Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENYAKIT YANG MENGHANTUI
Bima merasakan ada sesuatu yang aneh dengan Megha. Sejak beberapa minggu terakhir, sahabatnya itu terlihat lebih lelah dari biasanya. Dia yang dulu ceria dan penuh energi kini tampak sering melamun dan kehilangan fokus. Ketika mereka berada di perpustakaan atau sedang bekerja sama di proyek, Bima melihat bagaimana Megha sering menggosok pelipisnya atau menyentuh perutnya, seolah-olah ada yang mengganggu.
Hari itu, saat mereka belajar di perpustakaan, Bima tidak bisa menahan rasa khawatirnya. “Meg, lo udah makan belum?” tanyanya, mencoba mengalihkan perhatian dari pikirannya yang gelisah.
Megha mengangguk sambil tersenyum, tetapi senyumnya terasa dipaksakan. “Iya, Bim. Tadi pagi gue makan sandwich,” jawabnya singkat, meski Bima bisa melihat ada sedikit kesakitan di matanya.
“Gue rasa lo perlu istirahat, deh. Lo kelihatan lelah banget,” Bima melanjutkan, berusaha menunjukkan kepedulian tanpa terdengar menginterogasi. Namun, Megha hanya mengangkat bahu dan tersenyum lagi, berusaha menutupi apa pun yang sebenarnya terjadi.
Bima tahu Megha lebih dari sekadar sahabat. Dia sudah mengenalnya selama bertahun-tahun, dan dia bisa merasakan ada yang tidak beres. Mengingat kembali saat mereka berbagi rahasia, tawa, dan momen-momen bahagia, Bima merasa sangat peduli. Dia ingin membantu, tetapi di satu sisi, dia juga tidak ingin membuat Megha merasa tertekan.
Menyusun Pertanyaan
Setelah beberapa hari merasakan keanehan ini, Bima memutuskan untuk mencoba berbicara lebih langsung. Dia tidak bisa terus-menerus mengamati tanpa melakukan apa-apa. Malam itu, saat mereka sedang duduk di taman kampus, suasana di sekeliling mereka tenang. Bima menatap bintang-bintang, mencari keberanian untuk mengungkapkan kekhawatirannya.
“Meg, ada yang mau gue tanyakan. Lo udah beberapa minggu ini kelihatan… beda. Gue merasa ada yang lo sembunyikan,” Bima memulai, nada suaranya lembut namun tegas.
Megha menunduk, seolah-olah bingung mencari kata-kata yang tepat. “Bim, enggak ada yang serius-serius amat kok. Mungkin gue cuma lagi capek,” jawabnya, berusaha meyakinkan Bima.
Bima tidak puas dengan jawaban itu. “Gue tahu lo, Meg. Lo bukan tipe orang yang gampang menyerah. Jadi, kalau ada yang terjadi, tolong bilang sama gue. Gue di sini buat bantu lo.”
Megha menghela napas panjang, merasa tertekan oleh perhatian Bima. “Sebenarnya…,” dia mulai, tetapi ragu-ragu. “Gue cuma ngerasa sedikit pusing akhir-akhir ini. Mungkin karena tugas kuliah dan stres.”
Bima mengerutkan dahi. “Stres? Apa yang lo lakukan untuk mengatasi ini? Lo harus lebih jaga kesehatan.”
“Gue tahu, Bim. Tapi kadang-kadang sulit. Gue enggak mau bikin lo khawatir,” jawab Megha, mengalihkan pandangan ke tanah.
“Lo enggak bikin gue khawatir, Meg. Justru lo bikin gue lebih khawatir kalau lo terus menahan semuanya sendirian. Kita bisa cari solusi bareng,” Bima menegaskan, berharap kata-katanya bisa membuka hati Megha.
Momen Kritis
Malam itu, ketika mereka berbicara, Bima merasakan kehangatan dalam hubungan mereka. Dia ingin Megha tahu bahwa dia tidak perlu merasa sendirian. Namun, saat melihat sahabatnya tampak ragu, dia juga merasa putus asa. Dia ingin membantu tetapi tidak tahu bagaimana caranya.
Beberapa hari kemudian, saat mereka belajar bersama di rumah Bima, keadaan Megha semakin terlihat tidak baik. Dia tampak sangat lelah dan bahkan tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran yang mereka bahas. Bima semakin khawatir dan merasa ada yang lebih dalam yang sedang terjadi.
“Meg, ayo kita ambil istirahat. Lo kelihatan semakin capek. Kita bisa nonton film atau sesuatu,” tawar Bima, ingin memberikan sedikit waktu untuk Megha beristirahat.
