Pedang Pusaka menceritakan tentang seorang manusia pelarian yang di anggap manusia dewa berasal dari Tiongkok yang tiba di Nusantara untuk mencari kedamaian dan kehidupan yang baru bagi keturunannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cut Tisa Channel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Apik
"Naya, kini kau telah menjadi seorang gadis cantik yang manis. Ilmu beladiri sudah kau kuasai, begitu pula dengan ilmu sihir kami sudah semua kami ajarkan padamu. Bagaimana tentang pinangan Sie Liong dan Siaw Gin? Siapa diantara mereka yang kau sukai? Besok waktunya kami memberi jawaban kepada paman Sie Han dan gurumu Xiansu". Durgha berkata kepada putrinya yang duduk di antara dia dan Rambala suaminya.
"Ayah, ibu, aku belum mau menikahi siapapun. Sudah berkali kali aku katakan kepada ayah dan ibu". Jawab gadis cantik yang berkulit putih halus dengan hidung mancung dan lesung pipit di wajah.
"Jika begini terus sikap mu, bagaimana aku akan menjawab Xiansu dan Sie Han?" Sahut sang ayah dengan geram.
"Ayah bilang saja kalau aku mau menikah dengan seorang pria yang dapat mengalahkan ilmu silat ku". Jawab Naya dengan ketus.
"Ah, baru sekarang aku pusing memiliki anak keras kepala sepertimu". Ucap Rambala sambil berlalu pergi.
"Nak, lebih baik kau putuskan pilihan mu kepada salah satu diantara mereka. Sie Liong anak yang baik, Siaw Gin juga dan mereka berdua sama sama tampan". Rayu Durgha dengan lembut.
"Jika ayah dan ibu terus memaksaku, aku akan pergi dari rumah ini". Jawab Naya sambil masuk ke kamarnya dengan membanting pintu keras keras.
Rambala yang tadi keluar sebentar kini kembali ke tempat itu bertanya pada istrinya,
"Mana dia? Bagaimana?"
"Susah sekali dibujuk. Dia tetap seperti pendiriannya". Jawab Durgha.
"Besok aku akan meminta waktu seminggu lagi kepada Xiansu dan Sie Han. Minggu depan dia harus memutuskan akan menikah dengan siapa. Kalau masih keras kepala, kita nikahkan saja dia dengan Sie Liong dan Siaw Gin". Bentak Rambala sambil masuk ke kamar dan rebah di atas pembaringannya.
Raghnaya yang mendengar percakapan antara ibu dan ayahnya barusan segera mengunci pintu dan menangis.
Sampai setengah jam kemudian, tangisan nya berhenti dan dia segera mengemas beberapa pasang baju ringkas bersama sekotak perhiasan dan uang tabungannya.
Malam itu ketika semua orang telah tidur, Naya melompat lewat jendela menuju ke kandang kuda mereka.
Setelah melepaskan tali kekang kuda yang terikat, perlahan lahan dia pergi menuntun kuda itu.
Setelah berjarak ratusan meter dari rumah, Naya pun membalapkan kuda hitamnya kearah timur.
Keesokan harinya, Ibu Naya menemukan sepucuk surat di kamarnya yang bertuliskan bahwa Naya pergi untuk mencari pengalaman. Masalah jodoh kelak dia akan memutuskannya sendiri.
Geger lah seisi rumah tentang kepergian Naya. Apalagi setelah hal itu di ceritakan Rambala kepada Xiansu.
"Ada masalah apa sehingga dia pergi? Setahuku Naya anak yang manis budi. Tentu ada permasalahan besar sehingga dia kabur begini". Ucap Xiansu yang pagi itu terlihat melatih murid muridnya yang kini berjumlah 33 orang.
"Semalam kami berdebat masalah pinangan Xiansu dan Sie Han. Aku agak memaksanya memilih seorang diantara mereka meskipun dia bilang belum mau menikah sampai ada pemuda yang mampu mengalahkan nya". Jawab Rambala.
"Ah,, masalah perjodohan itu tak perlu terlalu di paksakan. Aku pun hanya menuruti permintaan Siaw Gin saja. Jika memang dianya tidak mau ya apa boleh buat?" Ucap Xiansu yang menggelengkan kepalanya.
Naya yang semalam melarikan kudanya singgah di dusun kedua yang di jumpainya.
Dia menginap di rumah seorang janda tua yang pernah di tolongnya beberapa kali.
Hingga matahari baru saja bersinar, Naya segera pamit kepada wanita yang dipanggilnya nenek itu untuk melanjutkan kembali perjalanan nya yang entah kemana.
***~###~***
Siang itu, tiga orang pria berdiri dihadapan gerbang pos prajurit keamanan kota Cin An dengan membawa sepucuk surat dalam amplop.
Mereka melapor kepada penjaga gerbang bahwa mereka di utus menyerahkan surat itu untuk jenderal Shu.
Setelah penjaga gerbang memeriksa mereka yang memang tidak membawa senjata itu, ketiganya diantar masuk.
Setelah berhadapan langsung dengan sang jenderal, surat itu pun di serahkan. Ketiga utusan itu tidak berlama lama disana karena begitu surat diterima oleh jenderal Shu, mereka langsung pergi.
Jenderal Shu kembali ke dalam memanggil Siaw Jin yang baru saja bangun dari tidurnya.
