Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Aku berdiri di dekat pintu, menatap ke arah tempat bunda berbaring.
"Bunda!" panggilku lagi, seraya menghampirinya.
"Novita," balasnya dengan tatapan sedih.
"Kenapa, Bun?" tanyaku.
"Kenapa kamu enggak bilang kalau leon dan Kevin sudah meninggal?"
"Maafin Novita, Bunda."
Mataku berkaca-kaca sambil menyentuh tangannya. Tangis kami pun pecah. Berkali-kali, kucium tangan bunda. Tanda aku benar-benar meminta maaf.
"Bahkan Mbok Wati pun harus jadi korban," ucapnya terisak.
Kriet!
Pintu kamar terbuka. Tante Maria dan Rio masuk ke dalam. Bunda sangat terkejut dengan kehadiran adiknya itu. Begitu pula Tante Maria yang sangat senang melihat kakaknya sudah sadar.
"Mbak Hani," ucap Tante Maria sambil melangkah cepat menghampiri bunda, lalu memeluknya.
"Tante," sapa Rio sambil menundukan kepalanya sedikit. Berdiri di ujung tempat tidur.
"Mbak kenapa nangis?" tanya Tante Maria.
"Kenapa Mas Tedi bisa sejahat itu. Mbak kira setelah mengincar mbak, dia gak akan tega menyentuh anak-anaknya. Ternyata dugaan mbak salah."
"Maria juga gak nyangka Mas Tedi bisa setega itu," balas Tante Maria.
"Sekarang dia udah menerima ganjarannya. Aku gak akan pernah mendatangi makamnya," ucap Bunda, marah.
"Ahmad juga ikut terlibat. Gak nyangka dia yang menyarankan Mas Tedi untuk lakuin pesugihan," sambung Bunda.
"Dari mana bunda tau?" tanyaku.
"Tadi dia ke sini."
"Berarti Novita gak salah lihat."
"Kamu ketemu sama dia?"
"Novita uman liat dia ke luar dari rumah sakit."
"Dia ke sini untuk mengakui dosanya," ucap Bunda.
Bunda pun mulai bercerita.
*
Saat itu bunda sedang terjaga, kemudian dikejutkan dengan suara pintu kamarnya yang tiba-tiba terbuka. Bukan perawat atau dokter yang masuk, melainkan Ahmad. Spontan bunda menutup matanya. Sesekali mengintip cepat, memperhatikan tindak-tanduk Ahmad.
Ada gelagat yang tidak baik darinya. Ahmad berjalan menyelusuri setiap sudut kamar. Entah apa yang dia cari. Karena bunda merasa terancam, kemudian menegurnya. Ahmad sangat terkejut, saat melihat bunda sudah sadar. Terlihat jelas di wajahnya yang terlihat panik.
Dia hanya berdiri mematung, tanpa bisa menjawab pertanyaan bunda. Kecurigaan bunda semakin bertambah ketika Ahmad tiba-tiba menangis dan terus meminta maaf. Di saat itu lah dia mulai bercerita.
Di saat kondisi ayah sedang kalut, karena ekonomi perusahaannya di ujung tanduk. Ahmad lah yang memberi saran untuk melakukan pesugihan.
Kemudian, mereka pergi ke sebuah desa yang terkenal dengan dukun-dukun ilmu hitam. Awalnya, ayah hanya ingin melakukan pesugihan dengan tumbal hewan. Namun ternyata, Siluman Ular itu malah meminta satu anggota keluarga sebagai tumbal pertama.
Ayah menolaknya, tapi sayang ... semua terlambat. Perjanjian sudah dilakukan dan tidak bisa dibatalkan. Di sini lah, ayah harus memilih antara bunda, leon atau Kevin. Setelah berpikir panjang, akhirnya bunda lah yang dipilih. Takdir berkata lain, bunda selamat setelah ditolong Mbok Wati.
