Menyaksikan genosida jutaan manusia tak berdosa langsung di depan mata, membuat Arya terluka dan mendendam parah kepada orang-orang Negeri Lembah Merah.
Entah bagaimana, Arya selamat dari pengepungan maut senja itu. Sosok misterius muncul dan membawanya pergi dalam sekejap mata. Ia adalah Agen Pelindung Negeri Laut Pasir dan seorang dokter, bernama Kama, yang memiliki kemampuan berteleportasi.
Arya bertemu Presiden Negeri Laut Pasir, Dirah Mahalini, yang memintanya untuk menjadi salah satu Agen Pelindung negerinya, dengan misi melindungi gadis berusia tujuh belas tahun yang bernama Puri Agung. Dirah yang bisa melihat masa depan, mengatakan bahwa Puri adalah pasangan sejati Arya, dan ia memiliki kekuatan melihat masa lalu. Puri mampu menggenggam kebenaran. Ia akan menjadi target utama Negeri Lembah Merah yang ingin menguasai dunia.
Diramalkan sebagai Ksatria Penyelamat Bima dan memiliki kemampuan membaca pikiran, mampukah Arya memenuhi takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mirabella Randy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ARIMBI
Kuterbangkan mobilku dengan kecepatan tinggi hingga mencapai Kota Sumba, kota kecil modern yang terletak antara Gurun Tengah dan Desa Madura di pesisir utara.
Kudaratkan mobilku diam-diam di jalanan kosong yang membentang di antara pembangkit listrik tenaga surya, tepat di luar pagar kawat besi berarus listrik tinggi yang membatasi Kota Sumba dan tepi Gurun Tengah. Kuaktifkan fitur mode warna di layar sentuh dasbor tengah, dan memilih warna hitam. Dalam sekejap, permukaan mobil kapsulku berubah warna sesuai keinginanku.
Kuda hitam ini tak akan lebih mencolok dari kuda putih, dan bisa lebih membaur di jalanan tanpa menarik perhatian siapapun.
Aku menelusuri jalanan dalam kota yang riuh kehidupan itu dan berhenti di tempat parkir pusat perbelanjaan modern. Aku mengambil segepok uang tunai dari dasbor, yang sudah kusiapkan untuk situasi darurat sejak pertama kali memiliki mobil ini. Semua uang itu tentu saja asli, namun memiliki seri lama dan sudah sering beredar di masyarakat sebelumnya. Para Agen biasanya melacak buronan dari transaksi digital atau uang tunai seri baru yang diambil dari mesin penarik uang tunai. Penggunaan uang tunai seri lama yang sudah beredar seperti ini membuatku aman bertransaksi meski sedang dalam pelarian.
Kukenakan kain penutup kepala, kacamata hitam, dan masker untuk menutupi wajahku. Penampilan seperti ini wajar bagi penduduk atau pengunjung Kota Sumba yang menerima kiriman angin dan debu pasir dari Gurun Tengah nyaris sepanjang waktu. Aku memasuki sebuah toko pakaian wanita terbesar dan membeli banyak hal--mulai dari pakaian, rambut palsu, aksesoris, sampai seperangkat lengkap kosmetik dan alat pemolesnya.
"Anda mau kami membungkusnya sebagai hadiah?" pelayan toko menawarkan sopan. "Ini untuk kekasih Anda, kan?"
"Tidak... terima kasih. Biar kubungkus sendiri di rumah, bersama hadiah lainnya," dustaku.
Aku menyempatkan diri pergi ke kedai makanan pinggir jalan untuk membeli kopi dan dua bungkus nasi jagung dengan lauk rebusan daun ubi dan bunga pepaya, sambal cacing laut, dan ayam bumbu kuning pedas. Makanan di sini sangat unik dan belum pernah kutemukan di tempat lain. Meski begitu aku bisa menandaskan semuanya. Rasanya cukup enak.
Kuhabiskan makan siangku di dalam mobil, sambil mengamati sekitar dengan segenap kemampuanku. Orang-orang berlalu lalang dengan pikiran dan dialognya masing-masing. Kebanyakan hanya berkutat pada urusan sehari-hari--pekerjaan, rumah, anak, sekolah. Tak ada berita besar dan berarti. Aku meneguk kopiku dan membuka situs berita di tabletku. Memang tak ada kabar apapun yang menarik perhatian. Penyerangan dan pelarianku semalam jelas dirahasiakan negara.
