NovelToon NovelToon
Ketika Benci Menemukan Rindu

Ketika Benci Menemukan Rindu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Kiky Mungil

Perjodohan yang terjadi antara Kalila dan Arlen membuat persahabatan mereka renggang. Arlen melemparkan surat perjanjian kesepakatan pernikahan yang hanya akan berjalan selama satu tahun saja, dan selama itu pula Arlen akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya.

Namun bagaimana jika kesalahpahaman yang selama ini diyakini akhirnya menemukan titik terangnya, apakah penyesalan Arlen mendapatkan maaf dari Kalila? Atau kah, Kalila memilih untuk tetap menyelesaikan perjanjian kesepakatan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiky Mungil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23. Berdebar

Arlen melihat kekosongan unit apartemennya yang biasanya selalu dia temukan dalam keadaan hangat. Entah karena sebelumnya ada sentuhan Kalila dengan segala ketulusannya yang selalu Arlen berusaha abaikan. Tapi kini, dia tak mengelak lagi, keberadaan Kalila selama berminggu-minggu di apartemennya, membuat unit yang biasanya selalu kosong, hampa dan dingin menjadi lebih hangat.

Selalu ada aroma masakan setiap kali dia pulang dari lelahnya hari yang dia jalani. Tapi kini tidak lagi.

Ada perasaan nyeri setiap kali dia mengingat bagaimana caranya memperlakukan Kalila selama wanita itu tinggal disini. Dan bagaimana rupanya Kalila bersandiwara untuk terlihat tegar dan balik bersikap dingin kepadanya.

Kakinya kemudian bergerak, membawa ia masuk ke dalam kamar yang biasa ditempati Kalila. Matanya menyapu setiap sudut hingga sesuatu tertangkap olehnya. Dia mendekat ke meja nakas, dilihatnya kartu debit yang pernah dia berikan kepada Kalila sejak hari pertama mereka menikah. Kartu debit yang dia gunakan sebagai 'sogokan' agar Kalila tidak membuka mulut tentang hubungannya yang masih terus berlanjut bersama Miranda kepada Erina.

Sebuah firasat mengatakan sesuatu yang buru-buru langsung membuat Arlen membuka aplikasi mobile banking yang tak pernah dicek-nya. Dia membuka pilihan cek mutasi. Betapa terkejutnya dia, Kalila tidak pernah memakai satu persen pun uangnya. Sementara dia selalu percaya dengan segala provokasi Miranda yang selalu mengatakan bahwa Kalila pasti sudah menghabiskan isi kartu yang diberikan Arlen.

Bodoh! Bodoh! Bodoh! Arlen terus mengulang umpatan untuk dirinya sendiri.

"Kalila ga pernah menggunakan kartu ini... dan aku... selalu menuduhnya sebagai perempuan materialistis yang hanya memanfaatkan hartaku saja. Padahal... Miranda lah yang jelas hanya memanfaatkan ku selama ini..." Dia jatuh terduduk di tepi kasur. Penyesalan pun semakin meraja lela menyerang Arlen.

"Apa yang sudah kulakukan, La?" ujarnya lilrih dan menyedihkan.

* * *

Hari berganti, Arlen terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Semalaman otaknya terus memutarkan potongan-potongan adegan bagaimana dia telah menyia-nyiakan waktunya untuk membenci orang yang salah. Ia bangkit dan membersihkan dirinya di kamar mandi.

Air dingin cukup membantunya berpikir lebih jernih. Pantulan wajahnya yang jauh lebih segar membuat dia dapat meyakinkan dirinya untuk apa yang akan dia lakukan kedepannya.

Setelah selesai memakai setelan formalnya yang biasa, Arlen mengambil sesuatu dari dalam laci meja. Sebuah kunci mobil. Lalu, dia segera keluar dari apartemennya untuk mendatangi unit sebelah.

Baru saja dia hendak mengetuk pintu, pintu itu sudah lebih dulu dibuka dari dalam.

"Lho, kamu ada di depan?" Kalila melihat Arlen dengan tatapan terkejut. Di tangan Kalila ada sebuah kotak bekal dan semangkuk bubur.

"Eh, iya. Aku harus berangkat lebih awal karena ada meeting." jawab Arlen dengan sedikit berdusta. Dia tidak mungkin mengatakan kalau dia tidak bisa tidur semalaman karena terus memikirkan Kalila, dan pagi ini dia ingin buru-buru menemui Kalila hanya untuk memastikan Kalila baik-baik saja.

"Oh, begitu." Kalila melihat makanan yang dipegangnya sejenak, kemudian kembali melihat Arlen.

"Tunggu sebentar." katanya kemudian dia masuk ke dalam dengan pintu yang masih terbuka.

