"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
Raga mengunci pagar rumahnya sambil memperhatikan sekeliling rumahnya yang dirasanya sudah aman untuk ditinggalkan, untungnya Biu sudah dititipkan pada Theo yang kemarin berkunjung. Kemarin malam dia sudah mampir ke rumah pak RT untuk pamit pergi dan menemui pak Ujang sang satpam komplek untuk menitipkan rumahnya. Dinaikinya sepeda motor kesayangan dan membawanya melaju ke stasiun kereta.
Raga berdiri di peron stasiun sambil menggenggam tiket kereta. Pagi itu, stasiun dipenuhi hiruk-pikuk—pengumuman jadwal kereta dan langkah tergesa-gesa para penumpang.
Ia tidak tergesa-gesa seperti kebanyakan orang di sana. Dengan ransel yang berada di punggung dan secangkir kopi di tangan, ia berdiri memandangi papan elektronik yang menampilkan jadwal keberangkatan.
Saat kereta datang, Raga melangkah masuk, mencari tempat duduknya di dekat jendela. Ketika kereta mulai bergerak perlahan, ia menyandarkan kepala ke kursi, menyaksikan pemandangan stasiun yang perlahan menghilang. Suara ritmis roda kereta di atas rel mulai memenuhi ruangan, memberi irama yang menenangkan.
Suasana di kereta saat itu tidak terlalu ramai mungkin karena memang bukan musim liburan. Raga duduk sendiri sementara kursi di sampingnya kosong. Ia memandangi pemandangan yang mempesona di matanya, sambil mengeluarkan sebiji roti yang kemarin malam sudah di belinya.
Tujuannya hari itu ke Yogyakarta tempat di mana ayahnya kini tinggal. Pria itu pindah setahun yang lalu karena tiba-tiba ada perintah mutasi oleh perusahaan tempatnya bekerja.
Beberapa tahun setelah kepergian ibu Raga, ayahnya menikah lagi dengan seorang kenalan temannya. Tante Restu begitu biasa Raga memanggilnya, dia orang yang sangat perhatian dan baik hati. Awalnya Raga ragu menerima fakta bahwa ayahnya akan menikah dengan orang asing, beberapa temannya mengompori dia dengan berkata bahwa hidupnya akan dipersulit dengan hadirnya ibu tiri, namun semua itu salah.
Sekitar setahun setelah mereka menikah hadirlah adik baru untuk Raga, mereka kembar berusia 9 tahun bernama Kian dan Keenan. Anak-anak itu sangat menyayangi Raga begitupun juga dia. Semula hubungannya dengan sang ibu tiri tidak terlalu bagus namun dengan kehadiran adik-adiknya itu membuat dirinya lebih terbuka dan menerima tante Restu.
Raga terhenyak dan mengecek sesuatu di ponselnya, dia membuka aplikasi kalender dan sadar bahwa lusa adalah ulang tahun si duo kembar, momen yang pas pikirnya. Dia pun terhanyut pada pemikirannya tentang hadiah apa yang akan ia berikan pada anak-anak itu.
Kereta melaju dengan kecepatan yang stabil. Raga mengedarkan pandangan kesekeliling tepat di sebelahnya ada pasangan orang tua yang sedang bercengkrama di depannya ada seorang pria rapi duduk sendiri dan kursi di belakangnya kosong. Matanya kembali memandang pemandangan di luar jendela terpesona oleh lanskap yang terus berganti. Sawah hijau terbentang luas, rumah-rumah kecil dengan atap merah yang tampak seperti mainan, pohon-pohon rimbun yang sesekali menyelinap di antara perbukitan.
"Raga?" tanya seseorang yang membuyarkan lamunannya, seorang pria dengan dandanan cukup serampangan menurutnya. Raga memandanginya cukup lama bingung apakah dia kenal dengan orang itu atau tidak.
"Masih ingat aku? Temanmu SMP." Tanpa basa-basi dia langsung duduk di kursi kosong sebelahan dengan kursi Raga.
"Oh ya?" Raga tampak tidak yakin dengan hal itu dia berusaha keras mengingat pria itu. Tak kunjung mendapat ide pria itu lalu menunjukkan jidatnya yamg tertutup poninya, Raga menangkap sesuatu yaitu bekas luka yang membuatnya teringat masa lalu.
"Tyo? Ya tuhan apa kabar?". Mereka pun berjabat tangan dan saling tersenyum.
