan meskipun sikapnya tetap dingin, mereka mulai saling memahami luka masing-masing.
Bagaimana kisah rara selanjutnya? yuk simak ceritanya 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Jessi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Clara
Desas-desus tentang Rara yang disebut-sebut sebagai kekasih Arga menyebar cepat di perusahaan, seperti api yang membakar hutan kering. Hampir semua karyawan membicarakannya, ada yang iri, ada yang sekadar ingin tahu, dan tentu saja ada yang membenci.
Clara adalah salah satu yang paling terpukul oleh rumor tersebut. Duduk di ruangannya, ia mengepalkan tangan dengan kuat, wajahnya memerah karena amarah. "Wanita itu benar-benar jalang," pikirnya, penuh kebencian. "Datang entah dari mana dan dengan cepat merebut perhatian Arga. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi."
Dengan tekad yang membara, Clara mulai menyusun rencana untuk menyingkirkan Rara dari perusahaan. Ia memutuskan untuk memanfaatkan kedudukannya sebagai karyawan senior dan pengaruhnya di antara staf untuk membuat Rara merasa tidak nyaman.
Hari itu juga, Clara mulai melancarkan aksinya. Ia secara halus memberi perintah kepada beberapa karyawan lain untuk memberikan pekerjaan tambahan yang melelahkan kepada Rara. Beberapa bahkan diperintah untuk mempersulit setiap tugas yang Rara kerjakan.
Di sisi lain, Rara, yang tidak tahu menahu tentang rencana Clara, hanya berusaha menyelesaikan pekerjaannya dengan sebaik mungkin. Namun, ia mulai menyadari ada sesuatu yang aneh. Tugas-tugas yang tidak masuk akal datang bertubi-tubi, dan ia kerap merasa diawasi.
Ketika Rara mencoba menyelesaikan sebuah laporan, seorang karyawan tiba-tiba muncul. "Rara, Clara bilang kamu harus membantu mengecek dokumen di gudang arsip. Cepat, itu mendesak," katanya dengan nada tergesa-gesa.
Rara mengerutkan kening. "Tapi, aku sedang mengerjakan laporan ini, dan—"
"Tidak ada tapi! Clara bilang itu prioritas," potongnya.
Dengan berat hati, Rara meninggalkan tugasnya dan pergi ke gudang arsip. Saat ia kembali ke meja kerjanya beberapa jam kemudian, ia menemukan laporan yang ia kerjakan telah berantakan, dengan beberapa halaman hilang.
Rara mulai merasa frustasi. Ia tahu ini bukan kebetulan, tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia mengingat janjinya pada Arga untuk tidak meminta bantuan, dan ia berniat untuk menepatinya, meskipun situasinya semakin sulit.
Sementara itu, Clara merasa puas melihat perjuangan Rara. Di balik senyum sinisnya, ia menyusun langkah selanjutnya. "Sebentar lagi, dia pasti menyerah. Dan saat itu terjadi, aku akan memastikan Arga tahu siapa yang lebih pantas berada di sisinya," pikirnya penuh kemenangan.
Pagi itu, setelah semalaman bekerja tanpa henti, Rara mencoba menyegarkan diri dengan mandi di kamar mandi perusahaan. Ia berharap hari itu akan berjalan sedikit lebih ringan, meskipun rasa lelah sudah terasa hingga ke tulang. Sudah seminggu lebih rara sibuk dengan pekerjaan tanpa henti, bahkan untuk mengerjakan pekerjaan tersebut agar lekas selesai rara harus menginap di perusahaan.
Saat keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju ruangannya, tiba-tiba sebuah tangan besar meraih pergelangan tangannya dengan lembut. Rara terkejut dan menoleh. Di hadapannya berdiri Arga dengan ekspresi datar, tetapi matanya menyiratkan pertanyaan mendalam.
"Kenapa kamu jarang pulang?" tanya Arga dengan suara rendah tapi penuh ketegasan. "Pembantu di rumah bilang kamu sering tidak ada di malam hari."
Rara menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berpacu. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, bahwa ia terpaksa menginap di kantor karena beban kerja yang terus-menerus ditumpuk kepadanya oleh Clara dan para anteknya. Jadi, ia memilih berbohong.
