Cinta Terlarang

"Papa nggak pulang lagi ya Mah.?" Tanya Zia degan tatapan kecewa. Saat ini mereka sedang makan malam bertiga tanpa kehadiran Alan.

Sudah tiga bulan terakhir, hampir setiap seminggu sekali Alan pergi ke luar kota. Walaupun hanya sehari atau dua hari, tapi cukup membuat anak-anak merindukan Papanya. Berbeda ketika Liana yang pergi ke luar kota sampai seminggu penuh, anak-anak tidak begitu mencarinya karna sudah terbiasa.

Liana tersenyum sembari mengusap lembut pucuk kepala Zia. "Papa ada kerjaan di luar kota. Lusa juga sudah pulang ke rumah."

Penjelasan Liana hanya direspon anggukan oleh Zia, bocah itu kembali melanjutkan makan malamnya tanpa bertanya lagi. Dalam hati kecilnya, Zia mulai dihantui rasa takut. Dia takut apa yang pernah dilakukan oleh Mamanya, kini dilakukan oleh sang Papa. Zia tidak siap jika harus kehilangan waktu bersama orang tuanya lagi. Cukup Mamanya saja yang dulu pernah mengabaikannya.

"Padahal dulu Papa nggak sesibuk ini. Papa juga lebih sering pulang awal, kenapa sekarang jadi sering keluar kota." Zio tak tinggal diam dan ikut mengungkapkan keluh kesahnya seperti Zia. Apalagi Papanya semakin jarang mengajaknya berlibur. Mereka hanya menghabiskan weekend di rumah. Terkadang malah di tinggal ke luar kota.

Liana menghela nafas berat, dia jadi merasa bersalah karna dulu pernah mengabaikan anak-anak juga dan sibuk bekerja.

"Bagaimana kalau minggu depan kita liburan.? Nanti Mama bujuk Papa supaya mau berlibur. Zio dan Zia ingin pergi kemana.?" Seru Liana untuk membangkitkan keceriaan anak-anaknya.

"Zia mau ke zoo,,,"

"Ke dufan, Mama..!"

seruan keduanya penuh semangat. Setelah itu berdebat karna pilihan mereka tidak sama. Zia ngotot ingin pergi ke kebun binatang, Zio juga tidak mau mengalah karna ingin bermain di dufan. Liana sampai kewalahan mendengar perdebatan anak-anak dan butuh waktu untuk melerainya.

...*****...

Di sebuah kamar apartemen dengan pencahayaan minim, sepasang kekasih tampak menikmati permainannya di atas ranjang. Gelombang gairah keduanya seakan memenuhi isi kamar yang di iringi suara de Sa han saling bersautan. Peluh membanjiri tubuh keduanya. Dinginnya kamar tak mampu mengurangi panasnya permainan.

Sinta begitu lihai menguasai Alan yang berada di bawahnya. Janda muda itu sudah terkontaminasi permainan pria dewasa seperti Alan. Tingkat keliaran Sinta semakin menjadi. Dia mungkin sudah gila karna terlalu jauh mengarungi kenikmatan bersama Kakak iparnya. Meski sadar perbuatannya salah, namun kepuasan dan kenikmatan yang dia dapatkan dari Alan membuat Sinta tidak mau berhenti. Apalagi melepaskan Alan. Dia memilih egois dengan menjadi simpanan Kakak iparnya.

Erangan panjang mengakhiri permainan panas keduanya. Setelah 3 kali penyatuan, tubuh keduanya ambruk diatas ranjang. Nafas mereka tampak memburu. Alan menarik Sinta membawanya dalam dekapan.

"Cape sayang.?" Tanya Alan. Peluhnya semakin bercampur dengan peluh Sinta. Keduanya menempel tampa ada kain yang menghalanginya.

"1 jam loh Mas, gila aja kalau nggak cape. Kaki ku pegal." Keluhnya.

Alan terkekeh. "Nanti Mas pijat kaki kamu. Seluruh badan juga nggak masalah." Ujarnya.

"Nggak yakin kalau seluruh badan, nanti belum pijat badan sudah beda kegiatan." Sahut Sinta setengah menggerutu.

Tawa Alan pecah. Sinta suka benar kalau bicara. Lagipula semua cowo juga begitu, bukan cuma Alan saja.

"Besok kamu bareng Mas aja ya berangkatnya." Tawar Alan.

Sinta sudah bekerja di perusahaan yang sama dengan Alan. Sudah 2 bulan terakhir dia bekerja di bagian divisi keuangan. Alan yang merekomendasikan Sinta pada manager keuangan yang tak lain adalah temannya sendiri. Jadi tidak sulit membawa Sinta masuk ke perusahaan itu.

