Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 20
Semakin ke sini aku mulai melupakan soal percintaan dan harapan bertemu dengan Trio. Mungkin inilah yang disebut dengan move on, aku hanya memiliki doa khusus untuk Trio agar hidupnya di sana lebih baik lagi. Aku harap ia memiliki masa depan yang cerah sesuai dengan yang ia ceritakan padaku kalau itu. Dalam lamunan satu pesan masuk ke gawaiku.
[Hai,] nomor kak Antoni bertengger, ada apa. Tumben sekali mengirim pesan hanya dengan kata hai. Biasanya langsung to the poin menyampaikan pesan ayah.
[Ada apa, Kak] balasku singkat.
[Nanti malam ada waktu?] satunya kata datang lagi.
[Tidak ada.]
[Bisa kita makan bersama. Ada yang ingin kusampaikan padamu.]
[Nanti kutanya ayah dulu]
[Biar aku yang bilang sama bapak,]
[Ok]. Aku mengakhiri lempar pesan.
Malamnya entah bagaimana caranya kak Antoni bicara dengan ayah, tiba-tiba saja ayah menanyakan apakah benar aku ada janji untuk maka di luar bersamanya. Aku sontak kaget karena tidak bisanya ayah mengizinkan aku keluar tanpa pak Syarif apa lagi hanya untuk dinner dengan lawan jenis.
"Ayah kasih izin aku keluar sama kak Antoni?"
"Loh kenapa tidak, ada pak Syarif yang pantau kok."
"Oh, sama pak Syarif juga."
"Iya dong, jangan pikir kalian hanya berdua saja. Tidak baik itu."
"Ah, ayah."
"Ayah sebetulnya ingin melarang, tapi tidak enak juga karena dia memohon dengan nada memelas. Mana mungkin ayah tega."
"Hah, serius yah?"
"Tidak tau apa yang dia pikirkan sampai sebegitunya memohon untuk bisa dinner sama kamu."
"Ya Tuhan."
Untuk seumur hidupku, baru pertama kalinya aku makan malam dengan orang lain selain keluarga atau teman. Meski tetap dalam pantauan pak Syarif, tetap saja ada perasaan canggung yang membuatku sedikit tidak nyaman.
Kak Antoni terlihat berbeda dari biasanya. Ia lebih rapi dan klimis, terlihat sangat matang dan dewasa, nilainya juga menjadi cukup tinggi, sangat jantan. Tanpa banyak bicara aku langsung menduduki kursi yang ia seret dan dipersilahkannya untukku. Kali ini dress yang digunakan cukup sederhana, meski begitu aku tahu aku terlihat anggun karena ini adalah dress andalan yang pernah ibu belikan untukku dulu semasa SMA. Aku pernah memakainya saat ulang tahun teman dan hampir semua teman terpesona melihatku. Dress berlengan panjang dan selutut berkain dasar Shimmer membuat cahaya lampu seolah tersorot padaku. Lekuk tubuhku pun ikut mendukung.
"Cantik sekali." puji kak Antoni.
"Ah, biasa saja." sahutku santai.
Usai menyantap makanan di meja, aku kak Antoni menatapku tajam. Ia seperti ingin menerkam, senyumnya begitu menyeramkan membuat aku ingin lari darinya sekarang juga.
"De, aku lancang tidak ya?" katanya membuka pembicaraan.
"Soal apa?" aku terheran.
"Aku mau mengungkapkan sesuatu, tapi bagaiman caranya ya."
"Mengungkapkan apa?"
"Ada hal yang terlalu lama kusimpan, iya. Sangat lama."
"Selama apa, dan apa?"
"Perasaanku."aku menarik napas panjang, menghembuskan perlahan dan membenarkan cara dudukku. Aku tahu apa yang akan kudengar malam ini, yang mungkin akan berakibat fatal bagi hubungan kami berdua ke depannya.
"Non, ada telepon dari bapak." tiba-tiba pak Syarif menggagalkan semuanya. Aku tahu ini adalah salah satu perintah ayah.
"Oh, iya. Pak, Makasih. Kok ayah tidak langsung menelpon ke hp-ku saja."
"Katanya hp, Non gak aktif."
"Astaga, apakah iya? Halo yah?" aku menerima telepon sambil.berdiri tegak, perlahan meninggalkan tempat.
"Kak aku duluan ya, nanti obrolannya kita sambung lagi. Ayah nyuruh segera pulang, katanya ibu tantrum maaf ya," tanpa menunggu persetujuannya aku langsung menyuruh pak Syarif mengekori sampai ke dalam mobil.
