Anindya Alyssa seorang wanita manis yang memiliki warna kulit putih bersih, bekerja sebagai waiters di salah satu hotel yang cukup terkenal di kotanya. Hidup sebatang kara membuat harapannya untuk menjadi sekretaris profesional pupus begitu saja karena keterbatasan biaya untuk pendidikan nya.
Namun takdir seakan mempermainkan nya, pekerjaan sebagai waitres lenyap begitu saja akibat kejadian satu malam yang bukan hanya menghancurkan pekerjaan, tetapi juga masa depannya.
Arsenio Lucifer seorang pria tampan yang merupakan ceo sekaligus pemilik dari perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur. Terkenal akan hasil produksi yang selalu berada di urutan teratas di pasaran, membuat sosok Lucifer disegani dalam dunia bisnis. Selain kehebatan perusahaan nya, ia juga terkenal akan ketampanan dan juga sifat gonta-ganti pasangan setiap hari bahkan setiap 6 jam sekali.
Namun kejadian satu malam membuat sifatnya yang biasa disebut 'cassanova' berubah seketika. Penolakan malam itu justru membuat hati seorang Lucifer takluk dalam pesona seorang waiters biasa.
Lalu bagaimana kisah Assa dan Lucifer?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Anindya dilarikan ke rumah sakit terdekat di sana, wanita itu langsung mendapat penanganan dari dokter dan memintanya untuk dirawat dirumah sakit kurang lebih selama satu Minggu.
"Nona Anindya, anda harus menjalani perawatan lebih dulu, apalagi untuk naik pesawat disaat kondisi seperti ini rasanya cukup membahayakan kandungan anda." Tutur dokter dengan bahasa yang benar-benar tidak dimengerti oleh Anindya.
Anindya hanya menganggukkan kepalanya, ia melirik Arsen yang tampak mendengarkan dengan seksama sambil menggenggam tangan nya.
"Baiklah, Dokter. Terima kasih," balas Arsen dengan bahasa nya.
Dokter itu pun pergi dari ruang rawat Anin. Anin merasa sedikit lega karena bayi dalam kandungannya tidak benar-benar pergi meninggalkan nya, namun ia harus lebih berhati-hati.
"Assa." Panggil Arsen lembut.
Anindya memalingkan wajahnya, ia melepas genggaman tangan Arsen lalu membalik badan membelakangi Arsen.
"Assa, kau harus menjelaskan padaku." Tukas Arsen sambil memegang bahu Anin.
"Pergilah, Pak. Biarkan saya sendiri," balas Anindya mengusir.
"Assa, aku memaksamu untuk menjelaskan padaku. Kenapa kau tidak memberitahuku tentang kehamilan mu?!" tanya Arsen mulai meninggi.
Anindya membalik badan, ia mengubah posisinya menjadi duduk meski sedikit kesulitan. Arsen hendak membantu, namun tangan Anindya memberi gerakan untuk menghentikan nya.
"Memaksa? Hanya itu yang bisa anda lakukan, Pak. Anda hanya bisa memaksa dan memaksa tanpa memikirkan perasaan orang lagi." Ketus Anindya menatap Arsen dengan tajam.
"Soal kehamilan ini, kenapa saya tidak memberitahu anda? itu karena tidak ada yang akan berubah dengan kehamilan ini, justru mungkin saja anda akan meminta saya menggugurkannya." Lanjut Anindya dengan suara berat.
Arsen melototkan matanya, ia menatap Anindya dengan tatapan tak menyangka, tangannya secara reflek mencengkram bahu Anindya.
"Kau pikir aku sebejat itu sampai memintamu menggugurkan darah dagingku sendiri?" tanya Arsen menatap mata merah Anindya.
Anindya menganggukkan kepalanya. "Bahkan anda lebih bejat dari sekedar meminta untuk menggugurkan anak, anda di mata saya adalah pria tak berperasaan yang hanya mementingkan diri sendiri." Jawab Anindya pelan namun begitu menusuk.
