Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sanu VS Dany
---- Saras's Pov ----
Aku menggigit bibir bawahku dengan kuat. Rasanya sangat khawatir membayangkan bagaimana Sanu akan bertanding basket dengan Dany. Apakah dia benar-benar bodoh? Bagaimana kalau dia kalah? Astaga! Aku tidak mau melihat dia dipermalukan di depan umum.
Aku menggigit ibu jariku dengan gelisah saat Sanu dan Dany memasuki lapangan basket yang ada di belakang rumah Ramon. Lapangan tersebut nampak sedikit gelap dengan hanya diterangi oleh sebuah lampu sorot besar yang entah kenapa nampak sangat terang di tengah lapangan dan membuat suasana terasa jauh lebih intens.
Kini semua orang yang menghadiri pesta ini telah berkumpul di pinggir lapangan, saling berebut untuk memandang ke tengah lapangan di mana dua orang populer di kampus itu saling berhadapan.
Sedari tadi aku terus mendapatkan tatapan dan pandangan-pandangan aneh dari banyak orang. Tak terkecuali sahabat-sahabatku sendiri. Aku memahami sikap mereka yang seperti itu. Bagaimanapun juga, selama ini saat mereka sedang membahas dan mengeluh-eluhkan ketampanan Sanu, aku hanya diam dan bersikap acuh. Aku selalu terlihat tidak tertarik di setiap pembicaraan mereka terkait suamiku.
"Kau berhutang penjelasan kepada kami," Dania berbisik tepat di telingaku, membuat aku mengernyit dan tersenyum kaku.
"Semuanya! Hari ini kita akan menjadi saksi, siapakah di antara Sanu dan Dany yang layak mendapatkan Saras. Kita akan melihat mereka bersaing secara jantan dan membuktikan diri mereka di hadapan kita semua. Are you ready?" Ramon berteriak dengan menggunakan sebuah toa dari tengah lapangan.
"Readdyyyyyyyyy!" Aku terkesiap mendengar suara teriakan orang-orang yang sudah mengitari seluruh lapangan ini, sangat lantang dan bersemangat.
Duh, kenapa mereka semangat sekali?
Aku benar-benar khawatir Sanu akan kalah. Di tengah rasa khawatirku itu, ia melirik ke arahku. Aku dapat melihat ekspresinya dengan jelas dari pinggir lapangan tempatku duduk. Ia menyunggingkan senyum tipis dan memandangku selama beberapa detik, seolah sedang menunggu reaksi atau respon dariku.
Aku tidak bereaksi apa-apa dan hanya memandangnya dengan tatapan datar, aku benar-benar tidak mengerti kenapa dia mau melakukan ini.
Tak begitu lama berselang, Ramon meniupkan peluit panjang yang memulai pertandingan mereka berdua.
Dany dengan cepat menyambar bola dan berlari menuju ring basket yang ada di belakang Sanu, dengan mudah ia melesakkan bola itu masuk ke dalam ring dan memperoleh satu poin.
Dany tersenyum simpul ke arahku dan melayangkan ciuman dengan tangannya, membuat kerumunan itu kembali bersorak tak terima.
Jantungku kian berdetak cepat, rasanya hatiku seperti diremas membayangkan Sanu akan kalah dari Dany. Aku benar-benar tidak ingin membuatnya dipermalukan di depan umum dan terlihat menyedihkan di hadapan orang banyak seperti ini.
Mereka kembali ke tengah lapangan, kali ini Sanu dapat merebut bola dari tangan Dany. Ia meliuk ke sana kemari saat Dany berusaha menjatuhkan Sanu, menyenggol bahunya dengan cukup keras namun tak cukup kuat untuk bisa membuat Sanu jatuh. Laki-laki itu melompat dari tempatnya dan melesakkan bola basket itu ke dalam ring dengan mulus, membuatnya mendapatkan tiga poin sekaligus karena melemparnya dari luar kotak.
Aku meremas jemariku sendiri saat menyaksikan pertandingan itu. Seisi lapangan terdengar begitu riuh meneriakkan nama keduanya, khususnya Sanu. Entah kenapa aku merasa tidak suka mendengar gadis-gadis sosialita itu memujanya seperti itu. Mereka yang biasanya menjaga image dan selalu nampak anggun itu pun tidak luput dari pesona keduanya. Siapapun yang menyaksikan pertandingan ini benar-benar tidak akan sanggup menahan diri mereka untuk tidak menjerit bersama.
Sepanjang pertandingan, aku terus menggigit ibu jariku dengan khawatir. Setiap kali Dany mendorong tubuh Sanu agar ia terjatuh, rasanya seperti ada yang meremas jantungku. Aku benar-benar mengkhawatirkan keselamatannya. Tetapi memang benar sialan si Ramon itu. Ia tidak berusaha menghentikan pertandingan dan memberikan warning kepada Dany sama sekali, ia justru tertawa-tawa melihat Sanu nyaris jatuh.
