Kaina Syarifah Agatha. Gadis cantik yang cerdas. Mengetahui dirinya dijodohkan dengan pria pujaannya. Sam.
Samhadi Duardja Pratama. Pria yang diidolai Kai, begitu nama panggilan gadis itu. Sejak ia masih berusia sepuluh tahun.
Sayang. Begitu menikah. Berkali-kali gadis itu mendapat penghinaan dari Sam. Tapi, tak membuat gadis itu gentar mengejar cintanya.
Sam mengaku telah menikahi Trisya secara sirri. Walau gadis itu tak percaya sama sekali. Karena Trisya adalah model papan atas. Tidak mungkin memiliki affair dengan laki-laki yang telah beristri.
Kai menangis sejadi-jadinya. Hingga ia terkejut dan mendapati kenyataan, bahwa ia mendapat kesempatan kedua.
Gadis itu kembali pada masa ia baru mengenal Sam selama dua minggu, sebagai pria yang dijodohkan dengannya.
Untuk tidak lagi mengalami hal yang menyakiti dirinya. Gadis itu mulai berubah.
Bagaimana kisahnya? Apakah Kai mampu merubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ARIN
(Flashback)
Dua puluh dua tahun yang lalu. Arin baru saja resmi menyandang status janda..Wanita itu sudah tak tahan hidup bersama suaminya Putra Suherman. Sebagaimana pun pria itu bersikukuh mempertahankan pernikahannya. Arin tetap pada pendiriannya. Berpisah.
"Hak asuh anak jatuh pada Nyonya Arin Prakasa, di karenakan Trisya masih belia dan butuh perhatian dari ibunya."
Palu hakim pun sudah diketuk. Sah lah Arin berpisah dengan pria yang setengah mati mengabulkan semua keinginannya.
"Trisya mau ikut Ayah, Bu ... huuu ... Ayah ...!" rengek Trisya memanggil ayahnya sambil menangis.
"Kamu sama Ibu. Kalo sama Ayah kamu, kita nggak bakal hidup bahagia!" seru Arin langsung membawa sang putri pergi dari kota di mana mantan suaminya berada.
Selama dua tahun mereka hidup berpindah-pindah. Dari satu tempat ke tempat yang lain. Hingga ia bekerja di sebuah yayasan sosial. Wanita itu pun mulai mencari para donatur dengan mengadakan even khusus menjual hasil karya anak-anak dari berbagai panti asuhan. Uang itu akan digelontorkan untuk kesejahteraan anak-anak tidak mampu dan yatim piatu.
Trisya didaftarkan oleh Arin, sebagai anak yatim piatu.
"Aku masih punya Ayah. Kenapa ibu bilang aku anak yatim?" protesnya.
"Sudah diam. Kau ingin punya mainan baru kan?" Trisya mengangguk.
"Maka jangan bilang siapa-siapa jika kau punya Ayah!"
Trisya pun bungkam. Tapi, lambat laun gadis kecil itu merasa ia menginginkan ayahnya meninggal. Akhirnya ia tak mau lagi mengaku sebagai anak yatim.
Arin pun harus pindah dari yayasannya bekerja. Ia kembali pindah ke kota pusat. Lagi-lagi bergabung dengan sebuah yayasan yang melingkupi beberapa panti dan lembaga sosial.
"Aku nggak mau didaftarin anak yatim, Bu!" tolak Trisya.
Arin cukup kesal dengan putrinya yang tidak mau bekerja sama. Karena dianggap tidak mampu. Trisya pun mulai mendapat donatur tetap. Ia bersekolah dari uang donatur tersebut.
"Bu, peralatan tulisku habis," pinta Trisya suatu hari.
"Sudah, pakai yang ada dulu. Uang ini Ibu gunakan untuk membeli baju yang sedikit bagus dan bermerek. Kita akan mendapat donatur lebih besar," jelas Arin sambil menghitung uang yang baru saja diberikan donatur untuk keperluan anaknya.
Trisya hanya bisa diam. Lama kelamaan, uang keperluan Trisya sekolah selalu terpakai untuk menaikan penampilan Arin.
Trisya makin lama makin kesal. Ia tidak yakin jika semua uang sekolahnya bisa menutupi pakaian yang ibunya beli.
Hingga suatu hari, ketika ibunya tengah mandi. Trisya mendengar bunyi notifikasi pesan. Gadis berusia enam tahun itu pun melihat ponsel ibunya yang tergeletak.
Sifat keingin tahuannya meninggi. Mengambil ponsel ibunya. Berharap ponsel itu tak terkunci.
"Huufff ... syukurlah nggak dikunci," ujarnya lalu membuka pesan masuk.
Sebuah data transfer dengan nilai yang bisa dibilang tidak sedikit. Lima puluh juta. Gadis itu mengecek, hampir setiap bulan ibunya menerima kiriman uang. Ia melihat pesan untuk apa uang itu dikirim. Ia pun makin terkejut.
"Utk biaya Trisya". Kini gadis itu tahu, jika ayahnya selama ini memberinya uang yang sangat besar untuk semua keperluannya. Tetapi, Arin membohonginya.
"Ayahmu melupakan kita, dia tak peduli sedikit pun padamu. Ibu yakin jika dia sudah beristri dan memiliki anak lain," ujar Arin menghasut putrinya.
