Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Menyelinap dari Istana
Ternyata, ingin membuat Min-Ho berubah, seperti yang Aluna inginkan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Min-Ho kembali membuat Aluna kehabisan kesabaran. Pagi itu, ia pulang dalam keadaan mabuk, dengan aroma alkohol yang tajam menyengat di sekelilingnya. Aluna memandang adiknya dengan rasa kecewa yang semakin dalam. Upayanya untuk menahan Min-Ho dari kebiasaan buruk seolah sia-sia. Tapi, meski merasa marah, ia tidak tega untuk sepenuhnya menyerah. Dengan bantuan para pelayan, ia membantu Min-Ho menuju kamarnya, lalu duduk di sana, berusaha mendinginkan pikirannya.
Sementara itu, di istana, kabar tentang kondisi Selir Seo-Rin mulai meresahkan Pangeran Ji-Woon. Pengawal yang ia perintahkan untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Seo-Rin melaporkan beberapa hal yang membuat hatinya tidak tenang. Seo-Rin dikabarkan tampak pucat, sering kali terlihat mual, dan beberapa kali seorang tabib datang berkunjung untuk memeriksa keadaannya. Informasi itu membuat Pangeran semakin gelisah; bayangan Seo-Rin yang tampak tidak sehat terus mengusik benaknya.
Merasa tak tahan lagi dengan rasa rindunya, Pangeran Ji-Woon akhirnya memutuskan untuk bertindak. Ia menyusun rencana untuk sementara waktu meninggalkan istana dan menyelinap menuju kediaman Seo-Rin. Sebelum itu, ia menemui Panglima Han, sahabatnya yang paling ia percayai, untuk memohon bantuan.
“Panglima Han,” ucap Pangeran Ji-Woon dengan nada mendesak. “Aku membutuhkan bantuanmu kali ini. Aku akan pergi ke rumah Seo-Rin, dan kuharap kau bisa mengarang alasan jika ada yang menanyakan keberadaanku. Katakan saja aku tengah mengurus urusan pribadi.”
Panglima Han memandang Pangeran Ji-Woon dengan penuh pengertian. “Tentu, Yang Mulia. Aku akan menjaga semuanya tetap tenang di sini. Anda pergi dengan aman, dan jangan khawatirkan apa pun.”
Pangeran Ji-Woon mengangguk dengan rasa terima kasih yang tulus. Dengan persiapan yang matang, ia menyelinap keluar dari istana malam itu, ditemani hanya oleh beberapa pengawal setianya. Pandangannya tertuju lurus ke depan, hatinya dipenuhi harapan untuk segera bertemu dengan Seo-Rin, meski hanya untuk memastikan ia baik-baik saja.
Perjalanan itu terasa panjang, tapi akhirnya ia tiba di kediaman Seo-Rin. Namun, saat ia mengintip melalui celah kecil di dinding luar, hatinya seakan berhenti berdetak. Di sana, ia melihat Seo-Rin duduk seorang diri di taman, dengan tatapan lelah yang tampak jelas. Rasa bersalah dan rindu menyatu dalam dirinya. Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk mendekat, memastikan bahwa ia masih bisa memberikan kehadirannya yang mungkin bisa sedikit meringankan beban Seo-Rin.
Pertemuan itu menjadi momen yang mengungkap banyak hal, tak hanya bagi Pangeran, tetapi juga bagi Aluna yang tak menyangka bahwa Pangeran Ji-Woon akan datang sejauh itu demi dirinya.
Kehadiran Pangeran Ji-Woon di kediaman keluarga Seo-Rin membuat suasana berubah drastis. Aluna, yang masih terkejut melihat Pangeran di hadapannya, segera bangkit dengan ekspresi tak percaya. Namun sebelum ia bisa mengucapkan sepatah kata pun, kedua orang tuanya yang berada di dalam rumah sudah mendengar kedatangan tamu istimewa itu.
Ibu Seo-Rin, yang sehari-hari tampak sederhana, buru-buru menyambut dengan senyum penuh hormat, sementara ayahnya, meskipun berusaha tetap tenang, tak bisa menyembunyikan raut wajah bangga. Momen itu terasa dramatis; seorang pangeran yang biasanya jauh dari kehidupan mereka kini hadir di rumah sederhana mereka, dan membawa kehangatan serta kegembiraan yang tak terduga.
“Yang Mulia … sebuah kehormatan bagi kami menerima Anda di sini,” ucap ibu Seo-Rin sambil membungkukkan badan, menahan rasa haru.
Pangeran Ji-Woon membalas dengan senyum sopan, “Saya yang seharusnya berterima kasih karena diizinkan berkunjung ke sini.” Ia melirik Aluna sejenak, mencoba memastikan kondisinya baik-baik saja, sebelum kembali menatap kedua orang tua Seo-Rin.
Aluna berdiri di belakang ibunya, hatinya campur aduk antara kagum, lega, dan gugup. Ini pertama kalinya ia melihat Pangeran Ji-Woon berbicara dengan penuh kesopanan. Selama ini, ia hanya mengenal sosok Pangeran di istana, dengan aura kekuasaannya yang tak tersentuh. Tapi kini, di hadapan orang tua Seo-Rin, ia tampak seperti pria biasa yang dengan tulus peduli padanya.
Ayah Seo-Rin akhirnya membuka percakapan, menawarkan Pangeran untuk duduk di ruang utama mereka. Makanan dan teh disajikan dalam kesederhanaan, tetapi diisi dengan keramahan keluarga yang tulus. Pangeran Ji-Woon duduk dengan tenang, memperhatikan setiap detail kecil dalam rumah yang menampung wanita yang selama ini ia rindukan. Dalam kesederhanaan rumah itu, ia menemukan kehangatan yang sulit ia temukan di istana.
