Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Kejar cinta suamimu, Hanum.
Hari itu suasana rumah Biantara terasa lebih tenang dari biasanya. Abraham sudah berangkat sejak pagi, sementara Kevin tertidur pulas di kamar dengan pengasuhnya. Hanum duduk di ruang tengah, masih mengenakan daster sederhana, rambutnya hanya dikuncir seadanya. Jemarinya sibuk melipat kain kecil Kevin, hingga suara lembut tapi tegas dari belakang membuatnya menoleh.
“Hanum.”
Wanita itu cepat bangkit, menunduk hormat. “Iya, Bu?”
Siska melangkah mendekat dengan anggun. Wajahnya tetap berwibawa meski senyum tipis tersungging di bibir. “Duduklah di sampingku. Aku ingin berbicara denganmu.”
Hanum menurut, duduk dengan hati-hati. Siska memperhatikan menantunya itu, dari ujung rambut sampai ujung kaki, dia menghela napas pelan.
“Hanum, kau ini istri sah Abraham. Tidak ada yang bisa membantah itu, apalagi setelah Alma meninggal. Kau harus mengingat posisimu, jangan lagi menunduk seperti budak.”
Hanum terdiam, menatap pangkuannya. “Tapi, Bu … saya tidak tahu bagaimana harus bersikap, Bu. Tuan Abraham, selalu terlihat dingin. Saya takut … jika saya salah langkah.”
Siska tersenyum kecil, lalu menepuk tangan Hanum.
“Makanya kau harus belajar. Lihat dirimu sekarang, wajahmu cantik tapi kusam karena tak pernah kau rawat. Mulai hari ini, meskipun kau hanya duduk di rumah, kau harus berias. Kau harus terlihat pantas mendampingi Abraham.”
Hanum menelan ludah. “Berias…? Maksud Ibu, seperti memakai make-up?”
“Ya, ringan saja, tidak perlu menor. Cukup bedak tipis, lipstik natural, dan pakaian yang rapi. Ingat, pria dingin seperti Abraham tidak butuh wanita yang terlalu mencolok, tapi dia pasti memperhatikan detail kecil.”
Mata Hanum sedikit melebar, seakan menerima rahasia besar. “Saya … akan berusaha, Bu.”
“Bagus.” Siska lalu berdiri dan menggamit tangan Hanum. “Ayo, aku akan ajarkan hal lain. Kau tidak bisa hanya duduk diam, kau harus bisa membuat rumah ini terasa hidup.”
Mereka berjalan ke ruang tamu yang luas, di mana meja besar penuh bunga segar baru saja diantar oleh pelayan. Siska menunjuk bunga-bunga itu.
“Merangkai bunga adalah hal sederhana yang membuat rumah indah. Abraham suka ruangan yang wangi dan tertata rapi. Alma dulu sering melakukan ini, dan Abraham sangat menghargainya, k.au harus bisa lebih baik.”
Hanum dengan telaten mengikuti arahan, memotong batang bunga sesuai panjang, menyusun warna agar harmonis. Siska memperhatikan dengan senyum samar.
“Ya, seperti itu. Jangan takut berkreasi. Ingat, Abraham mungkin tak mengatakannya, tapi dia peka. Kalau ada yang berubah di rumah ini, dia akan sadar.”
Setelah selesai, mereka pindah ke dapur. Aroma sup kaldu ayam tercium. Siska membuka panci, lalu menoleh pada Hanum.
“Kau harus tahu makanan kesukaan suamimu. Abraham paling suka sup ayam kampung dengan jahe. Itu membuatnya merasa pulang ke rumah, karena dulu almarhum ayahnya sering memasakkan itu. Kau harus bisa membuatnya tanpa cela.”
Hanum mengangguk cepat, mencatat dalam hati. “Baik, Bu. Saya akan mencoba.”
“Dan satu lagi.” Siska menatap Hanum dengan sorot tajam tapi penuh kasih. “Abraham memang dingin, tapi bukan berarti dia tidak bisa dipikat. Kau harus jadi wanita yang kuat, bukan yang mudah ditindas seperti kemarin. Jangan biarkan orang lain ... apalagi Lilis, merendahkanmu. Kau istri sah Biantara, berdirilah dengan kepala tegak.”