Kekacauan pun terjadi di antara ayah dan Ahmad. Mereka harus dipaksa mencari tiga tumbal lagi atau ... mereka sendiri yang akan menjadi tumbal. Hingga akhirnya leon yang menjadi korban pertama.
Sejak kematian Leon, ayah sudah berkali-kali mencoba membatalkan perjanjiannya, tapi tidak bisa. Banyak dukun yang mereka datangi, sudah langsung menyerah ketika melihat ayah. Siluman Ular terlalu kuat, itu yang para dukun katakan.
Kevin, terpaksa harus ditumbalkan dan Ahmad pun ikut terlibat. Diam-diam dia melakukan ritual di kamar Kevin dan kolam renang, tempat favorit adikku itu.
Sepandainya-pandainya menyimpan bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga. Itu pepatah yang cocok untuknya. Tanpa sengaja, Mbok Wati memergokinya di dekat kolam renang. Di sini lah, niat Ahmad untuk menghabisi Mbok Wati muncul.
Ahmad kembali ke dukun itu untuk menemukan cara untuk menghabisi Mbok Wati. Sang dukun mengirim salah satu anak buah terkuatnya, sesosok Genderuwo. Rencana mereka pun sukses, Mbok Wati berhasil disingkirkan.
"Cuman sampai situ aja ceritanya, Bun?" tanyaku.
"Iya."
"Ahmad gak bilang, Kan. Kalau waktu malam kematian Mbok Wati. Si Genderuwo itu juga mau coba masuk ke kamar Novita," ucapku kesal.
"Lagian Aneh, kenapa dia cerita semuanya ke bunda?" sambungku.
"Jangan-jangan ...." Aku melangkah mendekati pintu. Kuamati baik-baik setiap inci pintu kamar bunda. Benar dugaanku, rajah yang disimpan Mbok Wati sudah menghilang.
"Tante ...." Aku menatap ke arah Tante Maria.
"Hilang," lanjutku.
"Rajahnya hilang?" Tante Maria bangkit dari duduknya, lalu berjalan cepat ke arah jendela. Rajahnya pun tidak ditemukan di sana.
"Ada apa, Novita?" tanya Bunda kebingungan.
"Bunda ... selama ini Mbok Wati menyimpan rajah di sini. Sekarang sudah hilang. Ini bahaya banget," jelasku.
"Rajah untuk apa?"
"Supaya Siluman Ular itu gak bisa masuk ke kamar ini."
"Jadi ini alasannya Ahmad cerita. Dia hanya mengulur waktu sambil mencari rajah itu," ucap Tante Maria.
"Malam ini, pasti dia akan melancarkan aksinya," sambungnya.
Tante Maria mengambil ponsel di tasnya. Kemudian menelepon seseorang.
"Gak nyambung," ucapnya pelan.
"Kamu telepon siapa, Mar?" tanya Bunda.
"Mbah Promo."
Saat mendengar nama Mbah Promo, aku jadi ingat dengan keris kecil yang dia berikan. Kuambil keris itu di dalam tas, lalu diserahkan pada bunda.
"Bunda, simpan ini!" pintaku sambil menyerahkan keris kecil itu.
"Ini apa?" tanya Bunda.
"Ini untuk melindungi bunda dari kejaran si Siluman Ular."
Bunda menyimpan keris itu di bawah bantalnya.
*
Malam semakin larut, perut ini sudah terasa lapar. Kulirik Rio yang daritadi hanya duduk terdiam di sofa.
"Yo!" panggilku.
"Oit, apaan?" balasnya.
"Cari makan yuk ke luar!" ajakku.
"Iya, sana temenin Novita!" ucap Tante Maria.
Rio bangkit dari tempat duduknya. Kami pun akhirnya berjalan ke luar rumah sakit.
"Mau cari makan di mana?" tanya Rio.
"Makan pecel ayam terenak di sini."
"Naek mobil?"
"Gak! Naek sepeda. Ya mobil lah."
"Ya udah."