“Gak usah, Bim. Kita harus cepat selesai. Masih banyak yang harus dikerjakan,” jawab Megha, suaranya sedikit tegang. Dia tahu bahwa Bima hanya ingin membantunya, tetapi dia tidak ingin mengecewakannya.
“Enggak, Meg. Ini bukan soal tugas. Ini soal kesehatan lo. Lo harus dengerin tubuh lo,” kata Bima dengan nada lebih serius. Dia menggenggam tangan Megha, berusaha menyalurkan dukungan dan kepedulian.
“Bim, please. Gue bisa atasi ini,” sahut Megha, tetapi saat dia menatap mata Bima, dia merasakan ada sesuatu yang retak dalam pertahanannya. Sebuah kerentanan yang dia coba sembunyikan mulai muncul ke permukaan.
“Lo enggak perlu sendirian dalam ini. Kita bisa hadapi semua ini bareng. Apa lo mau ke dokter? Mungkin ada yang bisa diatasi,” tawar Bima, tatapannya penuh harapan.
Menghadapi Ketakutan
Setelah beberapa saat terdiam, Megha akhirnya mengangguk perlahan. “Oke, Bim. Mungkin gue memang perlu ke dokter. Cuma… gue takut. Takut hasilnya gak baik,” ungkap Megha, suaranya bergetar.
Bima mengertakkan rahang, merasakan betapa dalamnya ketakutan yang dirasakan sahabatnya. “Lo enggak perlu takut, Meg. Apa pun hasilnya, gue ada di sini buat lo. Kita hadapi ini bareng.”
Kata-kata Bima memberikan sedikit ketenangan di hati Megha. Meski perasaannya campur aduk, dia merasa sedikit lebih tenang. Dia tahu, dia tidak harus menghadapi semuanya sendirian. Dia memiliki Bima di sampingnya, dan itu memberi kekuatan yang dia butuhkan untuk melangkah maju.
Akhirnya, mereka sepakat untuk membuat janji temu dengan dokter di rumah sakit terdekat. Saat meninggalkan rumah Bima, Megha merasa sedikit lebih ringan. Dia tahu bahwa langkah ini tidak akan mudah, tetapi bersama Bima, dia merasa siap untuk menghadapi ketidakpastian yang menghantui dirinya.
“Thanks, Bim. Lo selalu bisa jadi penopang yang kuat buat gue,” kata Megha saat mereka berjalan pulang, menyadari bahwa persahabatan mereka telah tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam dari sebelumnya.
“Selamanya, Meg. Kita akan lewati ini semua bareng,” jawab Bima, menggenggam tangan Megha dengan erat, seolah mengisyaratkan bahwa dia akan selalu ada untuknya, tak peduli apa pun yang terjadi.
Dengan keyakinan baru dan keberanian untuk menghadapi masalahnya, Megha tahu bahwa dia tidak akan lagi berjuang sendirian.
Keesokan harinya, Megha dan Bima bersiap-siap untuk pergi ke dokter. Suasana di dalam mobil terasa tenang, meskipun Megha dapat merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Dia berusaha menenangkan diri, tetapi tetap ada rasa cemas yang menyelimuti pikirannya.
“Lo siap, Meg?” Bima bertanya, memecah keheningan yang mulai membebani.
“Gue berusaha. Tapi ya, lo tahu… takut juga,” jawab Megha, melihat ke luar jendela untuk mengalihkan perhatian dari rasa cemasnya.
“Wajar kok. Siapa yang enggak khawatir? Tapi ingat, kita di sini buat nyari tahu dan mendapatkan solusi,” kata Bima, mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Megha di atas setir.
Setelah sampai di rumah sakit, mereka memasuki ruang pendaftaran. Megha mencoba fokus pada setiap langkah, tetapi pikirannya terus melayang. Saat menunggu, dia melihat sekeliling dan merasakan atmosfer rumah sakit yang membuatnya semakin cemas.
Saat Pemeriksaan
Ketika nama Megha dipanggil, Bima menggenggam tangan sahabatnya lebih erat. Mereka melangkah masuk ke ruang dokter. Di dalam, dokter menyapa mereka dengan senyuman ramah.
“Selamat pagi, Megha. Apa yang bisa saya bantu hari ini?” tanya dokter, memandang Megha dengan perhatian.
Megha merasa sedikit tertekan saat harus menjelaskan gejala yang dialaminya. Dia menjelaskan tentang pusing, rasa lelah yang tidak kunjung hilang, dan nyeri di perutnya. Bima mendengarkan dengan seksama, berusaha memberikan dukungan dengan tatapannya.