Kata-kata itu menusuk hati Hanum. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada yang benar-benar mendukungnya, memberi arahan bukan untuk menjatuhkannya, tapi untuk membuatnya berdiri lebih tinggi. Ia menggenggam tangan Siska erat-erat.
“Terima kasih, Bu. Saya … saya akan berusaha sebaik mungkin.”
Siska mengangguk puas. “Itu yang kuinginkan. Suatu hari, Abraham akan sadar. Ia akan melihatmu bukan hanya sebagai wanita yang terikat tanggung jawab, tapi sebagai wanita yang bisa membuat hatinya bergetar.”
Hanum menunduk, wajahnya memanas. Ia tak berani membayangkan sejauh itu, tapi di lubuk hatinya, ada secercah harapan yang tumbuh pelan-pelan.
Malam pun tiba, cuacanya lebih sejuk karena baru saja gerimis.
Abraham baru saja pulang larut malam. Jas masih melekat rapi di tubuhnya, wajahnya tampak lelah setelah seharian bekerja. Begitu memasuki ruang tengah, langkah kakinya terhenti. Pandangannya jatuh pada sosok Hanum yang tertidur di sofa, dengan posisi meringkuk, selimut tipis setengah menutupi tubuhnya. Beberapa kertas catatan berceceran di meja, hasil pelajaran merangkai bunga bersama Siska siang tadi.
Alis Abraham berkerut, entah karena heran atau karena ada rasa yang tak bisa ia sebutkan. Wanita itu terlihat begitu damai, tetapi dalam sekejap raut wajah Hanum berubah gelisah. Tubuhnya bergerak resah, bibirnya bergetar, lalu suara lirih keluar di sela tidurnya.
“Jangan … jangan bunuh bayiku … tolong … jangan…”
Abraham membeku, kata-kata itu menusuk hatinya. Ingatannya langsung melayang pada masa lalu Hanum yang pernah kehilangan bayi saat masih bersama Galih. Rahang Abraham mengeras, dadanya sesak mendengar igauan penuh ketakutan itu.
Tanpa pikir panjang, ia melangkah cepat mendekat, lalu dengan hati-hati mengangkat tubuh Hanum dari sofa. Ringan, seolah wanita itu hanya membawa beban luka dalam dirinya. Abraham membawanya masuk ke kamar, membaringkannya di ranjang dengan lembut.
Begitu ia hendak beranjak, jemari Hanum tiba-tiba menggenggam tangannya erat. Wajahnya masih terpejam, namun tangannya seakan menolak dilepaskan. Abraham tertegun, tatapannya jatuh pada genggaman kecil itu, lalu beralih pada wajah Hanum yang pucat dan masih berkeringat dingin. Untuk pertama kalinya, dingin dalam dirinya runtuh sedikit demi sedikit.
“Hanum…” suaranya nyaris berbisik, berat dan dalam. “Aku tidak tahu seberapa sakit yang pernah kau alami. Tapi selama aku ada … tak ada seorang pun akan menyakitimu lagi.”
Abraham duduk kembali di sisi ranjang, membiarkan tangannya tetap dalam genggaman Hanum. Malam itu, ia tidak hanya melihat seorang wanita rapuh, tapi seseorang yang tanpa sadar membuatnya ingin melindungi.
Di luar kamar, rumah begitu hening. Namun di dalam ruangan itu, hati Abraham yang beku perlahan mulai retak, membuka ruang bagi sesuatu yang baru.
'Wanita ini sederhana, ucapannya singkat. Tetapi, kehadirannya membuat aku tak bisa berpaling melupakan jika sosoknya perlahan mulai mengisi relung hatiku,' bisik Abraham dalam hatinya, seraya mengecup pelan kening Hanum, sejenak Abraham tertegun akan hal itu, dia segera menarik diri. Namun, genggaman tangan Hanum belum terlepas dari jemarinya.
Hanum.bisa loh nakhlukin ranio
waspada Abraham
Istri mu nggak kaleng2 Biiii 👏👏👏