*****
Malam itu hampir saja menjerumuskan, aku tidak mau hanya karena satu hubungan, hubungan yang lain terpecah. Aku tidak ingin di masa mendatang kak Antoni dan ayah tidak lagi bisa bekerja sama gara-gara aku, lagi pula aku sudah berjanji pada ayah dan ibu untuk tidak membawa laki-laki dalam prosesku.
Membuka pintu dalam keadaan setengah panik bercampur rasa kantuk. Ayah sudah menunggu di ruang depan sambil menyalakan televisi.
"De, kamu tidak apa-apa?" ayah sepertinya sedang panik.
"Aman ayah, emang kenapa sih sampe segitunya?"
"Ya, ayah khawatir aja."
"Kan, ayah yang izinin aku pergi sama kak Antoni. Kok panik." ayah semakin cemas.
"Iya, ayah takut aja kamu kenapa-kenapa?" ayah trauma pada kejadian lampau, aku tahu ia sangat takut kehilanganku untuk yang kedua kalinya. Aku paham sekali dengan tingkah lakunya, ayah tidak tenang seperti biasanya. Aku lantas memiliki ayah erat untuk menenangkan.
"Aku baik-baik saja kok ayah, aku janji akan jaga diri. Lagian ada pak Syarif yang setia memantau keberadaan aku. Ayah tenang ya!" aku melepas pelukannya dan segera bergegas naik ke kamar. "oh, iya. Thank you tadi udah telepon di waktu yang tepat. Aku sayang ayah," aku kemudian meninggalkan ayah tetap di ruang depan sendiri bersama suara televisi yang bising.
Masih dengan kegiatan harianku. Pagi-pagi sekali aku bangun tidur untuk bersiap, sebelumnya kami sarapan bersama sambil berbincang tipis, aku kemudian membantu ibu mencuci piring sedang ibu membereskan meja makan dan ayah menyiapkan baju dan perlengkapan kerjanya sendiri tanpa bantuan ibu. Ini kerja sama yang sangat baik menurutku. Setidaknya ayah tidak menambah kerepotan ibu dengan memintanya menyiapkan baju dan perlengkapan berangkat ke kantor. Sebelum sarapan pun, ayah membantu ibu membuatnya di dapur, keluarga yang mungkin tidak semua anak seberuntung diriku.
Pak Syarif menyupiri mobil pribadi yang biasa kupakai, ayah sudah membeli mobil baru untuk dibawanya sendiri ke kantor. Di dalam mobil, aku terlamun sejenak. Rintik hujan yang menghiasi kaca mobil membuat suasana hati terasa hampa, penat dan sulit bernapas lega. Ada penderitaan yang kita gabung sampai sekarang yang tidak ada satu orang pun tahu termasuk ayah dan ibu.
Hujan mulai deras, suara jatuhnya terdengar berentetan di kaca mobil, dingin. jalanan mulai kuyup pengendara motor tetap menerobos dengan kepala sedikit tertunduk, padahal mereka menggunakan helm. Ada anak kecil berseragam SD di boncengan ayahnya, ia memeluk erat ke perut pengemudi karena terlalu mempercayainya. Aku tersenyum kecil, meski cuaca dingin, kebersamaan mereka pasti sangat hangat. Aku bersyukur karena memiliki orang tua kaya sehingga tidak kepanasan dan kehujanan saat bepergian. Hal ini harus kuingat dan kutekankan dalam diriku, karena jika kufur nikmat, aku bisa kembali melupakan betapa berharganya keluarga kecilku.
"Non, memang semalam Ujang ada perlu apa?" pak Syarif memang aki-aki yang agak kepo dan banyak tanya.
"Dia malah tidak bicara apa pun. Ditambah langsung dipotong karena ada telepon dari ayah, kan."
"Iya non, sebetulnya itu saya yang telepon duluan. Soalnya bapak pesan, kalau non sama si Ujang selesai makan, bapak suruh telepon."
"Oh jadi itu rencana ayah? Bisa-bisanya ya."
"Ya, demi kebaikan non juga, kan?"
"Aku juga harus berterimakasih nih sama pak Syarif karena mau sabar nunggu Derama aku dulu sampe beres makan."
"Tidak apa-apa non, meski semalam bapak belum makan dan tidak dipesankan makanan, he he he,"
"Astaga, aku lupa. Pak, maaf ya." karena merasa tertekan saat berhadapan dengan kak Antoni, membuatku lupa menyuruh pak Syarif memesan makanan juga. Pak Syarif terkekeh melihat tingkah polosku yang benar-benar merasa bersalah karena sudah membuat pak Syarif kelaparan tadi malam.