Arlen masih cukup peka untuk tidak melangkahkan kakinya masuk, hingga tak lama kemudian Kalila kembali dengan membawa dua kotak bekal.

"Ini, kotak yang biru isinya bubur untuk kamu sarapan di mobil, kalau masih merasa mual, minum obat yang sebelum makan dulu ya, tunggu lima belas menit baru setelah itu makan buburnya. Dan kotak yang hijau bekal untuk makan siang. Noe bilang, kamu jarang makan siang. Jadi, pastikan bekal yang kubawa harus kamu makan."

Arlen menerima dua kotak itu dengan perasaannya yang kembali nano-nano. Antara senang, terharu, malu, tapi juga merasa begitu hangat. Kalila begitu perhatian, sejak dulu perhatian Kalila kepadanya tidak pernah berubah. Bahkan saat Arlen terpedaya oleh provokasi Miranda, Kalila selalu memperhatikan kesehatan Arlen meski dengan sikapnya yang dingin.

"La...aku..."

"Ya sudah kamu berangkat, nanti terlambat. Aku juga akan ke kedai sekarang. Sudah lima hari ga buka kedai."

"Maaf, gara-gara aku, kamu jadi tutup kedai." Arlen tersenyum menyesal.

"Ga apa-apa, hitung-hitung Asri jadi bisa cuti. Selama ini, Asri ga pernah ambil cuti karena takut aku repot kalau sendirian, katanya." Jelas Kalila seraya menutup pintu dan kemudian mengeluarkan ponsel.

"Kamu naik apa ke kedai?" tanya Arlen.

Kalila menjawabnya dengan menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan aplikasi ojek online. "Ini lagi aku pesan."

"Naik ojek dari sini ke kedai?" tanya Arlen dengan nada tak percaya.

"Engga, dari sini ke stasiun, aku naik kereta, nanti lanjut lagi naik ojek sampai ke kedai."

"Sudah dapat drivernya?"

"Belum."

"Batalkan saja." kata Arlen buru-buru. "Pakai mobilku saja." Ia memberikan kunci mobil yang tadi dia ambil dari dalam laci meja di kamarnya.

"Mobil kamu?" Kalila mengerutkan kening.

Arlen mengangguk. "Pakai mobilku saja. Kedaimu lumayan jauh, jadi gunakan mobilku mulai sekarang untuk aktifitasmu kemana pun. Nanti, aku akan belikan mobil untukmu."

"Eh, ga usah, ga usah." Kalila malah terlihat panik mendengar niat Arlen yang akan membelikannya mobil baru. "Aku naik umum juga ga masalah kok. Udah biasa malah."

"Kalo gitu, mulai sekarang biasakan pakai mobilku kalo kamu ga mau aku belikan yang baru untukmu."

"Tapi Ar, kalo mobilmu aku pakai, kamu pakai apa untuk aktifitasmu?"

"Aku pakai yang satu lagi, yang biasa aku gunakan untuk ke kantor."

"Tunggu, jadi maksudmu, aku pakai mobilmu yang merah?" Kedua mata Kalila bahkan sampai melebar.

"Ya. Kurasa mobil itu cocok untukmu."

"Tapi..."

"Ah, aku harus berangkat sekarang, tapi masih ada yang harus aku siapkan dulu di dalam. Jadi, kamu duluan saja, ya. See you." Arlen meninggalkan Kalila yang masih dengan keterkejutannya di depan pintu. Sementara Arlen sudah kembali masuk ke dalam unit apartemennya.

Arlen kembali masuk ke dalam unit apartemennya. Jantungnya berdebar, entah kenapa dia jadi merasa gugup di depan Kalila. Melihat Kalila dengan kesederhanaannya dan senyum yang mulai terlihat pada wajahnya membuat Arlen merasa begitu gugup.

Di letakkan dua kotak itu di atas meja makan dan dibuka masing-masing tutupnya. Senyumnya lebar saat melihat bagaimana Kalila menghias bekal makan siangnya seperti bekal anak TK. Nasi yang dibentuk menyerupai beruang yang sedang tidur dengan selimut telur dadar. Lalu hutan brokoli dengan danau chicken curry. Dan pegunungan dari potongan dadu mangga yang manis. Tak lupa, Kalila menambahkan puding susu.

Siapa yang tidak akan hangat dengan perhatian seperti ini? Arlen yang nyaris tidak pernah mendapatkan perhatian dari Mamanya karena kesibukan bisnis, dia justru mendapatkan semua kehangatan itu dari Kalila.

Karena itu, lagi-lagi dia mengutuk dirinya yang sangat bodoh tak tertolong.

* * *

Tidak seperti hari-hari sebelumnya dimana suasana kantor selalu tegang setiap kali Arlen datang. Wajahnya selalu menampilkan aura dingin yang beku. Sorot matanya selalu menatap tajam yang menusuk. Tidak akan ada yang berani bicara saat suara langkah kaki Arlen terdengar, atau makian akan keluar dari mulutnya.