“Dari apa yang kamu jelaskan, kita akan melakukan beberapa pemeriksaan untuk memastikan penyebabnya. Jangan khawatir, kita akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi,” kata dokter sambil menyiapkan peralatan.
Setelah pemeriksaan fisik dan beberapa tes, Megha merasa sedikit lega. Dia merasa langkah ini tepat dan lebih baik dari sekadar menyimpan semuanya dalam diri. Namun, rasa tidak pasti masih menghantui.
Hasil Pemeriksaan
Beberapa hari kemudian, saat hasil pemeriksaan keluar, Megha dan Bima kembali ke rumah sakit untuk konsultasi. Saat mereka duduk menunggu di ruang dokter, Megha bisa merasakan ketegangan di udara.
“Meg, apapun hasilnya, kita akan hadapi ini bareng,” kata Bima, melihat wajah Megha yang mulai pucat.
“Gue tahu, Bim. Tapi… kalau hasilnya buruk?” tanya Megha, suaranya bergetar.
“Kalau hasilnya buruk, kita cari jalan keluar bersama. Yang penting sekarang, fokus ke hasilnya dulu,” jawab Bima tegas.
Ketika dokter masuk, suasana di ruangan berubah. “Megha, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kamu mengalami gejala mag dan stres yang cukup tinggi. Kita perlu membahas langkah-langkah untuk mengatasi ini,” ungkap dokter.
Megha merasa lega sekaligus cemas. “Jadi, enggak ada yang serius?” tanyanya, berharap untuk mendengar kabar baik.
“Dengan perubahan gaya hidup yang tepat, kamu bisa mengatasi ini. Penting untuk mengatur pola makan dan mencari cara untuk mengelola stres,” jelas dokter.
Kembali ke Rumah
Setelah pertemuan dengan dokter, Megha merasa campur aduk. Di satu sisi, dia merasa lega karena tidak ada yang terlalu serius, tetapi di sisi lain, dia menyadari betapa pentingnya menjaga kesehatan mental dan fisiknya.
“Bim, terima kasih sudah mendampingi gue. Tanpa lo, mungkin gue enggak bisa sampai sini,” kata Megha saat mereka meninggalkan rumah sakit.
“Gue senang bisa bantu. Sekarang, kita buat rencana baru untuk hidup sehat. Kita bisa mulai dengan menu makanan sehat,” jawab Bima, bersemangat.
Mereka pun sepakat untuk mengubah pola makan dan mencari cara untuk mengurangi stres. Saat berjalan pulang, Megha merasa lebih ringan. Dia tahu bahwa meski ada tantangan yang harus dihadapi, dia memiliki Bima di sampingnya, siap mendukung.
Menyusun Rencana
Malam itu, mereka duduk di kafe kecil dekat kampus, merancang rencana kesehatan mereka. “Oke, kita mulai dengan makanan. Gimana kalau kita buat daftar makanan sehat yang bisa lo konsumsi?” tawar Bima, membuka aplikasi catatan di ponselnya.
Megha tersenyum, merasa senang bisa berbagi momen ini. “Bisa, deh! Gue pengen coba menu baru yang enggak membosankan.”
“Dan jangan lupa, kita juga harus menyisipkan waktu istirahat di antara tugas-tugas kuliah. Istirahat yang cukup itu penting,” tambah Bima.
Mereka menghabiskan waktu berjam-jam merencanakan segala sesuatu, dari pola makan hingga cara untuk mengelola stres. Megha merasakan bahwa dukungan Bima memberinya kekuatan yang selama ini hilang.
Momen Introspeksi
Sementara mereka mendiskusikan rencana, Megha merenungkan perasaannya. Selama ini, dia tidak hanya merasa tertekan oleh kesehatan fisiknya tetapi juga oleh rasa kesepian dan ketidakpastian tentang masa depannya. Namun, kini dia merasakan harapan baru dan keinginan untuk memperbaiki hidupnya.
“Bim, terima kasih udah jadi sahabat yang luar biasa. Gue merasa lebih kuat karena lo ada di sini,” ungkap Megha, menatap Bima dengan rasa syukur.
“Gue selalu ada buat lo, Meg. Kita akan melalui semua ini bersama,” jawab Bima dengan tulus.
Megha tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir. Namun, dengan Bima di sisinya, dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Mereka berdua berjanji untuk saling mendukung dan berjuang demi kesehatan dan kebahagiaan satu sama lain.
Dengan semangat baru, Megha melangkah ke arah masa depan yang lebih cerah. Dia tidak lagi merasa sendirian, dan itu memberi kekuatan yang dia butuhkan untuk terus berjuang.