Mereka terus saling merebut dan berlari ke sana kemari. Hebatnya, Sanu bisa mengimbangi permainang Dany. Meski kini Dany unggul lima poin dari Sanu, sepanjang pertandingan ini Sanu benar-benar memperlihatkan keahliannya yang tidak pernah aku sangka sebelumnya.
Aku masih meremas jemariku dengan khawatir saat Dany meminta istirahat sejenak. Ia berjalan ke pinggir lapangan dan meneguk air dari tangan salah satu teman kekarnya itu.
Sementara itu, aku memandang ke tengah lapangan. Sanu masih berdiri di sana sembari berkacak pinggang. Dadanya terlihat naik turun dan keringat membanjiri tubuhnya. Kaos polos berwarna hitam yang ia kenakan pastilah sudah sangat basah jika kami bisa melihatnya.
Aku masih memandangi Sanu dalam diam saat mata kami bertemu. Ia menatapku dengan napas yang masih naik turun. Beberapa bulir keringat menuruni wajahnya hingga ke leher. Ah sial, dia terlihat sangat tampan sekarang. Rambutnya yang acak-acakan dan sedikit basah oleh keringat nampak menutupi sudut mata kirinya. Ia mengulas senyum sekali lagi padaku. Kali ini senyum simpul yang tulus.
Entah kenapa, jantungku lamat-lamat mulai berdebar. Senyumannya membuat sesuatu di dalam hatiku terasa hangat.
Aku hendak membalas senyumannya dengan anggukan saat Dany kembali memasuki lapangan dengan membawa sebotol air. Ia menuangkan air tersebut tepat di bawah kaki Sanu. Membuat air itu menggenangi bagian tengah lapangan basket serta membuat basa sepatu Sanu.
Semua orang bergumam, seolah terheran dengan aksi Dany barusan.
"Apa maksudmu?" Sanu terlihat menurunkan tangannya, dan menatap tajam ke arah Dany.
Dengan senyum tengilnya yang sangat familiar bagiku itu, Dany membuang botol ke samping lapangan dengan kencang hingga mengenai salah satu orang yang sedang berdiri di sana. Ia terdengar mengerang sementara Dany seolah tidak peduli sedikitpun dan masih memandang Sanu dengan senyum menyebalkannya itu.
Duh, ada apa dengan Dany sih?
"Bukankah lebih seru kalau lapangannya sedikit licin?" suara Dany terdengar samar dari tempatku duduk, tetapi aku mendengarnya.
Kenapa jika lapangannya licin? Apa Dany berharap Sanu akan terpeleset dan jatuh karena sejak tadi ia tidak berhasil mendorongnya?
Aku menggaruk pelipisku dengan kasar, ada apa dengan Dany.
"Jangan bodoh, kita bisa terpeleset dan terluka jika lapangannya licin," Sanu mendorong Dany dengan pelan, ia kemudian menarik ujung bajunya dan melepaskan kaos hitam yang sedang dikenakannya itu.
"Aaaaaaaa, astaga!"
"Oh my God, he is the sexiest man alive!"
"Itu di perutnya beneran otot kah? Bukan tempelan?"
Semua gadis di penjuru lapangan berseru melihat aksi Sanu. Termasuk diriku yang kini sedang menjerit sekencang mungkin di dalam hati. Kenapa dia membuka bajunya tiba-tiba seperti itu sih? Kan orang-orang jadi bisa melihatnya! Ini bahkan kali pertama aku melihatnya secara langsung tanpa baju, dan dia membiarkan semua gadis di sini memandanginya dengan memuja seperti itu? Dasar, semua pria memang sama saja!
Di tengah suara jeritan para gadis di penjuru lapangan, Sanu menunduk dan mengelap air yang tergenang di lantai dengan bajunya. Ia mengelap dan memastikan semua air terserap oleh bajunya. Aksinya itu benar-benar membuat kami semua bisa memandang otot lengannya yang tercetak sempurna serta badannya yang terpahat dengan sangat indah.
Sepertinya Tuhan sedang senang saat menciptakan dia.
Sanu mengelap lantai lapangan itu hingga kering kemudian berjalan ke pinggir lapangan dan mengambil jaketnya dari tangan Radit. Ia mengenakan jaket itu dan kembali ke lapangan dengan langkah cepat.
Dan dengan itu, mereka memulai kembali pertandingan yang membuatku khawatir setengah mati itu. Aku meringis dan mencengkeram pahaku, dalam hati kecilku yang terdalam dan tanpa aku sadari sama sekali, aku mengharapkan Sanu memenangkannya. Memenangkan aku.