Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 : Perampokan?
Rosa melangkah keluar dari rumahnya dengan hati yang sedikit was-was. Sudah beberapa kali ia memastikan apakah ia sudah mengunci pintu, menutup jendela, dan menaruh barang-barang penting di tempat yang aman. Entah kenapa, rasa cemasnya semakin memuncak begitu dia tahu bahwa dia akan bertemu dengan Manda malam ini. Meski tahu ini bisa jadi langkah berisiko, dia merasa harus memberikan informasi yang lebih jelas. Tapi siapa yang bisa mengira, langkahnya keluar malam itu justru berakhir dengan sesuatu yang jauh lebih buruk.
Saat ia baru saja hendak memasuki mobil, sebuah pukulan keras dari belakang membuat Rosa terhuyung, jatuh dengan tubuh tak berdaya di aspal dingin. Tanpa bisa mengerti apa yang terjadi, ia merasakan tangan seseorang merampas laptop yang selama ini dia simpan dengan hati-hati, yang berisi semua bukti penting yang bisa menghancurkan Ivan. Lalu segalanya menjadi gelap.
Di rumah, Helen, kakaknya yang baru saja pulang, mendapati Rosa tergeletak tak sadarkan diri di depan pintu. Tak ada yang lebih menakutkan daripada melihat adik yang selama ini sehat-sehat saja kini tergeletak bersimbah darah. "Apa yang terjadi?! Kenapa kamu bisa seperti ini?!" teriaknya panik, sambil segera membawa Rosa ke rumah sakit.
Sementara itu, di restoran fastfood, Manda sudah mulai merasa gelisah. Sudah dua jam berlalu sejak ia menerima telepon dari Rosa, namun tak ada tanda-tanda kedatangan wanita itu. Reza yang duduk di seberangnya mulai melontarkan asumsi yang lebih jauh dari sekadar kenyataan. "Mungkin lo lagi kena prank deh, Mand," kata Reza sambil menggigit ayam crispy-nya. "Pantesan orang-orang bilang kalau dunia ini penuh kejutan, tapi gue nggak nyangka prank kayak gini malah beneran kejutan!"
Manda menatap Reza, agak kesal tapi lebih ke bingung. "Jangan gitu, Reza. Ini serius. Kita bisa dapet info penting dari dia. Kalau sampai nggak datang, gimana kalau Ivan bebas dan kita nggak bisa apa-apa?"
Reza melirik Manda dengan penuh keyakinan, seolah sedang berbicara tentang teori fisika yang rumit. "Ya, makanya. Coba lo pikir, kalau emang beneran penting, dia pasti nggak bakal ngilang gitu aja. Mungkin dia lagi sibuk nonton Netflix."
Manda menghela napas panjang. "Gak lucu, Reza."
Tapi meski begitu, Manda memutuskan untuk menunggu satu jam lagi. Setiap detik yang berlalu terasa seperti seratus tahun, dan di dalam pikirannya, dia membayangkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Jam di dinding restoran terus berdetak, dan setiap detik yang berlalu semakin mengikis harapannya.
Namun, satu jam kemudian, Rosa tak juga muncul. Manda memutuskan, mungkin ini memang tidak akan terjadi malam ini. Mungkin ada sesuatu yang terjadi pada Rosa, atau mungkin... mungkin saja dia hanya jadi bahan bercandaan. Manda menggerutu pelan. "Sepertinya saya kena prank lagi, ya?"
Reza hanya mengangkat bahu. "Yang sabar, Mand. Dunia ini penuh misteri, kok."
...****************...
Helen membawa Rosa ke rumah sakit dengan kecepatan yang bisa membuat mobil balap Formula 1 cemburu. Setiap detik terasa seperti seratus jam, dan air mata Helen terus mengalir tanpa henti. Tak hanya karena cemas akan keadaan adiknya, tapi juga karena kebingungannya akan apa yang sebenarnya terjadi. Kepala Rosa terus mengeluarkan darah, seperti air yang tak bisa dihentikan mengalir dari selang pipa yang bocor.
Saat tiba di UGD, petugas medis segera mengamankan Rosa dan membawanya ke ruang perawatan, meninggalkan Helen yang terpaku di depan pintu, bingung dan ketakutan.
Tak berapa lama seorang polisi datang menemui Helen, setelah mendengar laporannya melalui telepon.
Dengan suara gemetar Helen mulai menceritakan kejadian tersebut. "Saya nggak tahu apa yang terjadi, Pak. Adik saya dipukul dari belakang. Ini rekamannya," kata Helen, sambil menunjukkan rekaman CCTV di ponselnya yang menampilkan sosok pria berjaket dan bertopi hitam yang menyerang Rosa.
Polisi itu memandang layar ponsel dengan serius, lalu mengangguk. "Jangan khawatir, Bu. Kami akan mencari pelaku ini. Mungkin ini cuma perampokan biasa, tapi kami akan pastikan siapa yang bertanggung jawab," katanya sambil menepuk bahu Helen dengan cara yang lebih meyakinkan daripada sekadar tepukan biasa, meskipun nada suaranya terdengar agak lebih mirip "kalau nggak ada bukti, kita cari deh bukti-bukti lain."
Di tempat yang lebih tenang, di waktu yang tidak jauh berbeda, Andika sedang duduk dengan santai di ruang tamunya. Andika bukan tipe orang yang pernah terlihat terburu-buru, dan dia selalu punya aura tenang yang bisa menenangkan bahkan badai paling hebat sekalipun.
