Sepasang Suami Istri Alan dan Anna yang awal nya Harmonis seketika berubah menjadi tidak harmonis, karena mereka berdua berbeda komitmen, Alan yang sejak awal ingin memiliki anak tapi berbading terbalik dengan Anna yang ingin Fokus dulu di karir, sehingga ini menjadi titik awal kehancuran pernikahan mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Masa Lalu
Malam itu, Anna terjaga lebih lama dari biasanya. Ia memandangi langit-langit kamar, mendengarkan napas Alan yang teratur di sampingnya. Meski tubuhnya terbaring di samping pria yang masih ia cintai, pikirannya melayang kembali pada Erik dan pertemuan tak terduga tadi siang.
"Apa yang sedang aku pikirkan?" gumam Anna pelan.
Ia mencoba mengusir bayangan wajah Erik yang terus muncul dalam pikirannya. Kata-kata pria itu, "Apakah kamu benar-benar bahagia?", menggema seperti bisikan yang tak mau pergi.
Anna menarik napas panjang dan menutup matanya. Ia ingin percaya bahwa ia sudah memilih jalannya, bahwa Alan adalah rumah tempat ia ingin menetap. Namun, hati manusia tak pernah sesederhana itu.
---
Keesokan paginya, Alan bangun lebih dulu. Ia terlihat sibuk di dapur, membuat sarapan. Anna terkejut ketika menemukan suaminya telah menyiapkan roti bakar dan telur orak-arik untuk mereka berdua.
"Pagi, sayang," sapa Alan dengan senyum hangat.
Anna membalas senyuman itu, meskipun lelah masih tampak di matanya. "Kamu bangun lebih pagi dari biasanya."
"Ya, aku ingin melakukan sesuatu yang berbeda hari ini. Aku ingin menunjukkan kalau aku serius memperbaiki hubungan kita," kata Alan, menyerahkan secangkir kopi kepada Anna.
Melihat usaha Alan, hati Anna terasa perih. Ia ingin sepenuhnya menerima cinta suaminya lagi, tetapi kenangan tentang Erik terus mengusik ketenangannya.
---
Hari itu, Alan mengusulkan mereka pergi bersama ke taman. Ia ingin mereka menghabiskan waktu seperti pasangan biasa, mencoba mengembalikan kebahagiaan kecil yang dulu pernah mereka miliki.
Di taman, mereka berjalan berdua, menikmati udara segar dan suasana yang tenang. Alan menggenggam tangan Anna, berusaha menciptakan momen yang manis.
Namun, di tengah kebersamaan itu, Anna tiba-tiba merasa bersalah. Bayangan Erik kembali hadir, mengingatkannya pada pengkhianatan yang ia lakukan.
"Anna, kamu baik-baik saja?" tanya Alan ketika ia melihat istrinya terdiam.
Anna tersentak dari lamunannya. "Aku... aku hanya sedikit lelah," jawabnya sambil tersenyum tipis.
Alan mengangguk. "Kalau begitu, kita pulang saja. Aku tidak ingin kamu kelelahan."
Sepanjang perjalanan pulang, Anna merasa dadanya sesak. Ia ingin jujur pada Alan, tetapi ketakutan akan menghancurkan segalanya membuatnya bungkam.
---
Malam harinya, saat Alan sudah tertidur, Anna duduk sendirian di ruang tamu. Ia memandangi foto pernikahan mereka yang terpajang di dinding.
"Apakah aku masih pantas mendapatkan kebahagiaan ini?" gumamnya.
Ia meraih ponselnya dan tanpa sadar membuka kontak Erik. Jarinya berhenti di atas layar, ragu-ragu. Ia tahu bahwa menghubungi Erik hanya akan memperumit segalanya, tetapi ada dorongan kuat yang sulit ia abaikan.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Anna memutuskan untuk menutup ponselnya. Ia tidak ingin menghancurkan kesempatan kedua yang Alan berikan.
Namun, keesokan harinya, takdir seakan bermain-main dengannya.
---
Saat Anna sedang berbelanja di supermarket, ia tanpa sengaja bertemu Erik lagi. Pria itu tampak terkejut melihatnya, tetapi senyumnya segera menghiasi wajahnya.
"Anna, ini kebetulan yang aneh," sapa Erik.
Anna merasa tubuhnya kaku. Ia ingin pergi, tetapi kakinya seperti terpaku di tempat.
"Aku tidak menyangka akan bertemu lagi denganmu," lanjut Erik, suaranya lembut.
Anna mencoba tersenyum, meski hatinya berdebar kencang. "Aku... aku hanya belanja kebutuhan rumah."
Erik mengangguk. "Kalau begitu, aku tidak akan mengganggumu. Tapi kalau kamu butuh teman bicara, aku masih di nomor yang sama."
Sebelum pergi, Erik memberikan kartu namanya. Anna hanya memegang kartu itu dengan canggung, tidak tahu harus berbuat apa.
Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan itu. Ia tahu bahwa ia harus menghancurkan kartu nama itu dan melupakan Erik selamanya, tetapi hatinya berbisik lain.
---
Ketika sampai di rumah, Alan sedang duduk di ruang tamu, membaca buku. Ia menyambut Anna dengan senyum hangat seperti biasa.
"Belanjaannya banyak sekali. Butuh bantuan?" tanya Alan sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Tidak, aku bisa sendiri," jawab Anna cepat, lalu bergegas membawa tas belanjaan ke dapur.
Di sana, ia merogoh tasnya dan mengeluarkan kartu nama Erik. Ia memandangnya dengan tatapan bingung, lalu menggenggamnya erat.
"Anna, kamu sedang apa?" suara Alan tiba-tiba terdengar dari belakangnya.
Anna tersentak, cepat-cepat menyembunyikan kartu itu di saku. "Tidak apa-apa, hanya memeriksa belanjaan."
Alan menatapnya curiga, tetapi ia memilih untuk tidak berkata apa-apa. "Kalau begitu, aku akan menunggu di ruang tamu."
Setelah Alan pergi, Anna menghela napas panjang. Ia tahu bahwa rahasia ini bisa menghancurkan segalanya jika sampai terungkap.
---
Malam itu, Anna duduk di tempat tidur, memandangi Alan yang sudah terlelap. Ia merasa seperti terjebak di persimpangan jalan. Di satu sisi, ia ingin memperjuangkan pernikahannya, tetapi di sisi lain, bayangan Erik terus menariknya kembali ke masa lalu.
Akhirnya, Anna mengambil keputusan. Ia merobek kartu nama Erik menjadi beberapa bagian dan membuangnya ke tempat sampah.
"Aku harus melupakan semuanya," bisiknya pada diri sendiri.
Namun, dalam hati kecilnya, Anna tahu bahwa melupakan tidak pernah semudah itu. Bayangan masa lalu masih akan terus menghantuinya, menguji seberapa kuat ia bertahan untuk cinta yang sedang ia coba bangun kembali.