Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Ketulusan di Tengah Badai
Malam itu, Zahra berdiri di depan cermin kamarnya. Gaun berwarna pastel yang dikenakan membuatnya terlihat berbeda, lebih lembut dan dewasa. Hari ini adalah salah satu pertemuan besar keluarga yang sudah lama direncanakan. Sejak Zidan datang menemui keluarganya, Ayah Zahra merasa perlu mengadakan diskusi lebih dalam dengan melibatkan keluarga besar.
Namun, perasaan Zahra bercampur aduk. Ia mengingat dengan jelas percakapan terakhirnya dengan Zidan, saat pria itu meyakinkan bahwa apa pun yang terjadi, ia tidak akan menyerah. Kata-kata Zidan begitu tulus, tapi Zahra tidak bisa mengabaikan kekhawatiran akan penilaian keluarga besarnya yang konservatif dan sering kali tegas dalam menentukan keputusan.
“Zahra, sudah siap?” suara lembut Aisyah menyadarkannya.
Zahra menoleh dan tersenyum tipis. “Iya, aku siap.”
Aisyah, yang sejak awal mendukung Zahra, mencoba memberikan keberanian. “Apa pun yang terjadi hari ini, kamu harus tetap percaya. Jika Gus Zidan adalah pilihan Allah untukmu, tidak ada yang bisa memisahkan kalian.”
Zahra hanya mengangguk pelan. Ia tahu Aisyah benar, tapi keraguan masih bersemayam di sudut hatinya.
Di sisi lain, Zidan juga mempersiapkan dirinya. Dengan dukungan penuh dari Kiai Idris ayahnya, ia datang membawa keluarganya untuk pertemuan itu. Ia tahu bahwa hari ini bukan sekadar membuktikan keseriusannya, tetapi juga tentang memperjuangkan apa yang ia yakini.
“Zidan, ingat,” ujar Kiai Idris saat mereka tiba di rumah Zahra, “keikhlasan adalah kunci. Jangan pernah memaksakan kehendak, tetapi yakinkan mereka dengan ketulusanmu.”
Zidan mengangguk. “Abi, saya akan melakukan yang terbaik.”
Ruang tamu rumah Zahra malam itu terasa penuh, tidak hanya oleh kehadiran banyak orang, tetapi juga oleh ketegangan yang hampir tidak bisa disembunyikan. Ayah Zahra duduk di kursi tengah, diapit oleh beberapa paman dan sepupu yang tampak serius memperhatikan Zidan.
Zidan memulai dengan memperkenalkan dirinya, menjelaskan latar belakang keluarganya, dan tujuan kedatangannya. Meski ia berbicara dengan tenang, ada detik-detik ketika ia merasa suara hatinya lebih kencang daripada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Pak, Bu, dan semua keluarga besar Zahra,” kata Zidan akhirnya, “saya datang dengan niat baik. Saya ingin meminta izin untuk melanjutkan proses taaruf ini lebih serius, tentunya dengan tetap menghormati aturan dan tradisi yang ada.”
Semua mata tertuju pada Zidan, tetapi tidak ada yang langsung memberikan respons. Hening yang panjang membuat Zahra semakin gelisah. Ia menggigit bibirnya, menahan rasa cemas yang membuncah di dadanya.
Akhirnya, salah satu paman Zahra berbicara. “ Gus Zidan, kami tidak meragukan niatmu. Tapi bagaimana kamu bisa meyakinkan kami bahwa kamu siap untuk menghadapi tanggung jawab ini? Zahra adalah anak yang sangat kami sayangi. Kami tidak ingin dia terluka.”
Pertanyaan itu seperti panah yang menusuk langsung ke jantung Zidan. Namun, ia menanggapinya dengan penuh ketulusan.
“Pak, saya tidak akan pernah bisa memberikan jaminan bahwa kehidupan kami akan selalu mulus. Tapi saya berjanji, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk selalu ada di sisinya, dalam suka maupun duka. Karena bagi saya, Zahra adalah anugerah yang harus saya jaga, bukan hanya dengan cinta, tetapi juga dengan tanggung jawab.”
Jawaban itu membuat suasana sedikit lebih cair. Beberapa anggota keluarga Zahra mulai mengangguk-angguk, tetapi masih ada yang tampak ragu.
Setelah pertemuan itu berakhir, Zahra dan Zidan akhirnya mendapat kesempatan untuk berbicara secara pribadi, meski dalam pengawasan keluarga.
