Dina yang baru beberapa hari melahirkan seorang bayi laki-laki dan menikmati masa-masa menjadi seorang ibu, harus menghadapi kenyataan saat suaminya tiba-tiba saja menyerahkan sebuah surat permohonan cerai kepadanya lengkap dengan keterangan bahwa hak asuh anaknya telah jatuh ke tangan suaminya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. "Cepat tanda tangan" titahnya.
Selama ini, dirinya begitu buta dengan sikap kedua orang yang sangat dia percayai. Penyesalan atas apa yang terjadi, tidak merubah kenyataan bahwa dirinya kini telah ditelantarkan sesaat setelah dia melahirkan tanpa sepeser pun uang.
Putus asa, Dina berusaha mengakhiri hidupnya, namun dirinya diselamatkan oleh seorang wanita tua bernama Rita yang juga baru saja kehilangan putrinya akibat kecelakaan.
Seolah takdir, masih berbelas kasih padanya, Dina menyusun rencana untuk merebut kembali anaknya dari tangan Ronny suami beserta selingkuhannya Tari, serta bertekad untuk menghancurkan mereka berdua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Pagi itu, sinar matahari yang masuk melalui jendela kamar tamu perlahan membangunkan Dina dari pingsannya. Kesadarannya masih samar-samar, namun begitu dia membuka matanya, perasaan panik langsung menyeruak. Dalam sekejap, pikirannya tertuju pada satu hal—bayinya, Gio.
"Gio! Gio di mana?" Dina memanggil-manggil dengan suara serak, matanya liar mencari sosok kecil yang biasa ada di sisinya. Perawat yang sedang berjaga berusaha menenangkannya, namun semakin perawat itu mencoba, Dina semakin histeris. Tangisnya pecah, tangannya menggenggam erat selimut, sementara tubuhnya yang lemah terguncang karena teriakan yang memanggil-manggil nama anaknya.
“Tenang, Bu… tenang dulu…” ucap perawat itu dengan suara lembut, tapi Dina tidak bisa mendengarnya. Pikirannya dipenuhi bayangan Gio, bayinya yang direnggut darinya begitu saja. Luka batin dan luka fisiknya bercampur menjadi satu, menciptakan rasa sakit yang tak tertahankan.
Keributan itu terdengar hingga ke telinga Rita yang saat itu berada di ruang lain. Tanpa berpikir panjang, Rita segera bergegas menuju kamar tamu tempat Dina dirawat. Begitu dia masuk, matanya langsung melihat pemandangan yang membuatnya tertegun—Dina yang lemah, menangis histeris, sambil terus memanggil nama anaknya.
Rita tidak bisa diam. Dia mendekati Dina dengan langkah cepat, dan tanpa ragu mengguncang bahu wanita muda itu dengan kuat. "Hei! Kendalikan dirimu!" seru Rita tegas, meskipun ada kelembutan di balik nada suaranya. Dina menoleh dengan tatapan kacau, namun perlahan sentuhan kuat itu membawa kesadarannya kembali.
"Ssshhh, tenang..." bisik Rita, suaranya kini lebih lembut. Tanpa berpikir panjang, dia memeluk Dina yang masih terguncang hebat. Dalam pelukannya, Dina akhirnya menyerah pada rasa sakit yang memenuhi hatinya. Tubuhnya melemas, dan tangisnya berubah menjadi isak lirih.
Dengan perlahan, kesadaran Dina mulai kembali sepenuhnya. Sakit di tubuhnya—luka bekas operasi caesar yang baru saja sembuh sebagian—mulai menjalar, mengingatkannya pada kenyataan yang begitu pahit. Bayinya telah direnggut dari pelukannya. Dia hanya bisa menangis, isakannya pecah, namun suaranya lebih pelan sekarang. "Gio... bayiku... di mana dia?" ucapnya lirih, penuh kesedihan.
Rita menghela napas panjang, kebingungan melingkupi pikirannya. Dia tidak tahu siapa Dina sebenarnya, dari mana asalnya, atau mengapa dia ada di jalanan sepi semalam. Tapi melihat betapa hancurnya wanita ini, Rita tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu, meskipun dia belum tahu apa.
"Aku tidak tahu siapa kamu," ucap Rita pelan, "tapi aku akan membantumu sebisa mungkin. Untuk sekarang, kau harus tenang. Biarkan perawat merawatmu. Makanlah, minum obat, dan pulihkan dirimu dulu."
Dina hanya bisa mengangguk lemah, air matanya masih mengalir, meskipun tubuhnya tak lagi bergetar karena tangis. Rita mengisyaratkan perawat untuk menyiapkan makanan dan obat-obatan untuk Dina. “Aku akan kembali nanti, setelah kau lebih tenang. Kita akan bicara,” kata Rita, mencoba memberikan sedikit harapan pada Dina yang masih rapuh.
Sebelum meninggalkan ruangan, Rita menatap Dina dengan pandangan penuh iba. Wanita ini jelas terluka, baik secara fisik maupun emosional. Ada begitu banyak misteri yang melingkupi dirinya, tapi satu hal yang jelas: dia butuh pertolongan, dan Rita bertekad untuk membantunya, meskipun dia tidak tahu bagaimana atau mengapa.
Saat pintu kamar tertutup, Dina kembali terbaring, menatap langit-langit dengan mata penuh kesedihan. Hanya satu hal yang terus ada di pikirannya: bayinya, Gio.
***
Ketika Rita kembali ke kamar Dina, dia melihat Dina duduk diam di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah halaman luar jendela. Sorot matanya tampak mati, seperti seorang yang telah kehilangan semua harapan hidup. Dia tidak bergerak, seolah terperangkap dalam kesedihan yang begitu dalam. Rita mengetuk pintu, membuat Dina tersentak dari lamunannya yang muram.