"Kenapa kau pegang ponsel Ibu?" tanya Arin tak suka.
"Apa ini Bu? Hah! Jawab!" bentak Trisya dengan mata berkaca-kaca dan muka memerah karena marah.
Arin yang mengetahui jika ia tak bisa berbohong lagi, hanya acuh. Wanita itu merebut ponselnya dari tangan Trisya.
"Kenapa Ibu bohong padaku?"
"Diam kau. Jangan ganggu Ibu. Ini semua untuk kebaikanmu!" bentak Arin.
Trisya pun diam. Ia meninggalkan ibunya yang tidak merasa bersalah sedikitpun. Trisya akhirnya membenci ibunya.
Hingga ketika ia bertemu Umar. Pria tampan dengan sejuta pesona. Begitu tinggi dan dibentengi dinding kokoh. Tadinya, Arin hanya mencari peruntungan dengannya melalui drama yang ia buat.
Siapa sangka hati pria itu tersentuh. Umar mulai memperhatikannya terutama Trisya. Wanita itu selalu berhasil menarik Umar jika berkaitan dengan putrinya itu.
Hingga pernikahan viral itu terjadi. Semua kini mata memandangnya. Selama ini ia sudah membangun image sebagai wanita baik hati dan sangat peduli dengan keadaan sekitarnya. Membantu orang-orang kesusahan. Umar jatuh cinta dengan kebaikan hati Arin.
Hingga ia melahirkan seorang putri dari hasil pernikahannya dengan Umar. Ia mundur dari kegiatan amalnya untuk menyusui Kaina Syarifah Agatha. Selama dua tahun.
"Sayang, Trisya besok berulang tahun ke sepuluh. Kita rayakan secara besar-besaran ya. Putriku seumur hidupnya tak pernah memakai baju princess," pinta Arin ketika Trisya akan berulang tahun.
Umar mengabulkannya. Pria itu mengosongkan satu lokasi wahana permainan miliknya. Membangun sebuah kastil kecil dan menghiasi taman ala istana kerajaan.
Betapa senangnya Trisya melihat dirinya didandani ala princess. Arin mengira, ini lah yang dimaui putrinya. Memanjakannya dengan gelimang harta.
"Dengan begini, Trisya akan melupakan yang kemarin-kemarin," ujarnya bermonolog.
"Bu, kita tak merayakan ulang tahun Kai juga?" tanya Umar suatu hari.
"Ah, dia masih terlalu kecil. Mana ia mengerti. Nanti saja jika ia sekolah dan banyak teman. Maka kita akan merayakannya juga, jika perlu kita jadikan satu saja ulang tahunnya dengan Trisya."
Umar pun akhirnya sependapat dengan saran istrinya. Pria itu tak lagi mempermasalahkan perayaan ulang tahun putri kandungnya.
Hingga ketika Kaina bersekolah. Umar tak ingat lagi kapan hari lahir sang putri, karena ulang tahunnya selalu dijadikan satu oleh Arin.
"Ibu, pokoknya aku nggak mau sampai Kai juga dirayakan ulang tahunnya. Pasti nanti pestanya akan lebih meriah dari punyaku!" sahut Trisya melarang ibunya merayakan hari jadi adiknya terpisah dengannya.
"Iya, sayang. Ibu pastikan hanya hari lahir kamu yang dirayakan," janji Arin pada Trisya.
Hingga suatu hari Trisya mendapati Arin tengah menerima panggilan telepon, yang ia yakini dari ayah kandungnya.
"Mas, jangan ganggu kami lagi. Kau tahu, Trisya meninggal dunia satu bulan lalu karena sakit!"
Trisya tertegun mendengarnya. Bagaimana mungkin seorang ibu mengatakan jika putrinya sudah meninggal padahal dia masih hidup.
"Aku sengaja tidak memberitahu mu! Sudah Mas. Kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Anak yang mengikat kita sudah tidak ada!"
Arin menutup sambungan teleponnya. Wanita itu sekejap menutup mata, lalu dengan cepat mengusap pelupuk matanya yang basah. Dengan cepat ia merubah ekspresinya ketika mendengar panggilan Umar.
Trisya buru-buru menyembunyikan tubuhnya agar tidak terlihat. Arin berlalu begitu saja. Ia tidak melihat keberadaan anak gadisnya yang bersembunyi di balik pot besar. Setelah ibunya pergi, barulah Trisya menangis.
"Bu ... kenapa kau lakukan itu, Bu ... kenapa?" ujarnya sambil terisak tertahan.
"Akan kubuat Kai juga sama menderitanya denganku Bu!" sumpah Trisya. "Aku janjikan itu!"
Arin kini menatap Kaina yang terlelap di dalam boxnya. Wanita itu hanya menghela napas panjang.
"Jika kau tak ada, mungkin usia pernikahanku dengan Ayahmu hanya sementara. Tapi, berkat kau. Aku bisa selamanya menjadi Nyonya Umar," ujarnya bermonolog.
"Jangan sayangi dia melebihi diriku, Bu ... atau kau tahu akibatnya," ancam Trisya sambil lalu.
Arin mendengar itu. Masih menatap Kai yang baru berusia tiga tahun.
"Jangan khawatir, Nak. Ia hanya alat yang mempertahankan kita di sini," ujarnya.
Arin sudah membenci Kai tanpa sebab yang pasti.
bersambung.
hmmm ...
next?