“Namamu ada di daftar eksekusi,” suara berat Carter menggema di saluran komunikasi.
Aiden membeku, matanya terpaku pada layar yang menampilkan foto dirinya dengan tulisan besar: TARGET: TERMINATE.
“Ini lelucon, kan?” Aiden berbisik, tapi tangannya sudah menggenggam pistol di pinggangnya.
“Bukan, Aiden. Mereka tahu segalanya. Operasi ini… ini dirancang untuk menghabisimu.”
“Siapa dalangnya?” Aiden bertanya, napasnya berat.
Carter terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Seseorang yang kau percaya. Lebih baik kau lari sekarang.”
Aiden mendengar suara langkah mendekat dari lorong. Ia segera mematikan komunikasi, melangkah mundur ke bayangan, dan mengarahkan pistolnya ke pintu.
Siapa pengkhianat itu, dan apa yang akan Aiden lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Aksara Diam, Aliyah Gelisah
Kegelapan ruang tahanan yang menyelimuti Aksara tidak hanya merampas kebebasannya, tetapi juga menguras pikirannya. Dalam diam, ia duduk bersandar di sudut ruangan sempit itu, memejamkan mata, mencoba menggali ingatan yang telah lama terkubur. Kejadian demi kejadian berkelebat di benaknya—kenangan tentang kedua orang tuanya yang kini ia lihat terperangkap dalam tabung kaca besar di laboratorium rahasia itu.
Aksara menggigit bibirnya. Ia mengingat momen terakhir sebelum kedua orang tuanya menghilang bertahun-tahun lalu. Hari itu adalah hari yang ia benci untuk diingat, hari ketika semuanya berubah. Ia masih kecil saat itu, tetapi ingatan tentang tatapan khawatir di wajah ayahnya dan kecemasan di mata ibunya terasa begitu jelas. Mereka mengatakan sesuatu yang samar, sesuatu yang saat itu tidak ia pahami.
"Aksara, jika suatu saat kami tidak ada di sisimu, tetaplah kuat. Jangan pernah menyerah."
Ia tidak pernah mengerti kenapa mereka berkata seperti itu. Tapi kini, di tengah kegelapan dan kesunyian, kata-kata itu kembali menghantuinya, menjadi potongan teka-teki yang mulai menyatu dengan kenyataan pahit yang ia hadapi.
“Kenapa mereka tidak memberitahuku semuanya?” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam ruang kosong itu.
Sementara itu, di tempat lain, Aliyah terbangun dari tidurnya dengan napas memburu. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia baru saja mengalami mimpi yang begitu nyata, begitu menyesakkan. Dalam mimpinya, ia melihat Aksara terjebak dalam kegelapan, dikelilingi oleh bayangan yang menakutkan. Ia mendengar suara Aksara memanggil namanya, meminta tolong, tetapi tubuhnya terasa terkunci, tidak bisa bergerak.
Aliyah memegang dadanya, mencoba mengatur napas. Rasa cemas yang menyelimuti dirinya tidak kunjung hilang. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke balkon, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya. Namun, bayangan mimpi itu tetap melekat di benaknya.
Langkah kaki terdengar mendekat. Aliyah menoleh dan melihat Oberoi, yang berjalan ke arahnya dengan wajah penuh perhatian.
“Kau baik-baik saja?” tanya Oberoi lembut, berdiri di sampingnya.
Aliyah menggeleng pelan, matanya menatap kosong ke arah langit malam. “Aku... aku bermimpi tentang Aksara.”
“Aksara?” Oberoi mengernyitkan dahi. “Apa yang kau lihat?”
Aliyah menghela napas panjang sebelum menjawab, “Aku melihatnya dalam kegelapan. Ia seperti... terperangkap. Aku tidak tahu di mana, tetapi aku merasa ia dalam bahaya besar.”
Oberoi menatap Aliyah dengan tatapan serius. Ia tahu betapa kuatnya intuisi Aliyah, terutama jika itu berkaitan dengan Aksara. “Kau yakin itu hanya mimpi?”