Aku menyeringai. Jadi citraku masih bersih di mata masyarakat. Hanya Agen Pelindung dan Intelijen yang tahu kebobrokanku. Dan cepat atau lambat, para penyusup dan pemberontak itu pasti tahu. Informasi sepenting ini jelas akan sampai ke pihak yang sangat menginginkan nyawaku, dan mereka akan semakin bersemangat memburuku setelah tahu aku tak lagi berada dalam perlindungan dinding Istana.
Justru itu bagus. Pengkhianatan seperti itu berbau sebusuk sampah, dan nafsu membunuh itu lebih mudah kurasakan dengan kekuatan magisku yang sangat sensitif dengan energi dari hantu-hantu pikiran. Para penyusup dan pengkhianat itu akan lebih mudah kutemukan dengan cara ini. Begitu mereka terjangkau oleh kekuatanku, mereka tak akan punya kesempatan untuk lari dan sembunyi. Peluru dan pasukan robotku akan melumpuhkan mereka. Jika berani melawan dan membahayakan nyawa orang tak bersalah, aku tak akan segan mengeksekusi mati.
Meski tentu saja, aku akan melakukannya dengan sangat rapi dan tersembunyi. Tak akan ada yang tahu itu hasil perbuatanku. Tak akan ada yang mengenaliku setelah ini.
Aku melirik kantong-kantong belanja di kursi samping kemudi, dan mendesah.
Baiklah. Ini saatnya.
Kunyalakan mesin mobil, dan aku meluncur terus ke timur. Beberapa kali aku berpapasan dengan mobil kapsul, dan dengan kekuatanku aku bisa tahu orang-orang di balik kaca jendela gelap itu adalah Agen atau pejabat pemerintah. Hanya dua kalangan itu yang memiliki mobil kapsul sebagai fasilitas negara. Mobil seperti ini tidak diproduksi dan dijual secara bebas karena fitur keamanannya sudah didesain sedemikian rupa untuk melindungi para pejabat dan mendukung pekerjaan para Agen. Apalagi, mobil dengan fitur tercanggih seperti yang kumiliki, anti segala jenis senjata, dilengkapi mode terbang dan selam, bahkan dilengkapi rudal. Hanya ada tujuh jenis mobil seperti ini di seluruh Bima. Dan tujuh mobil ini hanya diperuntukkan bagi kaum paling elit dan penting di Negeri Laut Pasir--seperti Presiden, Kepala Pasukan Pelindung dan Intelijen Negara, dan Agen Elit pilihan Presiden.
Aku salah satunya.
Meski sekarang aku bukan Agen Pelindung lagi. Dan mobil ini seharusnya tak menjadi fasilitasku lagi. Aku juga harusnya mendekam di penjara. Tapi di sinilah aku. Berkeliaran bebas di wilayah timur Negeri Laut Pasir, bisa mencicipi sambal cacing laut, dan berpapasan dengan mobil kapsul lain tanpa menimbulkan kecurigaan siapa pun. Ini prestasi tertinggiku dalam hal pelarian. Dan aku merasakan kepuasan dan kegirangan pribadi saat membayangkan bagaimana wajah Dirah ketika menghadapi tatapan orang-orang pagi ini. Mereka semua pasti menyalahkan dirinya karena gegabah dan keliru memercayai orang sepertiku menjadi kaum elit, yang kini berhasil kabur membawa rahasia dan fasilitas terbaik negara.
Dirah yang selalu dipuja bijaksana, cerdas, serba tahu, punya intuisi paling tajam di seluruh Bima, sekarang menanggung kesalahan terbesar dan kekeliruan paling memalukan sepanjang hidupnya.
Rasanya aku mau tertawa sekerasnya.
Meski pun demikian, aku juga merasa heran. Kenapa Randu hanya memberiku status buronan tingkat tiga? Itu setara dengan perampok bank atau pencuri koleksi museum yang berharga. Padahal aku merampok mobil tercanggih dan semua rahasia negara mereka. Harusnya aku menjadi buronan kelas satu, yang wajib diburu tanpa ampun dan boleh dieksekusi di tempat tanpa melalui proses penahanan dan pengadilan terlebih dulu.
