Bukan bacaan untuk bocil.
Setiap manusia terlahir sebagai pemeran utama dalam hidupnya.
Namun tidak dengan seorang gadis cantik bernama Vania Sarasvati. Sejak kecil ia selalu hidup dalam bayang-bayang sang kakak.
"Lihat kakakmu, dia bisa kuliah di universitas ternama dan mendapatkan beasiswa. kau harus bisa seperti dia!"
"Contoh kakakmu, dia memiliki suami tampan, kaya dan berasal keluarga ternama. kau tidak boleh kalah darinya!"
Vania terbiasa menirukan apa yang sang kakak lakukan. Hingga dalam urusan asmarapun Vania jatuh cinta pada mantan kekasih kakaknya sendiri.
Akankah Vania menemukan jati diri dalam hidupnya? Atau ia akan menjadi bayangan sang kakak selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alisha Chanel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
"Nyonya anda baik-baik saja?" Cemas Ririn karna sudah berhari-hari nyonya Vania hanya terbaring saja di atas ranjang dan tak bersemangat melakukan kegiatan apapun.
Hening tak ada jawaban, membuat Ririn semakin merasa khawatir. Dengan langkah gontai, wanita dengan perawakan tomboy itu menghampiri nyonya Vania untuk memastikan keadaannya.
"Nyonya? Anda kenapa?" Panik Ririn saat melihat wajah nyonya Vania nampak pucat dan tak ceria seperti biasanya.
"Perutku keram Rin." Lirih Vania dengan suara paraunya.
"Astaga! Kenapa anda tidak mengatakannya dari tadi nyonya. Kita ke dokter sekarang ya!" Ajak Ririn.
"Tidak usah Rin, nanti juga sembuh sendiri. Aku hanya ingin tidur saja." Lirih Vania, sembari menarik selimut tebalnya hingga menutupi sebagian wajah.
"Baik nyonya. Kalau begitu saya akan menunggu anda di luar. Jika nyonya butuh sesuatu, nyonya bisa memanggil saya." Dengan terpaksa Ririn mengikuti keinginan nyonya Vania, padahal Ririn sudah sangat gemas ingin membawa wanita yang tengah hamil besar itu ke rumah sakit.
"Hem." Nyonya Vania hanya membalas ucapan sang asisten dengan suara deheman saja.
Ririn menatap nyonya Vania dengan perasaan iba, hatinya ikut bersedih melihat nyonya Vania yang biasanya selalu ceria kini nampak tak bersemangat dalam menjalani hidupnya.
Dengan berat hati akhirnya Ririn keluar dari kamar nyonya Vania. Lalu menutup rapat pintu kamar berbahan kayu jati itu.
"Huhf..." Ririn menghembuskan napas berat sembari bersandar di daun pintu kamar sang majikan.
Ririn tahu betul sakit yang di rasakan nyonya Vania bukan hanya disebabkan penyakit fisik semata, tapi karna sakit di hatinya juga.
"Tuan Betrand memang keterlaluan!" Umpat Ririn dengan rahangnya yang mengeras. Telapak tangan Ririn mengepal kuat kala mengingat perlakuan tuan Betrand pada nyonya Vania ketika mereka tanpa sengaja bertemu di cafe elegance beberapa hari yang lalu.
Tuan Betrand yang kala itu sedang makan siang dengan para kolega bisnisnya, nampak acuh saat nyonya Vania menghampiri sang suami dan menyapanya dengan ramah.
Karna merasa diacuhkan, akhirnya nyonya Vania memilih untuk pergi. Ririn bisa melihat nyonya Vania menyeka air matanya walaupun sekilas kala itu. Dan sejak hari itu, nyonya Vania jadi mengurung diri di dalam kamar dan tak bersemangat dalam melakukan kegiatan apapun.
"Ini tidak bisa dibiarkan! Tuan Betrand harus tahu kalau nyonya Vania sedang sakit." Ririn berbicara pada dirinya sendiri.
Bergegas Ririn mengambil ponsel dari saku celananya kemudian menekan nomor tuan Betrand.
Tuut tuut
Sambungan telepon itu terhubung, namun tuan Betrand tak kunjung mengangkatnya. Ririn tak menyerah begitu saja. Ia terus menghubungi no ponsel tuan Betrand dan dipercobaan yang ke 6 barulah tuan Betrand mengangkatnya.
"Ada apa! Kau tahu tidak kalau aku sedang meeting dengan tuan Miller." Hardik Betrand kala sambungan telepon itu sudah terhubung.
Betrand memang berkata jujur. Ia sedang meeting dengan tuan Miller untuk membahas kelanjutan projek terbaru mereka, tapi Ririn malah mengganggunya.
"Maaf tuan, tapi nyonya Vania sedang sakit. Sudah tiga hari ini nyonya Vania mengurung diri di dalam kamar dan tidak makan dengan benar. Bahkan hari ini nyonya Vania mengeluh perutnya terasa keram, tapi nyonya menolak untuk di bawa ke rumah sakit." Lapor Ririn pada sang majikan.
"Whatt! Istriku sedang sakit tapi kau baru memberitahukannya padaku sekarang!" Umpat Betrand dari seberang sana.
"Aku membayarmu mahal, tapi kerjaanmu tidak beres!" Umpat Betrand lagi kemudian sambungan telepon itu terputus.