“Yang Mulia, terima kasih telah meluangkan waktu untuk mengunjungi rumah kami yang sangat sederhana ini. Seo-Rin pasti sangat senang dengan kehadiran Anda,” ucap ayah Seo-Rin dengan penuh hormat.
Pangeran Ji-Woon hanya mengangguk, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Saya … hanya ingin memastikan ia baik-baik saja. Beberapa waktu ini, saya merasa ada jarak yang tumbuh di antara kami, dan saya tidak tenang sebelum melihatnya sendiri.”
Kata-kata itu membuat suasana menjadi penuh haru. Aluna yang berdiri di belakang, merasakan bahwa kata-kata Ji-Woon bukan hanya sekadar ucapan formal, tapi keluar dari perasaan yang tulus.
Ibunya segera berujar, “Yang Mulia, kami berterima kasih atas perhatian Anda pada putri kami. Seo-Rin memang sedang mengalami banyak tekanan, dan mungkin ia perlu waktu untuk menenangkan diri.”
Pangeran Ji-Woon tersenyum tipis, lalu menatap Aluna dengan lembut. “Seo-Rin … aku di sini untuk memastikan kamu tak lagi merasa sendiri. Jika ada hal yang kau ingin sampaikan atau beban yang kau rasakan, kumohon, bagikan padaku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu merasa lebih baik.”
Kata-kata Ji-Woon membuat hati Aluna tersentuh, matanya berkaca-kaca. Selama ini, ia mencoba menjalani perannya dengan ketabahan, tetapi di hadapan perhatian tulus Pangeran, ia merasa dinding pertahanannya perlahan runtuh.
Dengan suara pelan, Aluna akhirnya berkata, “Terima kasih, Yang Mulia. Kehadiran Anda … sangat berarti bagi saya.”
Pangeran Ji-Woon mengangguk, merasa lega mendengar suara lembut Aluna yang selama ini ia rindukan. Sementara itu, keluarga Seo-Rin hanya bisa melihat mereka dengan bahagia, menyadari bahwa ada ikatan mendalam di antara mereka yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata.
Tanpa basa-basi lebih lama, pangeran Ji-Woon langsung menanyakan tentang kondisi Seo-Rin yang tampak berbeda, sebelum Seo-Rin sempat menjawab pertanyaan itu. Ibunya sudah lebih dulu memberikan jawaban.
"Seo-Rin sedang mengandung Yang Mulia, kehamilannya memasuki usia 3 bulan."
Pangeran Ji-Woon menatap Aluna dengan mata berbinar setelah mendengar ucapan ibunya, meskipun di sudut hatinya terkejut tak percaya. Dengan langkah pelan, ia mendekat, menatap Aluna yang tampak terkejut dan belum siap dengan pengumuman itu. Tentu saja, kabar ini adalah hal yang luar biasa, tetapi cara kabar itu sampai kepadanya tak terduga.
“Seo-Rin … benarkah ini?” tanya Pangeran dengan suara bergetar, sorot matanya penuh harapan.
Aluna, yang masih merasa canggung, mencoba mencari jawaban di dalam dirinya. Ia merasa seolah waktu berhenti sesaat. Kehamilannya, sebuah kenyataan yang menjadi penanda awal baru yang mungkin membawa perubahan besar dalam hidupnya—dan juga pada kehidupan Pangeran Ji-Woon. Dengan sedikit gemetar, Aluna mengangguk.
“Iya … Yang Mulia. Sepertinya demikian,” jawabnya pelan, mencoba menyembunyikan perasaannya yang bercampur aduk.
Melihat pengakuan Aluna, Pangeran Ji-Woon tersenyum lebar, kebahagiaan terpancar di wajahnya. Ia tanpa sadar meraih tangan Aluna, menggenggamnya dengan penuh kelembutan, seolah tak ingin kehilangan lagi.
“Ini adalah kabar yang begitu membahagiakan, Seo-Rin. Aku … aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Kau telah memberiku sesuatu yang begitu berarti,” ucapnya dengan suara pelan, namun penuh ketulusan.
Ibunya Seo-Rin berdiri di samping mereka, tersenyum dengan penuh kebanggaan. Ia merasa lega karena putrinya mendapatkan perhatian besar dari seorang pangeran yang sangat mencintainya. Ayah Seo-Rin juga mengangguk, merasa bangga dengan momen ini.
Pangeran Ji-Woon kemudian menoleh kepada ibu Seo-Rin, lalu mengucapkan terima kasih dengan penuh hormat, “Terima kasih telah menjaga Seo-Rin selama ini. Saya berjanji akan menjaga kebahagiaannya, dan juga keluarga kecil kami yang sebentar lagi akan bertambah.”
Keluarga Seo-Rin tersenyum, merasa bahagia mendengar janji Pangeran. Namun, di dalam hatinya, Aluna tak bisa memungkiri perasaan bersalah yang menghantui. Di tengah kebahagiaan ini, ia masih merasa asing di tengah-tengah keluarga Seo-Rin. Mereka tak mengetahui siapa dirinya sebenarnya.
Namun, sejenak, ia memutuskan untuk melupakan semuanya. Melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Pangeran, Aluna berusaha meyakinkan dirinya bahwa mungkin ini adalah takdir yang harus ia jalani.
Bersambung >>>