Shiza, murid pindahan yang langsung mencuri perhatian warga sekolah baru. Selain cantik, ia juga cerdas. Karena itu Shiza menjadi objek taruhan beberapa cowok most wanted di sekolah. Selain ketampanan di atas rata-rata para cowok itu juga terlahir kaya. Identitas Shiza yang tidak mereka ketahui dengan benar menjadikan mereka menganggapnya remeh. Tapi bagaimana jika Shiza sengaja terlibat dalam permainan itu dan pada akhirnya memberikan efek sesal yang begitu hebat untuk salah satu cowok most wanted itu. Akankah mereka bertemu lagi setelah perpisahan SMA. Lalu bagaimana perjuangan di masa depan untuk mendapatkan Shiza kembali ?
“Sorry, aku nggak punya perasaan apapun sama kamu. Kita nggak cocok dari segi apapun.” Ryuga Kai Malverick.
“Bermain di atas permainan orang lain itu ternyata menyenangkan.” Shiza Hafla Elshanum
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ririn rira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hujan
Shiza duduk di halte tidak jauh dari gerbang sekolah. Ia memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang. Berharap jemputan cepat datang. Shiza merasa lelah hari ini. Selain cuaca panas di atas rata-rata, tenaga Shiza juga terkuras. Ia berniat naik ojol tapi pesan dari mama Adina ingin menjemput. Di langit sudah tidak seterik tadi ada di beberapa tempat awan tampak menghitam tipis. Pengap terasa beradu dengan hawa aspal jalanan semakin membuat Shiza merasa gerah.
“Shiza, ayo ikut.” Teriak Adel dari dalam mobil.
“Aku nunggu mama udah di jalan.”
“Kamu dijemput ?” Bestari Ananditha— ibunda Adel mencondong tubuh ke kaca.
“Iya tante.”
“Kalau gitu tante duluan ya salam buat mama kamu.” Bunda Tari melajukan mobilnya.
Shiza kembali menatap layar ponsel. Sekolah semakin sepi orang-orang sudah dijemput. Hanya ada beberapa yang tersisa di parkiran. Shiza duduk sendirian karena Aysela sudah pulang lebih dulu karena mamanya tepat waktu menjemput.
“Sendirian, Neng?”
“Candra.” Shiza terkejut. “Kamu belum pulang?”
“Ini mau pulang tapi setelah kamu pulang.”
“Aku sudah dijemput. Nggak apa-apa kamu pulang saja duluan.”
“Aku temenin.” Candra melemparkan tatapan ke arah jalanan.
“Rumah kamu dimana?”
“Jauh.” Candra tersenyum. “Kamu mau main?”
“Emang boleh?” Shiza sangat menunggu jawaban.
“Boleh, kapan-kapan aku ajak ke rumah.” Candra mengeluarkan botol air dari dalam tas. “Mau minum?”
“Nggak haus, terimakasih.” Shiza menarik pandangnya. “Kamu naik sepeda?”
“Iya, kamu bisa naik sepeda?”
Shiza menggeleng sambil menunduk. “Nggak, aku pernah belajar naik sepeda tapi jatuh terus lutut aku luka. Aku takut naik sepeda.”
Candra tertawa. “Nanti aku ajarin, mau?”
Shiza mengangguk. “Mau.” Senyum harap dan antusias menggembang di bibir gadis itu.
“Shiza.” Sebuah mobil warna putih berhenti di depan halte. Kaca terbuka mama Adina tersenyum mengangguk pada anak laki-laki di samping putrinya.
“Mama aku udah datang, kamu pulang juga ya terimakasih udah nemenin.” Shiza berdiri mengibas rok seragam bagian belakangnya.
“Iya hati-hati.” Candra bersiap menaiki sepeda ontel miliknya. Sepeda tidak lagi baru tapi masih layak dipakai.
“Kamu juga, sampai ketemu besok.” Shiza masuk kedalam mobil. “Candra tunggu, ini buat minum di jalan.” Gadis itu menyerahkan sebotol air mineral masih bersegel. “Air kamu sudah habiskan.”
Candra terpaku sejenak lalu tersenyum. “Terimakasih.” Ucapnya menerima botol itu dan menyimpan ke dalam tas.
Mobil putih mama Adina perlahan meninggalkan halte. Candra menatapnya dengan lamat. Setelah mobil itu sedikit menjauh, Candra memutar arah sepeda untuk pulang. Tidak mereka sadari tiga pasang mata memperhatikan sejak tadi dari parkiran.
“Lihat, pesona kamu kalah dari Candra.” Ejek Chio
Ryuga mengepalkan tangannya. “Jadi apa yang kamu dapatkan?” Mengabaikan rasa dongkolnya. Ia bertanya apa yang dititahkan pada Chio.
“Shiza dari kanada, papa nya pindah kerja jadi dia ikut juga.”
“Jadi mereka bukan pebisnis.” Ryuga tersenyum sinis.
“Memang kenapa kalau mereka bukan dari kalangan pebisnis?” Dariel memasang helm di kepalanya bersiap untuk pulang.
“Setidaknya aku bisa menekan nya jalur Papa.”
“Kamu terobsesi !” Tebak Chio siap melaju.
“Nggak, setidaknya aku punya kelemahan untuk menaklukan nya.”
“Ryu, aku lihat Shiza tidak suka kekerasan kalau mau dekat sama dia coba belajar dari Candra.” Dariel meninggalkan halaman parkir.