"Istrinya yang sakit tapi aku yang dimarahi! Suami macam apa kau itu!" Umpat Ririn pula. Ia berani mengatakannya setelah tuan Betrand menutup teleponnya secara sepihak, karna yakin tuan Betrand tidak akan mendengarnya.
***
***
"Ada apa tuan? Apa terjadi sesuatu?" Tanya Miller kala melihat raut wajah Betrand mendadak tegang.
"Maafkan saya tuan, tapi apa bisa meetingnya kita lanjutkan lain kali saja. Istriku sedang sakit sekarang." Ucap Betrand dengan sopan.
"Apa? Nona Vania sakit? Eh maksudku nyonya Vania sedang sakit?" Roy langsung membenarkan panggilan untuk istri sang bos begitu mendapat tatapan tajam dari pria berwajah dingin itu.
"Tentu saja boleh tuan." Balas Miller.
"Apa saya boleh ikut menjenguk nyonya Vania juga?" Tanya Miller pula. Hubungannya dengan Vania sangat baik selama ini, karna sikap ramah Vania dan Roy pulalah Miller menerima proposal kerjasama yang di ajukan perusahaan Giant group. Jadi Miller ingin menjaga hubungan baik ini dengan cara menjenguk Vania yang sedang sakit.
"Mungkin lain kali tuan. Karna istri saya ada di rumah sekarang, belum di rawat di rumah sakit." Tolak Betrand dengan cara yang halus.
"Istrinya sedang sakit tapi tidak di rawat di rumah sakit? Suami macam apa tuan Betrand ini?" Tanya Miller dalam hatinya.
"Tidak masalah tuan, mungkin lain kali saya bisa menjenguk nonya Vania. Sekalian saya ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian pada nyonya Vania secara langsung." Dan seperti itulah kata-kata yang terucap dari bibir Miller, tak sejalan dengan harinya.
Usai berpamitan dengan Miller, Betrand dan Roy pergi meninggalkan pria paruh baya itu dengan tergesa-gesa.
"Roy hubungi dokter Yasmin, dan minta dia datang ke penthouse!" Titah Betrand sembari berjalan menuju mobilnya.
"Sekarang tuan?" Tanya Roy pula.
"Nanti kalau nenekmu akan melahirkan." Umpat Betrand dengan rahangnya yang mengeras.
"Nenekku melahirkan?" Roy tampak berpikir sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Itu tidak mungkin terjadi tuan, karna nenekku sudah menopause." Ucap Roy.
"Roy! Apa kau ingin di pecat?!" Tanya Betrand dengan tatapan tajamnya seakan ingin menelan sang asisten hidup-hidup.
"Tidak tuan." Roy menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Kalau begitu hubungi dokter Yasmin sekarang juga!" Titah Betrand dengan lugas.
"Ok, baik tuan." Balas Roy patuh.
"Bilang dong dari tadi, kenapa tadi tuan bilang menghubungi dokter Yasminnya saat nenekku akan melahirkan?" Gumam Roy pula.
"Roy, sebaiknya kau jangan bergaul dengan Mona lagi. Sepertinya otakmu jadi ketularan tulalit seperti wanita itu sekarang." Ucap Betrand dengan nada meledek, Betrand tahu betul kalau Roy dan sekretaris barunya itu sudah berulang kali melewatkan malam panas bersama.
"Ternyata Vania adalah sekretarisku yang paling beres diantara sekretarisku yang lain." Batin Pria bermata biru itu sembari menggelengkan kepalanya.
***
***
30 menit setelah Ririn menghubunginya. Kini Betrand sudah ada di penthouse mewah miliknya. Hal itu sangat jarang terjadi, karna biasanya pria itu akan pulang ke penthouse setelah larut malam.
"Dimana Istriku?" Tanya Betrand pada salah seorang pelayan yang ditemuinya, terlihat jelas ada raut kecemasan di wajah tampan pria itu.
"Nyonya Vania ada di kamarnya tuan." Jawab pelayan itu sembari menundukan kepalanya. Tak ingin menunggu lama, Betrand segera menuju lantai 2 dimana kamar sang istri berada.
Brak!
Terdengar suara pintu yang di buka dengan keras, Ririn yang sedang menemani nyonya Vania di dalam kamar sampai melonjak kaget. Sedangkan Vania langsung terbangun dari tidurnya.
"Astaga!" Batin Ririn sembari mengelus dadanya.
"Anda sudah pulang tuan?" Tanya Ririn seraya bangkit dari duduknya kemudian menunduk memberi hormat.
Pria berwajah dingin itu langsung berjalan ke arah ranjang dimana sang istri terbaring di atasnya, tanpa menjawab pertanyaan Ririn terlebih dahulu. Ririn hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah tuannya, tapi bibir wanita itu mengukir sebuah senyuman.
"Vania? Kau baik-baik saja?" Tanya Betrand sembari mengelus puncak kepala sang istri. Vania tak menjawab, hanya sorot matanya yang sayu menatap intens ke arah Betrand.
"Apa perutmu masih keram?" Tangan kekar Betrand mengelus perut buncit sang istri.
Dug!
Sebuah tendangan dari janin dalam kandungan Vania tepat mengenai telapak tangan Betrand.
"Tadi itu apa?" Tanya Betrand dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan.
Bersambung.
dikira cuma notif karya baru 😁😁