Apa yang menjadi pertimbangan Randu? Apa karena aku adalah kerabat Dirah? Apa karena aku telanjur dijodohkan dengan putrinya? Harusnya mereka senang karena bisa memakai alasan perbuatanku ini untuk membatalkan perjodohan itu. Puri pasti akan sangat lega dan bahagia jika bisa lepas dari ikatan paksa yang mengganggu batinnya akhir-akhir ini...
Aku menghela napas panjang. Entah kenapa, rasa sedih itu kembali merasuki batinku.
Atau mungkin, Randu punya muslihat atau taktik lain... orang sehebat dan sejenius dia tak mustahil memiliki rencana berlapis untuk menjerat musuh dan melindungi negerinya. Kau harus tetap hati-hati, hantu pikiran bijakku berbisik dengan suara rendah dalam kepalaku.
Aku tahu.
Apapun taktik musuh, aku tidak gentar. Aku juga punya taktikku sendiri. Rencana yang bisa membuat mereka berbalik gentar dan menyesal, dan begitu mereka menyadari, aku sudah di belakang punggung mereka, senjataku teracung dan siap menghilangkan nyawa.
Aku tak akan memberi ampun.
Mobilku memasuki wilayah hutan pantai luas yang membatasi Kota Sumba dan Desa Madura. Akses masuk hutan ini buruk. Jalannya berlumpur parah. Vegetasinya rapat dan liar. Hutan ini memang bukan jalur umum untuk dilalui kendaraan. Aku saja yang diam-diam nekat menerobosnya.
Karena, seperti Gurun Tengah, hutan pantai ini hampir tak disentuh manusia. Hanya ada beberapa binatang buas bertahan hidup di tempat suram ini. Bagiku, ini tempat yang sempurna untuk memulai misi.
Aku mengaktifkan mode terbang lagi dengan perisai elektrik yang memudahkanku menerobos hutan. Beberapa pohon terbakar ketika bersenggolan dengan perisaiku, tetapi batang berapinya segera padam begitu rontok dan menyentuh tanah berlumpur basah.
Aku menemukan sebuah gua kecil--yang sempat kulihat melalui citra pindai satelit tiga hari lalu. Ya, aku sudah memetakan semua wilayah di timur ini dengan seksama. Aku tidak kabur tanpa arah dan tujuan. Hutan dan gua kecil ini yang memberiku inspirasi untuk membangun markas rahasia kecilku di sini, karena lokasinya yang sempurna, dan tak akan dijangkau siapa-siapa meski tak memiliki sistem keamanan dan kubah elektrik seperti Hutan Bukit Barat, serta tak jauh letaknya dari desa tempat targetku tinggal.
Gua kecil itu lembap dan menjadi sarang nyaman bagi ular, kelelawar, serangga, dan beberapa jenis reptil berbisa. Kuparkir mobilku di sudut gua, dan mengaktifkan fitur senjata gelombang panas. Semua hewan buas itu mati terpanggang dalam sekejap.
Aku tetap bertahan di dalam mobil yang pendingin udaranya menyala dengan aroma hutan basah. Kutenangkan pikiran. Kubuka kantong-kantong belanja, mengambil seperangkat alat poles dan kosmetik, dan mulai bekerja.
Tabletku bersandar aman di atas dasbor tengah, menampilkan foto seorang gadis dengan bekas luka bakar di separuh wajah dan leher, yang biasa ditutupi dengan gerai rambut hitam tipisnya yang panjang. Matanya hitam memandang sungkan ke depan. Wajahnya kecil dengan tulang pipi menonjol. Bibirnya agak tebal. Kulitnya sama pucatnya dengan warna kulitku--untunglah.
Gadis itu adalah Arimbi. Dia adalah adik Braja Musti, Agen Pelindung yang hilang di Desa Madura dua minggu lalu. Hilangnya Braja menimbulkan banyak tanda tanya dan spekulasi.
Ia memang lahir dan besar di Desa Madura, dan saat kasus penyerangan liar pertama kali terjadi di sana, Agen Braja kembali ke kampung halamannya untuk meredakan kekacauan bersama selusin agen lainnya. Mereka berhasil menumpas para pelaku dan mengirim semuanya ke Pusat Penyembuhan yang dikelola Dokter Kama.