"Sinta naik taksi aja kayak biasa. Mas Alan nggak usah aneh-aneh, jangan buat orang-orang curiga. Yang penting kita masih bisa menghabiskan waktu apartemen." Tolak Sinta yang entah sudah ke berapa kali. Sinta benar-benar sangat hati-hati dalam bertindak. Bahkan saat berpapasan dengan Alan di perusahaan, Sinta bersikap biasa saja seolah tidak terlalu dekat dengan Alan. Padahal sebagian orang tau kalau keduanya saudara ipar.

"Tapi Mas juga pengen sekali-kali berangkat atau pulang bareng kamu. Kita belum pernah loh." Ungkap Alan.

"Kalau Mas Alan siap ketahuan, silahkan aja. Aku belum siap di buang sama keluarga ku." Lirih Sinta. Kini sudah tidak ada penyesalan lagi setelah hubungannya dengan Alan semakin jauh dan dalam. Sinta hanya belum menyiapkan hati dan mentalnya jika suatu saat dicoret dari kartu keluarga dan tidak di anggap keluarga lagi oleh mereka.

"Kawin lari mau.?" Ucap Alan tiba-tiba.

Sinta sempat tertegun, lalu tawanya pecah. Alan mengetuk kening Sinta karna wanita itu malah tertawa, padahal dia bicara serius.

"Apanya yang lucu.? Mas nggak bercanda." Gerutu Alan.

"Mas Alan jangan aneh-aneh, ka win di ranjang aja capek banget, apalagi ka win lari." Sahut Sinta main-main. Dia sengaja menanggapi ucapan Alan dengan candaan. Walaupun sudah mencintai Alan, tapi Sinta tidak berniat menguasai Alam sendiri. Masih ada Liana dan anak-anak mereka yang membutuhkan Alan.

"Kamu ini, minta di hajar lagi hem..?" Alan langsung menindih Sinta karna gemas tingkahnya.

"Stop Mas, Sinta masih capek banget. Berendam air hangat kayanya enak." Ujarnya.

"Mau.?" Tawar Alan. Sinta mengangguk tanpa ragu. Alan segera beranjak dari atas tubuh Sinta dan membubuhkan kecupan singkat di bibirnya.

"Mas isi dulu bathtubnya." Kata Alan sembari berjalan ke kamar mandi.

...*******...

Alan pulang ke rumah pukul 8 malam keesokan harinya. Tentu saja setelah makan malam bersama Sinta di apartemen. Saat ini dunia Alan hanya tentang Sinta dan Sinta. Otaknya di penuhi oleh adik iparnya. Dia sudah tergila-gila pada Sinta. Bukan karna kemolekan tubuh Sinta saja, tapi karna rasa nyaman dan bahagia yang hanya bisa Alan dapatkan dari Sinta. Seandainya tidak ada Zio dan Zia, tentu Alan sudah meninggalkan Liana sejak istrinya itu sibuk sendiri dengan dunianya.

Anak-anak sedang belajar di ruang keluarga di temani Liana ketika. Kedatangan Alan membuat dua bocah itu langsung beranjak dan berlari menghampiri Alan.

"Papa kenapa baru pulang.?".Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Zia, padahal kemarin sudah di beritahu Liana kalau Papanya ada pekerjaan di luar kota.

"Maaf sayang, kemarin Papa banyak kerjaan." Jawab Alan. Dia menciumi pucuk kepala mereka bergantian. "Papa beli mainan untuk kalian, ada makanan juga."

Zio langsung menerima tiga paper bag dari tangan Alan. "Pesanan Zio ada kan Pah.?" Tanyanya sambil mengintip isi paper bag.

"Ada dong. Sana lanjut belajar dulu, Papa mau mandi, gerah."

"Makasih Papah,," Seru keduanya dan kembali ke sofa sambil berebut paper bag.

"Zio, Zia, jangan berebut dong." Lerai Liana pelan.

Dia lantas menghampiri Alan dan mengambil alih tas kerja Alan. "Sudah makan sayang.?" Tanya Liana dengan senyum manis di wajahnya.

"Sudah. Aku ke kamar dulu." Alan berjalan melewati Liana begitu saja. Perasaannya pada Liana sudah hambar, tidak ada cinta lagi untuknya.

Liana menghela nafas berat, dia mengekori Alan ke dalam kamar untuk menyiapkan baju santai suaminya.

"Aku ingin bicara berdua, kamu nggak sibuk kan malam ini.?" Tanya Liana. Alan hanya berdehem sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu kamar mandi.