Dia sudah mengetahui soal rekaman cctv yang dipasang diam-diam di apartemen Jessica oleh Rosa, dan dia segera bertindak cepat untuk mengamankan bukti itu sebelum semua terlambat.
Saat pintu terbuka, seorang pria berjaket dan bertopi hitam masuk. Dengan langkah tenang, dia menyerahkan laptop itu ke tangan Andika, yang langsung memberikan tanda terima kasih berupa beberapa lembaran uang—bukan hanya satu atau dua lembar, tapi cukup banyak untuk memastikan kalau si pria bertopi itu merasa dihargai, meskipun mungkin sedikit bingung dengan cara Andika "memberikan" uang.
Si pria bertopi itu pergi begitu saja, meninggalkan Andika yang tersenyum puas. "Semua berjalan sesuai rencana," kata Andika, sambil membuka laptop dengan cara yang sangat dramatis—seolah ingin menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli dalam menangani perangkat elektronik yang lebih mirip selembar kertas yang sudah tidak lagi berguna. Andika, kemudian memeriksa isinya, rupanya laptop tersebut dikunci.
Tapi Andika tidak hilang akal, dia lalu meminta salah satu polisi muda yang menjadi ajudannya, yang mengerti cara membuka kunci laptop. Setelah kunci dibuka dan Andika memastikan isinya, dengan sangat yakin, Andika mematikan laptop itu dan membakar laptop itu. "Jangan khawatir pak Arifin. Sekarang bukti kalau Ivan bersalah sudah tidak ada. Kini anda bisa tidur nyenyak. Ivan tidak akan dipenjara." katanya sambil tersenyum penuh kemenangan.
Arifin yang ada di sampingnya hanya bisa mengangguk pelan, senang. Tapi dia tetap diam, sekarang tidak akan ada lagi yang bisa menyalahkan Ivan atas kejadian itu, "Terima kasih pak Andika, anda selalu tahu bagaimana caranya untuk bekerja. Saya akan segera mengirimkan bingkisan terima kasih untuk anda, saya yakin anda pasti akan menyukainya" kekeh Arifin yang tampak puas dengan hasil kerja Andika.
"Dengan senang hati, saya tunggu untuk bingkisannya pak Arifin" keduanya tertawa terbahak-bahak.
...****************...
Di restoran fast food yang sempit dan penuh dengan aroma minyak goreng, Manda dan Reza masih menunggu dengan sabar. Manda terus memeriksa ponselnya, mengirim pesan, dan menelpon Rosa berulang kali, namun tak ada jawaban. Sudah seperti ritual, Manda bahkan mulai bisa menebak berapa detik lagi suara "tidak ada sinyal" akan terdengar di ujung teleponnya. Bip... bip... bip...
"Rosa, kalau ini prank, aku bakalan ngejar kamu loh!" Manda menggerutu, menatap layar ponselnya yang seakan sengaja menolaknya.
Reza yang sebelumnya sudah terlelap dengan kepala bersandar di meja, tiba-tiba terbangun karena suara deringan ponsel Manda. Matanya masih berkelip-kelip, setengah sadar, seperti seseorang yang baru keluar dari lorong waktu. "Ada apa? Rosa udah datang?" tanyanya sambil mengucek mata, seolah dia baru saja terbangun dari tidur panjang di tengah-tengah siang bolong.
Manda, tanpa memperdulikan ekspresi Reza yang seperti baru bangun dari dalam gua, segera mengangkat telepon saat panggilan itu terhubung. Di ujung sana, terdengar suara wanita yang terdengar terisak. "Halo? Siapa ini?" Suaranya seperti orang yang baru saja kehilangan kunci mobil, atau lebih buruk, dompetnya.
Manda menjawab dengan cepat, "Ini Manda, Ini siapa? Ini telepon Rosa kan? Kami sudah janjian untuk ketemu di Mekdonal. Tapi Rosa nggak muncul - muncul, apa ada sesuatu yang terjadi?"
Wanita itu terisak lebih keras. "Rosa, adik saya, dia... dia sedang di rumah sakit, Manda. Dia jadi korban perampokan, adikku dipukul sampai pingsan..."
Manda langsung merasa jantungnya terhenti sejenak. Apa? Perampokan? "Rumah sakit mana?" tanyanya dengan cepat, tidak ingin ada detik pun yang terlewat.
Wanita itu menjawab nama rumah sakit dengan cepat, dan Manda tak perlu waktu lama untuk mengambil keputusan.
Bergegas, Manda membangunkan Reza yang sudah tertidur lelap—kelelahan dari menunggu. "Reza! REZA!" Manda membentak, sambil mengguncang-guncang tubuh Reza yang terlihat seperti manusia setengah robot.
Reza hampir terjatuh dari kursinya, matanya nyaris melotot seperti kebanyakan orang yang tiba-tiba disuruh berdiri dari tidur siang. "Apa...? Kenapa...? Ada apa....?" gumamnya dengan suara serak.
"Rosa! Dia di rumah sakit! Kita harus ke sana sekarang!" Manda berkata dengan panik, melangkah cepat menuju pintu.
Reza, masih setengah tidur, hanya mengangguk dan ikut berdiri sambil terhuyung-huyung. "Hah? Rumah sakit? Ngapain ke rumah sakit?" Reza bertanya, wajahnya menunjukkan kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan.
Manda memandangnya dengan tatapan tajam. "Udah nggak usah banyak tanya, lo ikut gue sekarang. Cepetan!!!" jawab Manda, dan tanpa basa-basi, mereka langsung melangkah keluar.
...****************...