“Gus,” Zahra memulai dengan suara pelan, “terima kasih sudah sejauh ini.”
Zidan tersenyum kecil. “Zahra, aku tidak akan menyerah. Aku percaya, selama niat kita baik, Allah akan memberikan jalan.”
Zahra menghela napas panjang. Ia ingin sekali percaya, tetapi bayangan akan kemungkinan terburuk masih menghantui pikirannya.
“Gus,” lanjut Zahra, “kalau nanti keluargaku benar-benar tidak merestui, apa yang akan kamu lakukan?”
Pertanyaan itu membuat Zidan terdiam sejenak. Namun, ia menjawab dengan tegas. “Aku akan tetap menghormati keputusan mereka. Tapi aku juga akan berdoa, agar Allah membuka hati mereka. Zahra, aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah berhenti berjuang, selama itu tidak melanggar prinsip dan ajaran kita.”
Jawaban itu membuat mata Zahra berkaca-kaca. Ia merasa ada kekuatan baru yang mengalir dalam dirinya, meski ketidakpastian masih membayangi.
Hari-hari berikutnya diisi dengan banyak diskusi dan pertimbangan. Beberapa anggota keluarga Zahra mulai melunak, terutama setelah melihat keseriusan Zidan. Namun, ada satu hal yang belum selesai, Zahra harus berbicara langsung dengan ibunya.
Ibu Zahra, meski tidak pernah secara langsung menentang, adalah sosok yang sulit ditebak. Zahra tahu bahwa pendapat ibunya akan sangat memengaruhi keputusan akhir keluarga.
“Bu,” ujar Zahra suatu malam, saat mereka sedang berdua di dapur, “bolehkah aku bicara?”
Ibu Zahra menoleh dan tersenyum lembut. “Tentu, Nak. Apa yang ingin kamu sampaikan?”
Zahra ragu sejenak, tetapi akhirnya ia memberanikan diri. “Ibu, aku tahu ini tidak mudah untuk keluarga kita. Tapi aku ingin Ibu tahu bahwa aku benar-benar tulus menerima Gus Zidan. Aku percaya dia adalah orang yang bisa membimbingku di jalan Allah.”
Ibu Zahra terdiam, wajahnya sulit terbaca. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Zahra, cinta itu indah, tapi juga penuh ujian. Ibu tidak pernah melarangmu mencintai, tapi Ibu hanya ingin memastikan bahwa pilihanmu tidak akan membuatmu menyesal di kemudian hari.”
“Ibu,” Zahra menjawab dengan suara yang hampir bergetar, “aku tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi aku yakin, jika kita menghadapi semuanya bersama, insya Allah, kita akan baik-baik saja.”
Ibu Zahra akhirnya menghela napas panjang. “Baiklah, Zahra. Kalau itu yang benar-benar kamu inginkan, Ibu akan mendukung. Tapi pastikan kamu tetap melibatkan Allah dalam setiap keputusanmu.”
Mata Zahra berkaca-kaca. Ia memeluk ibunya erat, merasa beban besar di pundaknya mulai terangkat.
Keputusan keluarga akhirnya diumumkan. Mereka memberikan izin kepada Zahra dan Zidan untuk melanjutkan proses taaruf, dengan syarat bahwa mereka harus tetap menjaga batasan syariat.
Ketika Zidan mendengar kabar itu, ia langsung sujud syukur. Ia tahu bahwa ini bukan akhir dari perjuangannya, tetapi sebuah awal baru untuk perjalanan panjang mereka.
“Zahra,” tulis Zidan dalam sebuah pesan, “terima kasih telah mempercayai aku. Aku berjanji, aku tidak akan mengecewakanmu.”
Dan Zahra, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, merasa hatinya benar-benar tenang.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, sebuah badai baru mulai terbentuk. Salah satu teman lama Zidan, yang selama ini menyimpan perasaan padanya, mengetahui tentang hubungan mereka. Rasa cemburu dan sakit hati mulai membuatnya melakukan hal-hal yang tidak terduga.
“Kalau aku tidak bisa memilikinya, maka dia juga tidak akan bisa bahagia,” gumamnya dengan penuh dendam.
Perjalanan Zahra dan Zidan belum selesai. Justru, ujian baru sedang menunggu di depan mereka. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi badai ini?
To be continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??