"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Keputusan Rian
Rian menutup matanya, berusaha meredam amarahnya yang bercampur dengan perasaan lain yang sulit ia ungkapkan. Ia ingin marah karena Hania nekat, tapi di sisi lain… ia tahu putrinya melakukan semua ini karena rasa bersalah yang besar.
Riri hanya bisa menghela napas panjang, menatap putrinya dengan perasaan bercampur aduk.
Di ruangan itu, tidak ada yang berbicara lagi untuk beberapa saat. Hanya ada napas berat dan emosi yang belum sepenuhnya reda.
Rian menarik napas panjang, lalu tertawa kecil—bukan tawa bahagia, melainkan tawa yang mengandung rasa frustrasi. “Jadi kau berpikir dengan menyamar dan berinvestasi besar di perusahaannya, kau bisa menebus kesalahanmu?”
Hania menggigit bibirnya, hatinya mencelos. “Aku hanya ingin dia bisa kembali memiliki hidupnya, Pa. Aku ingin dia mendapatkan pengobatan terbaik. Aku ingin dia bisa berdiri lagi… melihat dunia lagi.”
Keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Hania menundukkan kepalanya, kedua tangannya mengepal di atas pahanya. Napasnya sedikit bergetar, namun ia tetap memberanikan diri untuk bicara.
"Mama, Papa… tolong jangan larang aku merawat Ziyo sampai dia sembuh," suaranya penuh permohonan. "Aku mohon… Aku tidak bisa meninggalkannya dalam keadaan seperti ini."
Mata Riri berkaca-kaca melihat putrinya yang begitu tersiksa oleh rasa bersalah. Ia ingin menolak, ingin melarang Hania berhenti menyiksa dirinya sendiri, tapi ia juga tahu—putrinya ini keras kepala. Sekali mengambil keputusan, ia tidak akan mudah goyah.
Rian menatap Hania lama, matanya penuh pertimbangan.
"Sampai kapan kau mau melakukan ini, Hania?" tanyanya pelan, tapi penuh tekanan. "Berapa lama kau akan menyiksa dirimu sendiri dengan rasa bersalah itu?"
Hania menggigit bibirnya. "Sampai aku yakin dia bisa hidup dengan normal lagi."
Rian mengepalkan tangannya. Ia paham karakter putrinya—sekali ia memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa menghentikannya.
"Apa kau sadar ini bukan cuma tentangmu? Bagaimana kalau dia tahu siapa kau sebenarnya? Apa kau siap dengan risikonya?" Rian menatap Hania tajam.
Hania diam. Ia tahu itu kemungkinan terburuk, dan itulah yang selama ini ia takutkan.
Rian menatap putrinya dengan mata yang tajam. “Kau pikir dia tidak akan merasa terhina setelah tahu bahwa wanita yang membuatnya dalam kondisi seperti itu justru menjadi penyelamatnya?”
Hania mengepalkan tangannya lebih erat. “Aku tidak peduli bagaimana perasaannya terhadapku. Yang penting, dia bisa kembali hidup seperti dulu. Setelah itu… aku tidak akan mengganggunya lagi.”
Riri menyentuh lengan suaminya, berusaha menenangkan. "Rian…"
Rian menarik napas panjang, menatap putrinya dengan campuran kemarahan, frustasi, dan… sesuatu yang lain.
"Baik," akhirnya Rian berkata, nadanya berat. "Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Tapi ingat, Hania… cepat atau lambat, kebenaran akan terungkap. Dan saat itu terjadi, Papa harap kau siap menghadapi konsekuensinya."
Hania menatap ayahnya, sedikit terkejut karena mendapat izin lebih cepat dari yang ia kira. Namun, kalimat terakhir ayahnya membuat dadanya semakin sesak.
"Terima kasih, Papa, Mama…" ucapnya pelan.
Riri mengusap kepala putrinya, mencoba tersenyum meski hatinya masih berat. "Hati-hati, Hania. Kami hanya tidak ingin kau terluka."
Hania tersenyum kecil, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Karena dalam hatinya, ia tahu… dirinya mungkin sudah terluka sejak awal.
Rian menghela napas, lalu bangkit dari kursinya, berjalan mendekati putrinya. Ia menatapnya lama sebelum akhirnya berkata dengan suara yang lebih lembut, “Kau bodoh, Hania.”
Hania menahan napas.
“Tapi… Papa akan membantumu.”
Mata Hania melebar. “Pa-papa…?”
Rian menatap putrinya dengan penuh kebapakan, meski tetap ada ketegasan di matanya. “Papa akan memastikan Ziyo mendapatkan donor kornea dan terapi terbaik. Papa juga akan berinvestasi di perusahaannya.”
Hania terpaku. Dadanya sesak oleh emosi yang membuncah.
“Tapi setelah semuanya selesai, Papa ingin kau berhenti menyiksa dirimu sendiri,” lanjut Rian. “Papa ingin kau kembali ke tempatmu seharusnya, Hania.”