Tepat dihadapan Siaw Jin di meja makan, Jenderal Shu membuka sampul surat dan membacanya.
"Kepada jenderal Shu yang terhormat. Kami ingin mengajak anda untuk bergabung bersama barisan kami yang akan melakukan penyerangan kepada kaisar lalim. Kami menyaksikan keponakan anda telah diperkosa oleh putra mahkota. Maka sudah sepantasnya jika anda menuntut balas atas kehormatan keponakan anda. Kami tunggu sore nanti di perbatasan Cin An gerbang utara".
"Ternyata mereka tau siapa aku. Makanya mereka membuat fitnah ini untuk menarik jenderal Shu". Seru Siaw Jin dengan amarah yang tampak pada wajahnya.
"Apa benar anda adalah putra mahkota? Mohon maaf, hormat pada paduka". Seru jenderal Shu dengan berlutut ala militer qing.
"Jangan begitu jenderal, akupun sudah hampir lupa bahwa aku putra mahkota".
"Jadi paduka anak yang dulu dikabarkan tewas di himalaya?" Tanya jenderal yang kini berdiri dengan sikap sungkan kepada Siaw Jin.
"Jenderal, aku sebut saja paman. Tolong jangan panggil aku paduka. Panggil saja namaku Siaw Jin. Anggap aku orang biasa seperti kalian. Aku pun tidak mau jadi putra mahkota kerajaan yang diperebutkan seperti itu". Seru Siaw Jin sambil berdiri dengan suara agak keras.
"Baik, Padu,,,Si,, Siaw Jin". Jawab jenderal Shu tergagap.
"Jika perkiraanku benar, kaisar juga mungkin akan menerima surat yang memberitahukan bahwa paman telah membunuh ku". Seru Siaw Jin serius.
"Lantas sekarang bagaimana menurut anda Si Siaw Jin?"
"Paman, sudah ku bilang jangan anda anda an lagi. Sebut saja Siaw Jin".
"Siaw Jin?" Seru Shu min dan Shu Mengshi yang baru keluar kamar mereka untuk sarapan.
"Kalian sudah kenal?" Tanya jenderal Shu.
"Paman, dialah bocah sakti yang dulu sering di ceritakan ayah. Dia pernah menolong kami bahkan lebih dari sekali sepuluh tahun yang lalu". Jawab Mengshi yang kini teringat bahwa bocah yang dulu menyelamatkan dia dan keluarganya hampir mirip dengan pemuda tampan dihadapannya.
"Jadi, kau,, bocah super sakti? Siaw Jin dan putra mahkota?" Seru jenderal yang membuat adik abang itu terkejut.
"Putra mahkota?" Sahut Mengshi dan kakak lelakinya hampir bersamaan.
"Sudahlah, jangan bicarakan lagi hal itu. Bagi kalian aku adalah Siaw Jin. Lim Siaw Jin. Bukan yang lain. Aku minta dengan sangat". Seru Siaw Jin yang hampir kehabisan kesabaran dengan keluarga itu.
"Baiklah, kami tidak akan mengatakan apa apa tentang paduka kepada siapapun". Seru jenderal yang dipotong oleh Siaw Jin
"Paman!!!," dengan ekspresi wajah nya Siaw Jin mengingatkan.
"Baik Siaw Jin. Lanjutkan!" Jawab jenderal Shu sembari tersenyum.
"Paman harus siap jika dipanggil menghadap kaisar. Berarti mereka memakai cara adu domba agar bisa melemahkan kerajaan. Jika tebakan ku benar. Bukan hanya paman jenderal saja yang di adu dengan kaisar. Mungkin banyak panglima dan jenderal yang setia lainnya menjadi korban kelicikan mereka". Siaw Jin berkata dengan wajah serius.
"Aku tak tau apa yang akan bisa kita lakukan jika hal itu benar". Jawab jenderal Shu dengan murung.
Sedang mereka mengobrol sambil makan, ada seorang prajurit yang masuk memberitahukan bahwa jenderal Bao akan segera tiba.
Dengan kaget jenderal Shu segera berdiri di ikuti Siaw Jin dan Mengshi juga shu minh.
"Duduk. Apa yang telah engkau lakukan kepada putra mahkota?" Sesampainya di situ, jenderal Bao segera duduk dan bertanya dengan wajah marah dan tegang.
"Saya tidak melakukan apa apa jenderal". Sahut jenderal Shu dengan sikap siap salah komandan.
"Jangan bohong!! Surat perintah kaisar". Jenderal tertinggi Bao bangkit berdiri sambil membuka surat kain bersulam emas dengan bubuhan cap kaisar.
Semua yang hadir di sana, termasuk para prajurit pengawal berlutut sambil semua nya menunduk.
"Perintah kaisar untuk memenggal kepala jenderal Shu yang telah berani membunuh putra mahkota". Jenderal Bao dengan suara tegas membaca lalu menggulung kembali surat tersebut.
"Prajurit, semuanya keluar". Seru jenderal Shu yang langsung di ikuti oleh prajurit penjaganya.
"Jenderal, hal ini merupakan rahasia. Bagaimana jika prajurit pengawal jenderal juga ikut keluar?" Seru jenderal Shu.
BERSAMBUNG. . .