Namun tiba-tiba saja, Braja menghilang. Sepasang sepatunya ditemukan di atas karang tepi laut, berikut surat singkat yang menyatakan kepedihannya dan keinginannya menyusul Arimbi, adiknya satu-satunya, ke alam baka.
Arimbi adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki Braja, setelah kedua orangtua mereka tewas dalam pemberontakan berdarah bertahun-tahun silam. Braja dan Arimbi yang masih kecil dirawat oleh seorang Agen Pelindung yang berasal dari Desa Madura juga, bernama Umbu Rangu. Saat besar, Braja mengikuti jejak ayah angkatnya sebagai Agen, sementara Arimbi, yang cacat separuh wajahnya dan tunawicara karena tenggorokannya hancur oleh kebakaran yang menimpa rumah mereka saat pemberontakan berdarah meletus, meneruskan kuliah di Universitas Negara, mengambil jurusan botani.
Arimbi gadis cacat namun cerdas, dan sangat disayang Braja dan ayah angkatnya. Namun naasnya, hampir dua bulan lalu, Arimbi menjadi korban penusukan di halte bus ibukota. Ia tertikam di jantung dan koma.
Braja murka. Ia langsung mengajukan diri ikut pasukan Bara untuk melacak para penyusup dan otak pemberontakan. Dua minggu lalu, saat ia terjun sebagai pasukan cadangan yang menumpas penyerangan brutal di Desa Madura, ia mendapat kabar bahwa Arimbi menghembuskan napas terakhirnya di Pusat Penyembuhan.
Rekan-rekannya bersaksi, Braja sangat terpukul. Ia seperti kehilangan semangat hidup, dan mendadak mengurung diri di rumah lamanya. Ia bahkan menolak kembali ke ibukota dan melaksanakan kewajibannya sebagai Agen.
Saat rekannya mencoba membujuknya, Braja tak bisa ditemukan di rumahnya. Ia lenyap begitu saja. Keesokannya, seorang nelayan menemukan sepatu dan surat tulisan tangan Braja di puncak karang pesisir. Semua mengira ia mati bunuh diri.
Cerita yang bagus dan meyakinkan, kalau saja, malam itu, robot nyamukku yang berpatroli di Desa Madura, tak menyaksikannya meninggalkan pantai dengan telanjang kaki. Mukanya merah padam dan ia bergumam, "Akan kuhancurkan negeri ini dengan kedua tanganku sendiri. Akan kubunuh Presiden. Aku bersumpah mereka semua harus membayar dengan nyawa."
Sialnya, saat itu ada lagi peristiwa orang yang mendadak gila dan mengamuk di dekat pantai. Robotku secara otomatis memburu dan melumpuhkan orang gila itu. Saat aku mengambil alih kendalinya untuk mengejar Braja, ia sudah menghilang entah ke mana.
Tak ada yang pernah melihat dan menemukannya, sampai sekarang.
Itulah alasan lain mengapa aku memutuskan lari dari Istana dan menuju Desa Madura. Selain untuk mencegah terjadinya pemberontakan berdarah secara langsung, aku juga ingin menyelidiki tentang Braja Musti. Dia adalah benih api berbahaya yang luput dilihat siapa saja, bahkan oleh penglihatan magis Randu. Hanya aku yang telah melihatnya. Karena itu, kuputuskan untuk menelusuri semua masa lalunya, dan mencari jejaknya, dengan menyamar sebagai Arimbi.
Sebetulnya, Arimbi belum meninggal. Ia memang sempat koma, namun Dokter Kama berhasil mengoperasinya hingga ia selamat. Sayangnya, Dokter Kama juga menemukan Arimbi sudah tertular virus gila itu, sehingga Dokter Kama memutuskan memindahkan Arimbi ke lokasi isolasi rahasia untuk merawatnya sekaligus meneliti virus dalam tubuhnya. Virus yang menjangkiti Arimbi merupakan mutasi jenis berbeda dari semua mutasi virus yang sudah dikumpulkan Dokter Kama. Untuk mencegah bocornya informasi rahasia seputar mutasi virus, Dokter Kama mengumumkan Arimbi sudah meninggal.