“Bisakah kita bicara sekarang?” tanya Rita dengan lembut, mencoba menyelami perasaan wanita yang terluka itu. Dina hanya mengangguk pelan tanpa suara, lalu mencoba untuk berdiri. Namun, Rita segera menahannya, menempatkan tangan di bahu Dina dengan lembut, mendorongnya kembali duduk di tempat tidur.
“Tidak perlu berdiri. Kau masih sangat lemah. Biar kita bicara di sini saja,” kata Rita, suaranya penuh pengertian.
Dina terdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ada keheningan panjang yang menggantung di antara mereka, sebelum akhirnya Dina mulai bicara. “Namaku... Dina Rahmawati,” ucapnya dengan suara bergetar, suaranya lirih namun penuh dengan rasa sakit yang terpendam.
Rita mengangguk perlahan, memberi ruang bagi Dina untuk melanjutkan tanpa paksaan. Dina memutar kembali ingatan menyakitkan tentang kehidupannya. Dengan suara serak, Dina mulai menceritakan kisah pilunya—bagaimana suaminya, Ronny, tiba-tiba menyerahkan surat cerai, perselingkuhan yang mengkhianati dirinya, dan bagaimana bayinya direnggut darinya dengan paksa. Dina menceritakan tentang malam tragis itu, ketika dia diusir dan ditinggalkan di jalanan sepi, dilemparkan begitu saja seperti sampah oleh orang-orang yang seharusnya mencintainya.
Rita yang mendengar setiap kata, tidak mampu menahan air matanya. Mata Rita berkaca-kaca, tergerak oleh penderitaan Dina yang begitu mendalam. "Suami macam apa yang begitu tega berbuat seperti itu dan memisahkan ibu dengan anaknya." pikirnya
“Aku tidak pernah membayangkan... begitu tragisnya hidupmu,” kata Rita dengan suara gemetar. Dia mengulurkan tangannya, meraih tangan Dina yang dingin dan lemah, menggenggamnya erat. “Apa rencanamu sekarang, Dina?” tanya Rita, hatinya ikut merasa hancur melihat betapa rapuhnya wanita di hadapannya.
Dina menatap Rita dengan mata yang kosong, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku tidak tahu,” jawabnya dengan suara serak. “Yang pasti, aku ingin mendapatkan kembali anakku. Aku tidak peduli dengan Ronny, aku hanya ingin Gio. Aku tidak bisa hidup tanpa anakku”
Rita menarik napas panjang. Dia memahami tekad Dina, meskipun wanita itu masih sangat lemah secara fisik maupun emosional. "Kau harus membangun kekuatanmu kembali, Dina. Kau harus pulih dulu, baik tubuhmu maupun hatimu. Aku tahu ini sangat sulit, tapi untuk mendapatkan Gio, kau butuh kekuatan lebih." ujar Rita dengan tegas namun penuh kelembutan.
Rita menatap Dina dengan penuh perhatian, mencoba membaca ekspresi wanita muda di depannya. “Apakah kau memiliki tempat tujuan lain? Atau seseorang yang bisa membantumu?” tanyanya lembut, ingin tahu apa yang ada di benak Dina.
Dina menundukkan kepala, jari-jarinya mengusap lembut selimut yang menutupi tubuhnya. Suara hatinya masih terjerat dalam kesedihan yang mendalam. “Tidak… aku tidak punya tempat lain,” jawabnya pelan. “Semua orang yang seharusnya membantuku justru menyakiti. Aku tidak bisa kembali ke sana. Tidak ada tempat lain bagi aku.”
Rita merasakan beratnya kata-kata itu, seperti batu yang terjatuh di hatinya. Dia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya harapan Dina, dan betapa menyedihkannya hidup tanpa tujuan. Setelah beberapa saat terdiam, Rita akhirnya membuat keputusan.
“Kalau begitu, kau bisa tinggal di rumahku.” katanya tegas, berusaha memberikan jaminan dan ketenangan. “Tinggallah di sini sampai kau benar-benar pulih. Aku akan membantumu, apapun yang kau butuhkan.”
Dina tertegun, menatap Rita dengan mata yang berbinar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Apa benar? Apakah itu… tidak merepotkan anda nyonya?” tanyanya ragu, namun dalam hatinya, ada secercah harapan yang mulai tumbuh.
Rita tersenyum lembut. “Tidak sama sekali. Aku tidak ingin kau merasa sendiri atau terjebak dalam kesedihan ini. Di rumah ini, kau akan aman. Kita bisa mencari cara untuk menyelesaikan semuanya, termasuk mendapatkan kembali Gio. Tapi pertama-tama, kau harus pulih,” jawabnya penuh keyakinan.
Dina merasakan getaran hangat di hatinya, sesuatu yang telah lama hilang—rasa aman dan diterima. Air mata kembali mengalir di pipinya, namun kali ini bukan karena kesedihan semata, melainkan karena harapan yang baru lahir. “Terima kasih, Nyonya. Aku… aku tidak tahu bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu ini,” ucapnya lirih, suaranya tergetar oleh emosi.
“Kau tidak perlu membalasnya. Cukup pulih dan kembalilah menjadi dirimu yang kuat. Itu sudah lebih dari cukup,” jawab Rita, mengulurkan tangan untuk meraih tangan Dina yang masih dingin. Dalam momen itu, keduanya merasakan ikatan baru—satu harapan di tengah badai kesedihan yang menyelimuti hidup Dina.
Mungkin, di sinilah awal dari perjalanan Dina untuk bangkit kembali, untuk mendapatkan kembali apa yang paling dia cintai.
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina