Istri mana yang tak bahagia bila suaminya naik jabatan. Semula hidup pas-pasan, tiba-tiba punya segalanya. Namun, itu semua tak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang mengangkat derajat keluarga justru melenyapkan kebahagiaan Jihan. Suami setia akhirnya mendua, ibu mertua penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya. Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula wanita masa lalu Aidan hadir bersamaan dengan mantan suami Jihan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan? Akankah Jihan dapat meraih kembali kebahagiaannya yang hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11~ TERIMA KASIH SUDAH MEMBEBASKAN AKU
"Udah ya, Nak. Jangan bicara begitu lagi, Ayah sayang kok sama kita. Sekarang, ayo Bunda antar ke kamar, Dafa harus istirahat yang banyak biar badannya cepat pulih."
Dafa menurut saja begitu Jihan menggendongnya pergi, namun dibalik tubuh sang bunda tatapannya terus tertuju pada pintu kamar ibu tirinya.
Sesampainya di kamar, Jihan langsung membaringkan Dafa di tempat tidur, ia pun ikut berbaring di sisinya. Mengelus-elus pucuk kepala sambil melantunkan sholawat sampai putranya tertidur.
"Cepat sehat ya, Nak." Ia mengecup kening putranya cukup lama, pikirannya tertuju pada kata-kata Dafa beberapa saat lalu.
'Dafa yang sabar ya, Nak. Allah pasti bukakan jalan untuk kita,'
.
.
.
Waktu terus bergulir, beberapa bulan ini dilalui Jihan seperti biasanya. Menahan kepedihan, sesak yang tertanam di dada. Kata adil yang diucapkan suaminya, nyatanya ia harus menelan kekecewaan karena Windi lah yang justru lebih diutamakan dengan dalih kehamilannya yang lebih membutuhkan perhatian khusus. Bahkan ia bisa menghitung jari, berapa kali Fahmi tidur di kamarnya semenjak ada Windi.
Meski Windi telah berhenti bekerja lantaran kehamilannya yang semakin menonjol, tetap tak membantu meringankan pekerjaan rumah yang selalu nya hanya dikerjakan oleh Jihan seorang diri. Semua itu karena larangan Fahmi yang khawatir terjadi sesuatu pada kandungan istri keduanya itu.
Setiap harinya hanya dihabiskan Windi dengan bersantai, sesekali keluar rumah yang katanya refreshing agar janinnya tidak stres. Sedangkan Jihan di rumah, tak hanya memikul beban dihati dan pikirannya, namun setumpuk pekerjaan rumah harus ia kerjakan tanpa bantuan. Saat mengandung Dafa pun ia tetap mengerjakan pekerjaan rumah, sedangkan untuk jalan-jalan tak pernah terbesit dalam pikirannya sebab harus memaklumi kondisi perekonomian mereka saat itu.
Hari sudah beranjak sore saat Jihan menuju pekarangan rumah untuk memungut pakaian yang terjemur.
Baru beberapa helai pakaian yang ia masukkan kedalam keranjang, tiba-tiba saja terdengar suara Dafa yang meneriakinya, ia pun segera berlari masuk ke rumah menghampiri putranya.
"Dafa, ada apa, Nak?" Tanya Jihan khawatir.
"Bunda, Dafa dicubit sama Tante Windi." Adu bocah lelaki itu sambil memperlihatkan lengannya yang tampak memerah.
"Astagfirullah," Jihan menarik nafas, meski putranya telah menunjukkan bukti, namun ia tetap tidak boleh hanya mendengar satu pihak saja. Ia pun mengalihkan pandangannya pada Windi.
"Kenapa kamu nyubit Dafa?"
"Coba Mbak lihat, Dafa menumpahkan air minum, gimana kalau aku aku lewat situ terus terpeleset. Memangnya dia bisa tanggung jawab kalau sampai terjadi apa-apa sama kandungan aku?" Ucap Windi dengan nada suara sedikit tinggi sambi menunjuk ke arah lantai di sisi kirinya.
Jihan melirik ke sebelah kiri Windi, memang ada air yang tumpah di lantai.