Kami berjalan menuju parkiran. Kemudian naik ke dalam mobil.
"Hadeh, macet!" keluh Rio.
"Namanya juga malam minggu, orang-orang pada ke luar," balasku.
Mobil melaju perlahan menuju warung pecel ayam langgananku. Sekitar 30 menit kemudian, kami tiba di warung itu. Lalu, langsung memesan makanan untuk dibungkus. Pesanan selesai, kami pun bergegas kembali ke rumah sakit.
"Gak mau liat ke rumah?" tanya Rio.
Spotan aku menoleh padanya. Pertanyaannya itu membuatku ingat kalau hari ini ayah meninggal dunia.
"Sejahat-jahatnya Om Tedi. Dia tetep ayah Lu," imbuhnya.
Aku terdiam, tak menduga Rio akan berkata seperti itu.
"Setidaknya nengok sebentar aja," imbuhnya lagi.
Kutatap wajahnya, sepertinya dia benar-benar serius mengatakan itu.
"Oke! Tapi cuman lewat aja, Ya! Gak usah turun," balasku setuju.
Mobil melaju ke arah rumahku.
Saat memasuki jalan di dekat rumah, kondisinya sudah mulai ramai. Banyak mobil terparkir di pinggir jalan.
Dari kejauhan kulihat tenda hitam sudah berdiri di depan rumah. Masih banyak orang berkumpul di depannya.
Mobil semakin mendekati rumah. Tepat di depan rumah kulihat Ahmad sedang berdiri di teras. Di sampingnya ada Om Pras. Selain keluarga besar ayah, sempat kulihat beberapa orang dari keluarga besar bunda.
"Lu sama Tante kagak mau ngelayat?" tanyaku setelah mobil melewati rumah.
"Anaknya aja kagak datang," balasnya disertai tawa.
"Di cap anak durhaka dah gw."
"Mereka belum tau aja, kalau dah tau gak mungkin ngecap begitu."
"Iya, gw juga males cerita."
Rio kembali mengarahkan mobil ke rumah sakit.
*
"Lama amat," tegur Tante Maria saat kami masuk ke dalam kamar.
"Macet, Bu," balas Rio.
"Iya, macet," balasku seraya menaruh bungkusan plastik berisi makanan di atas meja. Lalu melihat ke arah bunda, ternyata dia sudah tidur.
Kami bertiga pun mulai makan. Sambil mengobrol dengan suara pelan, agar bunda tidak terganggu. Setelah selesai makan, Tante Maria langsung merebahkan dirinya di atas sofa. Sementara aku dan Rio tetap terjaga dengan ponsel masing-masing. Padahal kemarin malam aku kurang tidur, tapi entah kenapa malam ini tidak terasa ngantuk.
Waktu menunjukan pukul setengah 12 malam, Rio sudah mulai merebahkan dirinya di atas alas. Aku pun mencoba untuk tidur, tapi terasa sulit sekali.
Malam terasa sangat sunyi, sampai-sampai bunyi jangkrik di taman depan kamar tak terdengar. Kamar mulai terasa panas, padahal pendingin udara selalu dinyalakan.
Tuk!
Terdengar suara ketukan di jendela.
Tuk!
Spontan aku menoleh ke sana. Hanya terlihat gordin yang tertutup rapat, tak bisa melihat ke luar kamar.
Brug!
Suara hentakan keras dari langit-langit. Sukses membangunkan seisi kamar, kecuali bunda.
"Ada apa, Novita?" tanya Tante Maria yang baru saja terbangun.
"Bukan aku, tapi dari atas." Aku menunjuk langit-langit kamar.
Bulu kudukku meremang. Suasana mulai terasa mencekam. Bunyi-bunyian itu terus terdengar. Sehingga membuat kami duduk merapat, dekat tempat tidur bunda. Kutatap wajah bunda yang masih bisa tidur dengan begitu tenang.
Wus!