"Assa, kau sedang mengandung anakku. Aku tidak ingin kita bertengkar yang akan berakhir membuatnya dalam bahaya." Sahut Arsen lalu mengusap perut Anindya yang semakin terasa.
Arsen tiba-tiba mengulas senyuman. "Jadi ini alasan mengapa perutmu tambah besar, ku kira kau makan banyak tetapi ternyata sedang berbadan dua." Celetuk Arsen lalu mencium perut Anindya tanpa permisi.
Anindya memejamkan matanya, ia merasakan sesuatu tiba-tiba menjalar di seluruh tubuhnya bagai tersengat listrik. Anindya mendorong Arsen menjauh membuat pria yang tengah asik menciumi anaknya lantas mendongak.
"Hmm, ada apa?" tanya Arsen dengan lembut.
"Saya ingin istirahat, tinggalkan saya Pak." Jawab Anindya lalu kembali berbaring.
Arsen tersenyum manis, ia lantas mencium kening Anindya dengan hangat. "Baiklah, aku akan menunggu disofa, katakan padaku jika butuh sesuatu." Tutur Arsen lalu beranjak dari brankar Anindya.
***
Sore hari, Anindya sudah bangun dari tidur siangnya, ia melihat Arsen tengah menelpon seseorang dan sudah dipastikan bahwa ia sedang menghubungi Asisten Lee, terdengar dari nama pria itu yang beberapa kali disebut oleh Arsen.
Anindya menghela nafas, ia memegangi perutnya lalu berusaha untuk turun. Tanpa sengaja kakinya tersangkut oleh selimut hingga membuatnya hampir saja terjatuh jika Arsen tak sigap menangkap tubuhnya.
"Akhhhh …" ringis Anindya pelan sambil mengusap perutnya.
"Assa, kau tidak apa-apa? kau mau kemana hmm?" tanya Arsen masih dengan menahan tubuh Anindya.
"Saya mau ke toilet, Pak." Jawab Anindya pelan.
Arsen melemparkan ponselnya asal ke brankar, lalu tanpa aba-aba ia menggendong Anin dan membawanya ke dalam kamar mandi. Anin memberontak minta diturunkan, namun kecupan ringan di bibir menghentikan semua ocehan nya.
"Panggil aku jika sudah selesai dan jangan coba untuk melakukan apapun sendiri." Tutur Arsen seraya mengusap pelan puncak kepala Anindya.
Anindya tak menjawab, ia hanya diam saja sampai Arsen benar-benar keluar dari dalam kamar mandi. Anindya buang air kecil lalu mencuci wajahnya, setelah dirasa selesai ia hendak memanggil Arsen namun terasa begitu ragu.
"P-pak." Panggil Anindya terbata.
Tak lama pintu terbuka, Arsen masuk lalu kembali menggendong Anindya. Wajah Anindya yang begitu dekat dengan dada Arsen membuatnya bisa merasakan detak jantung pria itu, dan ia baru sadar bahwa jas yang Arsen pakai entah raib kemana menyisakan kemeja navy dengan tiga kancing atas terbuka dan tangan digulung sampai batas siku.
"Wajahmu merah, kau kenapa?" tanya Arsen tiba-tiba seraya mendudukkan Anindya di brankar.
Anindya reflek memegang wajahnya, hal itu sontak membuat Arsen tergelak lalu mencium pipi wanita itu dengan gemas.
Anindya mengulas senyum tipis, namun beberapa saat ia teringat pada ucapan Arsen yang benar-benar merendahkan dirinya. Anindya mengedipkan matanya beberapa kali, ia menghilangkan senyuman diwajahnya lalu kembali berbaring.
"Jangan tidur lagi, aku sudah memesan makanan untuk kita." Tutur Arsen tak mendapat balasan dari Anindya.
MAAF YA UP NYA SUKA LAMA, BAHKAN KADANG NGGAK UP✌️😭
To be continued
aku milih bang tio
ini ni klw lagu bilang antara nyaman dan cinta jadi bikin dilema