Hania menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, meski kata-kata ayahnya terdengar tegas, ada kasih sayang besar di baliknya.
Namun, bisakah ia benar-benar pergi setelah semua ini berakhir?
***
Suara bel rumah berbunyi, memecah kehangatan di meja makan.
Rita menatap ke arah pintu utama sejenak. "Siapa yang datang? Tak biasanya kita punya tamu," gumamnya yang masih sibuk menata hidangan.
Clara menoleh ke arah ibunya. “Bryan, Ma. Aku yang undang,” katanya ringan. “Bryan akan makan malam bersama kita.”
Rita menghentikan gerakannya. Tangannya yang baru saja hendak mengambil sendok mengeras di udara sebelum akhirnya diletakkan perlahan di meja. Ia menatap putrinya dengan ekspresi datar, tetapi sorot matanya menyiratkan ketidaksetujuan yang selama ini ia pendam.
Sejak Clara meninggalkan Ziyo demi Bryan, ada sesuatu yang mengganggu hati Rita. Bukan sekadar rasa kecewa karena putrinya meninggalkan pria yang menurutnya baik, tetapi lebih dari itu—Rita selalu merasa Bryan menyembunyikan sesuatu.
Dan malam ini, Clara malah mengundangnya.
Rita menghela napas pelan. Perasaan tak nyaman menjalar di dadanya, tapi ia memilih diam. Tak ada gunanya berdebat sekarang.
Clara membukakan pintu, dan di sana berdiri Bryan dengan senyuman hangat. Ia membawa Bryan ke ruangan makan. Dengan senyum khasnya, Bryan menyapa Rita. “Malam Tante. Maaf kalau mengganggu waktu makan malam,” ucapnya sopan.
Rita hanya mengangguk kecil, tidak berniat menyambutnya dengan hangat. Ia mempersilakan Bryan duduk, meski dalam hati ia berharap pria itu segera pergi.
Mereka mulai makan dalam diam. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang terdengar. Clara sesekali melirik Bryan dengan tatapan penuh harap, sementara Bryan sendiri terlihat santai, seolah tak menyadari hawa dingin yang memancar dari Rita.
Sesekali, Rita memerhatikan Bryan. Cara pria itu berbicara, bagaimana ia menata senyumannya, bahkan setiap gerak-geriknya. Ia tampak begitu sempurna di permukaan—terlalu sempurna.
Akhirnya, Rita membuka suara, suaranya tenang tetapi tajam. “Jadi, Bryan. Apa rencanamu ke depan?”
Bryan mengangkat wajahnya, tersenyum seolah pertanyaan itu bukanlah beban. “Tentu saja, saya ingin membangun masa depan bersama Clara. Saya ingin memastikan dia bahagia.”
“Benarkah begitu?” Rita menatapnya dalam.
Bryan masih tersenyum, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah sekilas sebelum kembali seperti biasa.
“Kenapa, Ma?” Clara menyela, tak suka dengan nada ibunya. “Kenapa Mama selalu bersikap seperti ini pada Bryan?”
Rita meletakkan sendoknya, tatapannya beralih ke putrinya. “Karena Mama ingin yang terbaik untukmu, Clara.”
“Bryan adalah yang terbaik untukku,” Clara menegaskan.
Rita diam sesaat. Ia menatap putrinya, lalu kembali ke Bryan. Ada sesuatu yang ia rasakan—sesuatu yang membuatnya semakin tidak nyaman.
Tapi ia tak ingin memperpanjang pembicaraan ini.
Rita akhirnya menghela napas, memilih untuk melanjutkan makannya. Tapi satu hal pasti, perasaan buruk itu semakin kuat.
Dan ia takut, cepat atau lambat, Clara akan menyadari sesuatu yang seharusnya ia sadari sejak awal.
Setelah makan malam, Bryan meletakkan sendoknya dan menatap Rita dengan ekspresi serius.
“Ada yang ingin saya bicarakan, Tante,” katanya.
Rita mengangkat alis, lalu menoleh ke Clara, yang tampak gelisah di tempat duduknya. Sesuatu dalam tatapan putrinya membuat firasat buruk Rita semakin kuat.
Akhirnya mereka duduk di ruang keluarga. Bryan tampak percaya diri, duduk dengan postur tegak, sementara Clara sedikit menunduk, seolah ragu-ragu dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Bryan menarik napas, lalu menatap Rita dengan mantap. “Clara sedang mengandung anak saya. Saya ingin bertanggung jawab dan menikahinya.”
Hening.
Dunia Rita terasa berhenti sejenak.
Dada Rita bergetar hebat, seakan ada sesuatu yang menekan dadanya dengan kuat. Ia menatap Clara dengan campuran rasa marah, kecewa, dan tak percaya.
“Clara… hamil?” suaranya hampir berbisik, lebih kepada dirinya sendiri.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Tinggal bersama kakak ziyo dan hania...
Diva dilaporkan ke polisi...
Demi ambisimu ingin menguasai perusahaan Clara tega selingkuh dengan Clara...