"Tante Windi bohong, Bunda. Bukan Dafa yang tumpahkan airnya, tapi Tante Windi sendiri. Tante Windi marah karena Dafa cuma ambilin air minum setengah gelas karena Dafa takut tumpah. Terus Tante Windi nyuruh Dafa buat ambilin air lagi, tapi Dafa gak mau terus dicubit sama Tante Windi." Ucap Dafa mengatakan yang sebenarnya.
"Eh kamu ya, kecil-kecil sudah pintar bohong. Awas nanti kalau Ayah kamu pulang, Tante bakal aduin kalau kamu nakal dan hampir mencelakai Tante!" Ancam Windi.
Dafa dengan cepat bersembunyi dibalik tubuh bundanya, dapat Jihan rasakan kedua tangan putranya bergetar memegang pundaknya.
"Bunda, Dafa gak bohong. Tante Windi yang bohong." Lirih Dafa yang hanya dapat didengarkan oleh Jihan.
"Windi, aku yang lebih tahu bagaimana putraku. Aku tidak pernah mengajarinya untuk berbohong, kalaupun memang dia yang berbohong maka aku sendiri yang akan menghukumnya. Tapi saat ini aku lebih percaya putraku, dan kamu seharusnya malu pada diri kamu sendiri. Sebentar lagi kamu juga akan menjadi seorang ibu, tapi sikap kamu terhadap anak-anak sangat tidak mencerminkan kepribadian seorang ibu. Kenapa hanya masalah kecil sampai harus kamu besar-besarkan, memutarkan balikan fakta dan menuduhkan putraku atas perbuatan yang kamu lakukan sendiri!" Ucap Jihan.
Windi mengepalkan tangannya, ia baru saja membuka mulut hendak melontarkan kalimat balasan. Namun, urung begitu mendengar suara klakson mobil Fahmi. Ia menarik sudut bibirnya menyeringai tipis, akan ia gunakan kesempatan ini untuk membuat Jihan dan anaknya dimarahi habis-habisan oleh Fahmi.
Begitu mendengar derap langkah kaki Fahmi, Windi pun segera duduk di lantai tepat di atas air yang ia tumpahkan sendiri. Kemudian berteriak seolah-olah sedang kesakitan.
Mendengar teriakkan Windi, Fahmi segera berlari menuju asal suara. Kedua matanya membulat penuh melihat istri keduanya itu terduduk di lantai sambil memegang perut mengerang kesakitan.
"Windi, apa yang terjadi?" Dengan raut penuh kecemasan Fahmi berjongkok di sisi Windi, dan membantu mengelus-elus perutnya.
"Aku terpeleset Mas, itu semua gara-gara Dafa yang numpahin air minum. Mbak Jihan bukannya bantuin aku malah belain Dafa."
Penuturan Windi membuat emosi Fahmi seketika memuncak. Ia menatap Jihan tajam dengan rahang yang mengeras.
"Kalian tunggu disini, aku akan buat perhitungan pada kalian berdua!" Tukasnya kemudian segera menggendong Windi menuju kamar.
Dengan penuh perhatian dan kehati-hatian membaringkan tubuh istrinya itu di tempat tidur. "Apa sakit sekali? Sebaiknya kita ke rumah sakit aja ya, aku takut kandungan kamu kenapa-kenapa."
"Masih sakit sedikit, Mas. Gak perlu ke rumah sakit, istirahat sebentar juga pasti udah baikan kok," ucap Windi.
"Kamu yakin gak apa-apa?" Tanya Fahmi memastikan.
Windi menjawabnya dengan anggukan, tersenyum agar lebih meyakinkan.
"Ya sudah, kamu istirahat ya. Aku keluar sebentar." Dengan langkah cepat Fahmi keluar dari kamar.
Windi seketika tersenyum lebar begitu pintu kamarnya kembali tertutup, "Rasain ya kalian berdua!"
Jihan dan Dafa masih berada di tempatnya saat Fahmi kembali menghampiri mereka. Meski tatapan suaminya begitu tajam, namun Jihan sama sekali tak gentar. Hanya Dafa yang semakin ketakutan, dan semakin merapatkan wajah dipunggung sang bunda saat ayahnya datang.
"Dafa, ke sini kamu!" Panggil Fahmi dengan suara yang menggelegar.
"Dafa, Ayah bilang kesini! Kamu harus dihukum karena sudah membuat Tante Windi hampir celaka. Kamu tahu gak didalam perut Tante Windi itu ada adik kamu!"