Aliyah menggigit bibirnya, ragu-ragu untuk menjawab. “Aku tidak tahu. Tapi rasanya begitu nyata, Oberoi. Aku merasa... aku merasa ia benar-benar membutuhkan bantuan.”
Oberoi meraih tangan Aliyah, mencoba menenangkan kegelisahannya. “Dengar, Aksara adalah orang yang kuat. Kau tahu itu lebih dari siapa pun. Jika ia dalam masalah, ia pasti akan menemukan jalan keluarnya. Yang perlu kita lakukan adalah percaya padanya dan terus mendoakannya.”
Aliyah mengangguk pelan, tetapi hatinya masih dipenuhi kecemasan. “Aku ingin percaya, Oberoi. Tapi entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Sesuatu yang tidak kita ketahui.”
Oberoi terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Aliyah. “Kalau begitu, kita harus bersiap. Jika waktunya tiba, kita akan melakukan apa pun untuk membantunya.”
Sementara itu, di ruang tahanan, Aksara membuka matanya. Ia telah memutuskan untuk berhenti meratapi keadaan dan mulai memikirkan cara untuk keluar dari situasi ini. Ia tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan. Ia harus melawan, untuk dirinya sendiri dan untuk orang tuanya yang terperangkap di laboratorium itu.
Namun, saat ia mulai menyusun rencana, pintu ruang tahanan tiba-tiba terbuka. Cahaya terang menyilaukan matanya, dan siluet seorang lelaki muncul di ambang pintu. Itu adalah Paulus.
“Aksara,” katanya dengan suara dingin, “sudah waktunya.”
Aksara menatap Paulus dengan tatapan tajam. “Untuk apa?”
Paulus tersenyum tipis, senyum yang membuat darah Aksara mendidih. “Untuk mengungkap kebenaran yang selama ini kau cari.”
Aksara merasa tubuhnya menegang. Kebenaran? Apa lagi yang mereka sembunyikan darinya?
“Bawa dia,” perintah Paulus kepada dua penjaga yang berdiri di belakangnya.
Aksara mencoba melawan saat mereka menariknya keluar dari ruangan, tetapi kekuatannya tidak cukup untuk melawan mereka. Ia dipaksa berjalan menyusuri lorong panjang yang dingin, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan dan ketakutan.
Ketika mereka tiba di sebuah ruangan besar dengan peralatan canggih yang berkilauan, Aksara melihat sesuatu yang membuatnya tertegun. Di tengah ruangan itu, ada layar besar yang menampilkan video dari kejadian bertahun-tahun lalu—kejadian yang melibatkan kedua orang tuanya.
“Apa ini?” tanya Aksara dengan suara bergetar.
Paulus mendekatinya, matanya bersinar dengan kepuasan. “Ini adalah awal dari semuanya, Aksara. Ini adalah alasan kenapa kau ada di sini.”
Aksara menatap layar itu dengan mata melebar. Ia melihat ayahnya sedang berbicara dengan seseorang, wajahnya penuh kekhawatiran. Di sampingnya, ibunya tampak menggenggam tangan ayahnya dengan erat. Mereka tampak seperti sedang bernegosiasi, tetapi dengan siapa?
Dan kemudian, wajah yang tak asing muncul di layar. Itu adalah Paulus, lebih muda dan tanpa guratan kejam di wajahnya seperti sekarang.
“Apa yang kau lakukan pada mereka?” Aksara berteriak, suaranya penuh kemarahan.
Paulus hanya tersenyum. “Semua akan kau ketahui pada waktunya, Aksara. Tapi untuk sekarang, yang perlu kau tahu adalah bahwa mereka rela mengorbankan segalanya demi ilmu pengetahuan. Dan kau, kau adalah kunci dari semua ini.”
Aksara merasa jantungnya berdetak kencang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti—ia tidak akan membiarkan mereka menang.
Bersambung...