Tapi kini, lihatlah bagaimana dia tersenyum menyapa seorang karyawannya yang gugup karena harus berpapasan dengannya. Lihatlah bagaimana dia mengucapkan kata, "Tolong," pada sekertarisnya dan kepada karyawannya yang lain. Lihatlah bagaimana dia telah menyingkirkan awan hitam yang menaungi atmosfer tempatnya bekerja.

Noe bahkan turut menyunggingkan senyumnya melihat bagaimana perubahan Arlen. Tuannya itu menjadi jauh lebih manusiawi.

"Tuan, ini dokumen kontrak dengan..." Noe tidak melanjutkan ucapannya atau pun langkahnya begitu melihat bagaimana Arlen melihat isi kotak bekal makan siangnya dengan matanya yang berbinar. Ia akhirnya memilih untuk kembali keluar dari ruangan itu dan melarang siapa pun mengganggu jam istirahat Arlen meskipun perihal soal pekerjaan.

Mereka cukup bingung dan heran, karena sebelumnya, Arlen bahkan tidak peduli dengan jam istirahat atau pun jam pulang kantor.

"Atau mungkin yang digosipin media memang bener, makanya Pak bos putus. Tapi baguslah, kasihan Pak Bos kalo sama cewek yang banyak skandalnya. Bisa-bisa citra Pak bos malah jadi ikutan rusak."

Perubahan Arlen pun menjadi perbincangan hangat di kalangan karyawan.

"Atau plot twistnya ternyata Pak Bos udah nikah sama Miranda? Kalian lihat ga sih Pak Bos tadi pakai cincin di jari manisnya?"

"Lihat sih. Tapi masa iya ga ada beritanya?"

"Ya, siapa tau pernikahannya memang tertutup aja. Secara si Miranda itu kan model, mungkin dia terikat kontrak yang ga ngebolehin dia nikah dulu."

"Bisa jadi, sih. Tapi apa pun itu, mau akhirnya nikah atau akhirnya putus, yang penting Pak Bos ga nyeremin lagi."

Perbincangan dan pembahasan itu pun menjadi tranding topik di kalangan grup karyawan.

Waktu bergulir, Noe yang sudah siap untuk memberikan dokumen lainnya yang harus ditanda-tangani Arlen malah bingung melihat Arlen yang sudah menutup layar laptop di atas meja kerjanya, bosnya itu bahkan langsung bangkit dan mengenakan jasnya.

"Mau kemana, Tuan?" tanya Noe.

"Sudah waktunya pulang, kan?" Arlen balas bertanya.

Noe sampai mengerjapkan matanya. Sejak kapan bosnya yang workaholic itu memilih untuk pulang tepat waktu?

"Lalu dokumen yang harus diperiksa ini, apakah besok saja, Tuan?"

"Apakah harus aku periksa sekarang?"

"Ini dokumen yang harus dibawa untuk meeting besok pagi, Tuan."

"Baiklah, aku bawa pulang saja." Arlen meninggalkan mejanya menuju pintu, sekarang kita ke kedai."

"Kedai?"

"Kedai Kalila."

"Bukan kah Nona menggunakan mobil Tuan?"

Arlen menggeleng. "Kulihat dan pantauan GPS, mobilku ga bergerak dari apartemen. Sudah pasti Kalila enggan menggunakan mobilku."

"Baik Tuan." Noe mengangguk.

Tapi Arlen yang hendak keluar dari pintu tiba-tiba ngerem mendadak lalu berbalik. "Apa kamu ga masalah kalau pulang sendiri?"

Kening Noe berkerut. "Maksudnya, Tuan?"

"Kurasa aku akan menjemput Kalila sendiri."

"Apa Tuan tidak apa-apa menyetir sendiri?"

"Hei, kemampuan stirku lebih baik darimu." Sahut Arlen dengan nada jengkel.

"Maaf Tuan. Baiklah, saya akan siapkan mobil di lobi."

Arlen mengangguk.

Nah, hatinya mulai berdebar hanya karena membayangkan dia akan membuat Kalila terkejut dengan kedatangannya ke kedai.

.

.

.

Bersambung

1
Kiky Mungil
Yuk bisa yuk kasih like, komen, dan ratingnya untuk author biar tetep semangat update walaupun hidup lagi lelah lelahnya 😁

terima kasih ya yang udah baca, udah like karya aku, semoga kisah kali ini bisa menghibur teman-teman semuanya ❤️❤️❤️

Saranghae 🫰🏻🫰🏻🫰🏻
Ana Natalia
mengapa selagi seru2nya membaca terputus ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!