"Mas, Dafa gak salah. Windi sendiri yang menumpahkan airnya karena gak terima Dafa mengambilkan air minum sedikit. Terus duduk dilantai seolah-olah dia terpeleset." Kilah Jihan.
Fahmi tak serta merta menelan ucapan Jihan, justru tatapannya kian tajam. "Ibu macam apa kamu? Anak kamu udah buat salah bukannya dikasih tahu malah dibela. Bagaimana kalau tadi sampai terjadi sesuatu sama kandungan Windi. Aku gak akan ampuni kalian berdua kalau anakku sampai kenapa-kenapa!"
Jihan memejamkan mata sejenak, helaan nafasnya terdengar berat. "Mas, Dafa itu juga anak kamu, dan Dafa sama sekali gak salah. Windi yang sudah mengarah cerita dan memutarbalikkan fakta."
Plakkkk...!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Jihan, "Mas, kamu nampar aku?" Jihan menatap suaminya tak percaya, ia memegangi pipinya yang terasa memanas. Saat itu juga setetes air matanya jatuh, bukan karena rasa sakit bekas tamparan itu. Tapi hatinya yang terasa tercabik-cabik, sebab selama membangun rumah tangga bersama Fahmi ini adalah yang pertama kali suaminya itu mendaratkan tangan di pipinya, dan itu dilakukan dihadapan Dafa putra mereka.
"Aku bakal lakukan lebih dari itu kalau kamu masih berani menuduh Windi yang tidak-tidak!" Tunjuk Fahmi didepan wajah Jihan. Tak ada rasa bersalah sedikitpun setelah menampar wanita yang telah menemaninya sejak dia bukan siapa-siapa.
"Sesekali aku ingin kamu bercermin dan melihat siapa yang lebih pantas mendampingi mu, Mas. Apakah aku, orang yang bersedia hidup bersamamu dalam keadaan apapun. Atau Windi, orang yang kamu anggap menarik meski sebenarnya adalah pengganggu! Hanya karena dia, kamu sampai menampar aku dan tidak mempercayai putramu sendiri."
Kedua tangan Fahmi terkepal erat, nafasnya terdengar memburu menahan amarah. "Kalau aku tidak ingat kamu adalah ibu dari anakku, aku akan sudah menendang kamu keluar dari rumah ini!"
"Tanpa kamu suruh pun, aku akan dengan senang hati meninggalkan rumah ini Mas. Aku tidak akan membawa apapun dari rumah ini, yang aku minta jangan halangi aku membawa putraku pergi." Ucap Jihan.
Fahmi berdecih, tersenyum meremehkan Jihan. "Silahkan kamu bawa Dafa, aku ingin lihat bagaimana perempuan tidak berpendidikan seperti kamu bisa menghidupi Dafa diluar sana!"
Jihan segera mengusap air matanya yang spontan saja jatuh mendengar hinaan itu. Bibirnya terkatup rapat, membela diri pun akan percuma. Fahmi benar-benar sudah dibutakan oleh harta dan wanita.
"Sebelum aku melangkah keluar dari rumah ini. Alangkah baiknya jika Mas Fahmi juga membebaskan aku dari pernikahan kita. Aku rasa Mas Fahmi juga sudah tidak membutuhkan aku lagi sebab sudah ada Windi yang lebih segalanya dariku." Jihan menghela nafas panjang setelah mengatakan itu. Dadanya terasa sesak membayangkan pernikahan yang telah ia bangun selama lebih enam tahun bersama Fahmi harus berakhir.
"Kamu ingin cerai dariku?" Fahmi tertawa sumbang. "Baik, akan aku kabulkan. Mulai detik ini juga kamu bukanlah lagi istriku. Jihan Maharani, aku talak kamu!"
Kalimat yang menggelegar itu bagaikan petir di siang bolong. Meski terasa sangat menyakitkan, namun Jihan tidak ingin menitihkan air matanya lagi.
"Terima kasih sudah membebaskan aku, Mas. Dan juga memberikan Dafa sepenuhnya padaku." Ucap Jihan tersenyum.
pasti Jihan mau melakukan tes DNA secara diam-diam karena kalo secara langsung pasti tu ulat akan curiga..ya kan Jihan
terus kembali juga tiba tiba...
duh Nur bikin penasaran aja deh