Ada angin bertiup kencang, arahnya dari jendela. Gordin yang tadinya tertutup rapat, kini sudah terbuka lebar. Tidak ada satupun dari kami yang berani untuk menutupnya.
Samar-sama terdengar suara gamelan, semakin lama semakin kencang. Diiringi dengan senandung lirih seorang wanita.
Brug!
Suara benturan kencang dari arah jendela. Membuatku dan Tante Maria teriak ketakutan. Sementara itu Rio hanya diam saja, sesekali celingak-celinguk mengamati situasi kamar.
"Hih, aduh!" ucap Rio yang tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Setelah menengok ke arah jendela.
"Ada apa?" tanyaku bingung, tidak berani menoleh ke arah jendela.
"Itu!"
"Itu apa?"
"Ada cewek di jendela!"
"Duh, iya," ucap Tante Maria yang baru saja menoleh ke sana.
Antara takut dan penasaran, aku pun akhirnya menoleh ke sana. Benar saja, si Wanita Kebaya Hitam sedang berdiri di balik jendela. Kali ini rambutnya tidak disanggul, tapi mengembang. Dengan mata merah menyala.
"Ngapain sih dia di sana!" gerutu Rio.
"Ya mana gw tau!" balasku.
Dep!
Lampu kamar tiba-tiba mati. Kami pun menjerit bersamaan.
Krek!
Krek!
Bunyinya seperti daun pintu yang bergerak naik turun.
"Kak novita! Tolong." Terdengar suara Kevin dari luar kamar.
"Sakit, Kak! Tolong ...." Kini rintihan suara leon yang terdengar.
"Ke luar Novita, selamatkan adik-adikmu." Suara bisikin Siluman Ular itu terdengar di telingaku.
"Pergi!" teriakku.
"Ada apa, Novita?" tanya Tante Maria.
"Novita denger leon sama Kevin minta tolong."
"Itu cuman tipuan, jangan didenger!"
Suara rintihan kesakitan adik-adikku kian menyayat hati. Walaupun aku tau mereka sudah meninggal, tetap saja mendengarnya terasa sakit sekali.
Kututup telinga, tapi tak pengaruh. Suara-suara itu tetap terdengar. Aku pun hanya bisa meringkuk di samping tempat tidur bunda, sambil menangis. Di dalam hati terus berharap agar teror ini segera selesai.
Entah kenapa malam ini terasa sangat panjang. Kami sudah duduk berdempetan selama berjam-jam. Hingga akhirnya suasana tiba-tiba senyap. Lampu pun menyala.
"Lagi pada ngapain di situ?" tanya Bunda yang sudah bangun dari tidurnya.
Tak ada satupun dari kami yang menjawab pertanyaan itu. Dari wajah kami sudah jelas terpancar ketakutan yang teramat sangat.
"Kok, pada gak jawab?" tanya Bunda lagi.
Aku berusaha bangkit dengan kaki yang kesemutan. Lalu meraih ujung tempat tidur dan berdiri.
"Gak ada apa-apa, Bun," balasku berusaha tersenyum.
"Jangan bohong, Sayang. Bunda bisa liat jelas dari muka kamu."
"Nanti saja, Mbak. Aku ceritain," balas Tante Maria.
Rio sejak tadi hanya diam saja, mungkin ini pengalaman pertamanya menghadapi teror Siluman Ular itu. Aku berjalan ke sofa, mengambil ponsel. Ternyata sudah pukul 5 pagi.
"Oh ya, tadi bunda mimpi," ucap Bunda.
"Mimpi apa, Bun?" tanyaku.
"Bunda dijenguk leon sama Kevin."
Deg!
Aku jadi teringat suara jeritan dan tangisan mereka berdua.
"Kayanya Leon dan Kevin kangen sama bunda," balasku, sambil menahan rasa pedih di hati.
"Iya, nanti kalau bunda udah boleh pulang, mau nengok mereka."
"Iya, Bun. Bisa pergi bareng Novita," balasku berusaha tetap tersenyum.