Ryuga terdiam, mungkin yang dikatakan Dariel benar. Mereka belum berkenalan dengan benar, hanya dia yang tahu Shiza tapi belum tentu gadis itu. Dari awal pertemuan ia sudah seperti melihat mangsa pada Shiza. Pantas gadis itu tidak tertarik dengannya.
🌷🌷🌷
“Jadi namanya Candra?” Mama Adina menoleh sekilas.
“Iya, dia sekolah pakai sepeda. Aku bolehkan belajar naik sepeda lagi?”
“Boleh, tapi siapa yang ngajarin?” Mama Adina membelok setir ke arah toko kue.
“Candra.”
“Oke nanti kita beli sepeda, ayo turun dulu mama mau beli kue.”
Shiza mengangguk, setelah keluar dia baru menyadari jika langit sudah berkerudung mendung. Tetesan hujan jatuh ke atas kulitnya. Shiza melangkah cepat ke dalam toko. Tidak lama ribuan hujan sudah menyerbu bumi. Tetasan kristal air itu menguasai bersamaan angin yang datang. Air mulai menggenang di selokan saking derasnya.
“Ma hujan deras.”
“Kita tunggu agak reda ya, jarak pandang terbatas kalau kaya gini.” mama Adina mengajak putrinya duduk sambil menunggu.
“Hujannya cuma disini aja kan?” Shiza terlihat gelisah.
“Kaya nya rata, tuh langitnya hitam banget.” mama Adina menangkap kegelisahan putrinya.
Satu jam kemudian hujan menyisakan gerimis, angin tidak sebrutal tadi menerpa. Shiza dan mama Adina melanjutkan perjalanan pulang. Obsidian Shiza terpaku pada luar jendela mobil. Gelisah sejak tadi belum juga berhenti.
“Aku ganti baju dulu.”
“Iya, cepat turun kita makan bareng.”
Shiza mengangguk langkahnya lesu menaiki undakan tangga. Pikirannya tertuju pada satu orang yang itu Candra. Apa pemuda itu sudah sampai ? Apa dia kehujanan ? Hembusan nafas kasar terdengar dari bibir Shiza. Bahunya luruh menjatuhkan tubuh di atas kasur. Ia meraih ponsel lalu menchargernya. Shiza mengganti baju dan membersihkan diri. Shiza harus memastikan kalau Candra sudah sampai di rumah. Gadis itu membuka aplikasi chat lalu mencari grup kelasnya setelah menyimpan nomor Chandra. Sedikit ragu Shiza mencoba menghubunginya. Menunggu beberapa detik tidak ada jawaban dari seberang sana, gelisah kembali merajai. Menimbang sejenak, ia memutuskan mengirim pesan saja.
Candra, kamu sudah sampai rumah.
Shiza meninggalkan ponselnya. Lalu memutuskan untuk makan. Meski cemas masih melanda tapi Shiza harus mengisi amunisi tubuhnya.
🌷🌷🌷
“Nak, kamu basah?” Seorang wanita tergopoh menghampiri putranya yang basah kuyup. “Kenapa nggak neduh?” Sambungnya panik memberikan handuk lalu berlari ke dapur membuat teh hangat.
“Nggak apa-apa Bu, tadi aku udah neduh tapi hujan lebat banget jadi aku terusin aja pulangnya. Udah lapar juga.”
Sang ibu merasa terenyuh. “Sekarang ganti bajumu setelah nya langsung makan. Ini ibu buatkan teh hangat.”
“Iya Bu.”
“Bang Candra !” Seorang anak perempuan menghampiri dengan membawa ponsel di tangan. “Ini ada pesan tapi belum aku buka, tadi nelpon juga nggak aku jawab.”
“Pinter.” Candra mengusap lembut rambut gadis manis itu. “Kamu gak kehujanan kan?”
“Nggak, tadi bapak jemput sebelum hujan.” Anak gadis bernama Narin itu kembali masuk ke dalam kamarnya.
Candra membuka pesan yang dimaksud adiknya. Bibirnya tersenyum ketika melihat profil pengirimnya. Jari-jarinya cepat membalas pesan itu.
Sudah
Meletakan ponsel di atas meja, Candra mengenakan pakaian serba panjang untuk mengurangi rasa dingin. Telapak tangannya hangat menyentuh gelas teh. Tatapan Candra jatuh pada sepasang sepatu yang sudah basah sempurna. Helaan nafasnya terdengar lalu meraih piring berisi nasi untuk makan.
“Kenapa baru pulang?”
Candra menelan makanannya sebelum menjawab. “Tadi niatnya langsung pulang tapi nggak sengaja liat temen sekelas nunggu jemputan jadi aku nggak tega biarin cewek nunggu sendirian di halte. Dia baru pindah.”
Ibu Niken tersenyum. “Nanti nggak usah bantu bapak dulu, kamu istirahat aja.”
“Aku nggak apa-apa bu masih bisa bantu bapak jualan.”
“Terserah kamu, jangan dipaksakan kalau capek.” Ibu Niken membereskan meja makan.
Candra mengambil sepatunya lalu meletaknya di belakang kulkas. Ia gegas ke kamar untuk merebahkan daksanya sebelum ke pasar. Candra dari keluarga sederhana, apa itu bermain ? Candra tidak punya waktu itu. Waktunya dihabiskan belajar dan membantu bapak berjualan di pasar.