Informasi asli mengenai Arimbi hanya diketahui Dokter Kama, Dirah, dan Randu. Agen Elit pun tak ada yang mengetahuinya, selain aku, karena Dirah mengizinkanku mengakses semua file-nya yang berhubungan soal kasus ini, terutama tiga hari belakangan, saat aku memintanya dengan alasan ingin bisa membantu pemecahan kasus meski harus terkurung di Istana. Tentu Dirah tak curiga aku akan kabur dari Istana. Ia juga bilang, file-file ini memang sengaja dirahasiakan untuk menghindari kemungkinan terburuk menimpa kalangan internal Istana Negara.
Dugaanku benar. Dirah dan Randu curiga ada penyusup di kalangan internal Agen, karena itu mereka sengaja menyimpan rapat beberapa informasi kunci. Dan sekarang, setelah aku kabur begini, dugaan penyusup itu akan mengerucut padaku.
Tapi aku tak peduli. Aku berada di tempat yang jauh dan tak terduga. Kalau pun mereka tahu dan hendak menjangkauku, aku pasti akan tahu lebih dulu, dan bisa kabur secepatnya, karena mata-mataku sudah tersebar di seluruh negeri ini.
Aku selangkah di depan musuh. Aku selalu bisa menang.
Karena itu jugalah, aku percaya diri menyamar sebagai Arimbi. Aku bisa mengatakan info kematianku keliru dan aku akan muncul kembali di rumah Braja dan menyelidiki semuanya dari sana. Ini sekaligus trik untuk memancing Braja muncul kembali. Kalaupun Randu tahu, ia tak bisa sembarangan memerintahkan penangkapanku sebagai Arimbi--karena ia tak bisa mengungkapkan pada dunia bahwa Arimbi yang asli berada dalam program isolasi rahasianya. Tentu ia akan mengawasiku dan mungkin bisa menebak ini adalah aku--tapi akan kupastikan, sebelum itu terjadi, aku sudah lebih dulu menemukan Braja dan mencegah rencana buruk apapun yang dicanangkannya terjadi.
Randu yang keras kepala dan tinggi hati itu akan tunduk dan berterima kasih padaku nanti.
Tapi saat ini, aku harus segera melancarkan aksi. Walau untuk itu, aku harus memulas wajahku dengan teknik rombak penampilan total yang pernah kupelajari di internet--gadis-gadis suka sekali menggunakan teknik ini untuk mengubah wajah mereka menjadi seperti boneka dan mengunggah tampilan mereka di jejaring sosial. Teknik ini menggunakan serangkaian kosmetik tahan air dan berpigmen spesial. Dengan kuas, alas bedak, krim wajah khusus, aneka polesan warna, serta keluwesan tangan, aku bisa membentuk wajahku mirip Arimbi.
Wajah yang tampak lebih kecil dengan tulang pipi tinggi, berikut bekas luka bakar yang cukup meyakinkan di separuh wajah dan leher. Hidung yang lebih mungil, dan bibir lebih penuh--semua itu bisa diakali dengan guratan pensil, kuas, sapuan krim dan warna khusus. Rasanya seperti melukis wajah. Membuatku sesaat hanyut dan melupakan segalanya. Seperti sedang bermeditasi.
Setelah satu jam penuh mendempul, melukis, menggurat, dan memoles, aku menatap wajahku telah berubah menjadi wajah Arimbi sepenuhnya.
Aku menghela napas. Kuletakkan kuasku. Kukenakan rambut palsu, kutata sedemikian rupa agar menyembunyikan separuh wajahku. Kulepaskan seluruh pakaianku, dan berganti mengenakan pakaian perempuan--tunik cokelat lengan panjang, celana legging hitam, yang semua ukurannya pas dan sesuai dengan tubuh Arimbi asli, karena perawakannya tinggi dan tak jauh beda denganku... dan yang membuat hatiku menggeram-geram, aku juga harus mengenakan bra dengan ganjalan spons tebal untuk menunjukkan bahwa aku sungguh seorang gadis.
Terakhir, aku melilit leherku dengan syal merah tipis. Arimbi sangat rendah diri karena bekas luka di wajah dan lehernya, sehingga ia selalu menutupinya dengan rambut dan syal. Ini menguntungkan--aku jadi bisa menyembunyikan separuh wajahku juga, dan leherku yang berjakun.