"Baik. Dirimu sendiri bagaimana? Masih tinggal di rumah yang sama?" tanya Tyo tersenyum riang menampakkan gigi depannya yang tidak begitu rapi.
"Masih. Aku belum berniat pindah ke tempat lain. Mau ke Jogja juga ya?" Raga menatap pria itu dengan seksama.
Dulu dia ingat sekali pria itu adalah ketua kelas 8, teman dekat Raga. Pada waktu itu penampilannya sangat rapi tanpa cela, rambut disisir ke belakang, atribut seragam selalu lengkap dan kaos kaki selutut.
Kini orang di hadapannya tampak seperti orang lain. Rambutnya panjang sebahu dengan poni menutupi alisnya, acak-acakan. Dia memakai kaos hitam bertuliskan nama band rock yang mungkin favoritnya, celana jeans hitam lengkap dengan gantungan rantai di saku sebelah kirinya dan sepatu boot kusam berwarna hitam yang warnanya sudah luntur.
"Iya rencananya lusa aku mau naik gunung, tapi ini mau singgah dulu ke rumah temanku," ucapnya santai sambil bersender ke kursi.
"Aku selalu ingin mencoba naik gunung, tapi tidak pernah kesampaian. Katakan bagaimana rasanya?" Raga penasaran mendengarnya.
"Kau bisa ikut denganku kapan-kapan. Mungkin setiap orang punya persaan berbeda, kalau aku bisa merasakan kebebasan sesungguhnya di sana seperti dirimu menyatu dengan alam, merasakan udara yang masih segar dan pemandangan yang mempesona," ucapnya sembari mengingat perasaan terakhir kali dia mendaki.
"Ah, akan kucoba nanti jika ada waktu lagi," ucap Raga yang antusias.
"Kau sendiri mau apa di Jogja? Kerja kah?" tanya Tyo sembari melakukan peregangan.
"Aku mau mengunjungi ayahku."
"Ayahmu? Sudah pindah rupanya. Jadi kau sekarang tinggal sendiri?" tanya Tyo sedikit terkejut mendengarnya.
"Iya. Sekitar setahun yang lalu." Mereka berdua terdiam beberapa saat sampai Tyo berbicara tentang sosok dari masa lalunya.
"Sepertinya dua bulan lalu aku bertemu dengan si behel di Jogja. Kau masih ingat dia kan?" Raga tertegun dan penasaran.
"Tentu saja," ucapnya sembari mengingat sosok anak perempuan berbehel yang selalu meneriakinya dulu.
"Kalian musuh bebuyutan. Aku masih ingat saat dia menarik rambutmu saat jam pelajaran olahraga," ucap Tyo sambil tertawa terbahak-bahak membuat beberapa orang menoleh padanya, Raga yang mendengarkan celoteh pria itu hanya bisa tersenyum menyesal dengan kelakuannya.
Sepeninggal Tyo yang tadi entah berapa lamanya ia harus mendengarkan ocehan pria itu, Raga mencoba untuk tidur tinggal 4 jam lagi ia akan sampai ke tempat yang ia tuju.
Raga terbangun dari tidurnya, dan mengedarkan pandangan ke sekeliling matahari sudah semakin tinggi. Dia mengambil ponselnya dan mengecek jam, sebentar lagi akan sampai pikirnya. Dia pun mengeluarkan laptopnya dan memasang headphone. Dia memutuskan untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang sempat tertunda demi mengisi waktu.
Raga terhanyut dalam pekerjaannya dan tanpa sadar kereta api sudah sampai ke stasiun tujuannya. Beberapa penumpang bersiap-siap untuk segera turun sementara dia mulai membereskan laptopnya.
Raga melangkah sambil menggendong tas ranselnya, berjalan menuju pintu keluar yang penuh sesak dengan orang-orang. Matanya menangkap sosok pria tua yang sedang melongok ke dalam mencari seseorang.
"Mas Raga!" teriak anak kecil yang berlari ke arahnya, yang satu lagi ditahan oleh sang ayah yang sigap karena takut menghalangi orang-orang yang ingin keluar.
"Keenan," ucap Raga sambil memeluk adik kecilnya yang sumringah menyambut dia.
Mereka lalu bergegas menghampiri ayahnya yang tampak jelas di wajahnya jika dia sangat rindu pada anak sulungnya itu. Tanpa basa-basi ayahnya memeluk Raga dengan erat.