"Perusahaan jauh dari rumah," jawab Rara, suaranya sedikit ragu. "Daripada bolak-balik dan buang waktu, aku lebih sering menginap di hotel dekat kantor. Lebih praktis."
Arga menatapnya sejenak, mencoba membaca kebenaran di balik kata-katanya. Namun, tidak ada tanda-tanda mencurigakan yang ia lihat. Akhirnya, ia mengangguk pelan.
"Kalau itu lebih nyaman untukmu, tidak apa-apa," ujarnya sebelum melepas tangannya dari pergelangan Rara dan melangkah pergi tanpa banyak bicara.
Rara menghela napas panjang, merasa lega sekaligus bersalah atas kebohongannya. Ia menatap punggung Arga yang menjauh, berharap ia tidak pernah tahu kenyataan sebenarnya.
Namun, dari kejauhan, Clara melihat semuanya. Tatapan Arga pada Rara, gestur perhatiannya, dan cara Rara tampak menutupi sesuatu. Semua itu membuat api kebencian Clara semakin berkobar.
"Wanita itu benar-benar menjijikkan," pikir Clara, menggenggam tangannya dengan kuat. "Dia sudah merusak semuanya. rencana yang aku susun sepertinya tidak mempan untuk membuat ia keluar dari perusahaan ini."
Clara kembali ke ruangannya, pikirannya dipenuhi dengan rencana baru untuk menyingkirkan Rara. Bagi Clara, ini bukan lagi sekadar soal posisi di perusahaan.ini adalah soal harga diri dan perebutan perhatian Arga yang ia anggap hanya miliknya.
Clara yang sudah tidak mampu menahan amarahnya, memutuskan bahwa langkah-langkah halus tidak lagi cukup. Ia ingin memberikan pelajaran yang tak akan pernah dilupakan Rara. Pikirannya yang dipenuhi dendam mulai merancang rencana yang jauh lebih kejam.
Hari itu, Clara mengamati kebiasaan Rara. Ia tahu bahwa Rara sering bekerja hingga larut malam di kantor, dan sering kali tidak ada orang lain yang tersisa di ruangan kecuali Rara. Ini adalah peluang sempurna.
Malam itu, setelah semua karyawan lain pulang, Clara sengaja tinggal lebih lama dengan alasan "menyelesaikan pekerjaan". Ia mengawasi dari kejauhan saat Rara sibuk di mejanya, terlihat lelah namun tetap fokus.
Ketika Rara akhirnya berdiri untuk pergi mengambil kopi di pantry, Clara melihat kesempatannya. Ia dengan cepat membuka tasnya dan mengeluarkan sebotol kecil cairan licin. Dengan hati-hati, ia menuangkan cairan itu di lantai dekat pintu pantry, memastikan bahwa itu berada tepat di jalur Rara.
Beberapa menit kemudian, Rara kembali ke ruangannya dengan membawa secangkir kopi. Langkahnya lambat karena kelelahan, dan ia tidak menyadari cairan licin yang mengintai di lantai. Saat ia menginjaknya, tubuhnya kehilangan keseimbangan.
"Ah!" teriak Rara, kopi di tangannya tumpah ke lantai saat ia jatuh dengan keras. Kepalanya membentur sudut meja di dekatnya sebelum tubuhnya terbaring tak bergerak.
Clara, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, tersenyum puas. Ia menunggu beberapa saat sebelum pura-pura terkejut dan mendekati tubuh Rara yang tergeletak di lantai.
"Oh tidak, Rara!" serunya dengan nada yang dibuat-buat. "Kamu tidak apa-apa?"
Namun, Rara tidak merespons. Clara memanfaatkan situasi itu untuk menghapus jejaknya. Ia dengan cepat membersihkan sisa cairan di lantai dengan tisu dari tasnya, memastikan tidak ada yang mencurigai apa pun. Setelah itu, ia mengambil ponselnya dan menelepon resepsionis.
"Ada kecelakaan di lantai tiga," katanya dengan nada panik yang pura-pura. "Tolong panggilkan ambulans!"
Ketika ambulans datang dan membawa Rara ke rumah sakit, Clara berdiri di sudut ruangan dengan senyum puas di wajahnya. "Sekarang," pikirnya, "semua orang akan melihat dia sebagai lemah dan tidak kompeten. Ini langkah awal untuk menyingkirkannya sepenuhnya."