Sebenarnya ada metode penyamaran yang jauh lebih canggih dari ini. Kau bisa meniru wajah, penampilan, gaya bicara, bahkan DNA mirip orang lain dengan menggunakan chip khusus yang sangat canggih dan ditanam dalam tubuhmu. Atau kau bisa menggunakan properti prostetik berupa topeng wajah yang terbuat dari kulit sintetis dan dicetak menyerupai wajah orang yang hendak kautiru. Namun karena aku adalah remaja buron yang hanya memiliki senjata dan peralatan seadanya, maka aku hanya bisa menggunakan teknik paling dasar dan manual ini. Untungnya, hasil sapuan jemariku lumayan. Wajahku bagai pinang dibelah dua dengan Arimbi.
Sedangkan dari segi kepribadian, aku sudah menyelidikinya dari data dan kegiatan Universitas Negara. Arimbi berkomunikasi dengan bahasa isyarat--aku mempelajarinya selama tiga hari ini dan langsung menguasainya. Ia sangat pemalu, tapi baik hati, dan meraih nilai tertinggi di angkatannya. Aku sampai mendengarkan banyak buku audio mengenai botani sambil membuat bom, prosesor drone, alat anti-sadap dan anti-pelacak mobil, serta liontin perisai elektrik. Aku sudah hafal nama dan khasiat tumbuhan di seluruh Bima begitu liontinku jadi. Kuharap tak ada ilmu yang luput kupelajari untuk bisa menyamar sebagai Arimbi tanpa dicurigai siapapun, terutama musuh.
Arimbi tidak bisa beladiri sama sekali. Ini akan menjadi sedikit tantangan jika tiba-tiba ada serangan di tengah penyamaran. Tapi aku punya empat robot nyamuk yang mengawalku ke mana pun aku pergi. Dan liontin perisaiku tetap menggantung di leherku. Jadi harusnya aman saja.
Setelah menyusun isi tas bahu besar dengan sejumlah barang seperti set kosmetik, tablet, ponsel, parfum, dompet wanita berisi uang tunai, beberapa bom kancing skala rendah untuk berjaga-jaga, dan menyelipkan pistol perakku di balik sepatu bot wanitaku, aku pun keluar mobil sambil menarik napas dalam-dalam.
Aku akan meninggalkan mobilku di sini, dan semua senjata dan barang penting milikku. Aku akan diam-diam kembali ke sini jika butuh atau terjadi sesuatu. Dua robot nyamuk akan selalu berjaga di sini. Aku bisa tetap memantau markasku ini dengan aman dan tanpa terdeteksi.
Aku meninggalkan gua yang terletak di puncak bukit berbatu hitam, memutari tebing dan menuruninya dalam kelam malam. Mataku sangat awas dan tangan kakiku lincah menyusuri lereng curam berbatu tanpa terluka sama sekali.
Aku bisa melihat beberapa titik lampu di kejauhan. Itu adalah pemukiman Desa Madura. Dan di dekat kaki bukit ini, Arimbi dan Braja menghabiskan masa kecilnya di rumah kayu sederhana berpagar hitam, dengan pekarangan ditumbuhi pohon bambu kuning yang merimbun tanpa dipotong bertahun.
Saat aku mencapai rumah itu, tak ada siapapun di sana, meski beberapa lampunya menyala. Pagar dan pintu rumah itu bobrok dan digembok. Sistem pengaman kuno dan manual itu sangat mudah dilepas dengan hantaman linggis yang kutemukan tergeletak di dekat rumpun bambu di luar pagar. Halaman dan isi rumah itu kotor seakan tak dihuni cukup lama.
Aku memasuki rumah, menaksir ruang tamu kecil kotor dengan gelas-gelas berisi ampas kopi dan asbak penuh puntung rokok berserakan di atas meja kayu reyot. Aroma tembakaunya masih menyengat. Aku terdiam sejenak. Ada seseorang di sini, belum lama ini.
Hawa kehadirannya kurasakan muncul bagai hantu di belakang punggungku. Moncong pistolnya terarah ke belakang kepalaku.
"Berhenti! Atau kutembak kamu!"
...***...
udah pernah sblmnya 😍
🤣🤣🤣🤣
aku nomor 8/Smug/
aku juga mau cilok/Grievance/
sukorr genteng /Slight//Joyful/
antar sesama korban permainan bara🤣🤣🤣
🤣🤣🤣🤣
siang ini jgn buat aku haredang air mata /Sob/